Suryadi
Ribut
sana-sini menyoal pemberlakuan sistem Uang Kuliah Tunggal pertama kali di
Universitas Riau. Tuntutan transparansi perhitungan biaya dan tepat sasarannya
kelompok digulirkan. Lancarkah sistem ini berjalan di UR?
Pagi yang tenang beranjak pergi. Satu mobil pickup
bergerak perlahan memuat sejumlah mahasiswa. Satu diantaranya berteriak,
semakin lantang dengan bantuan pengeras suara. Di belakang mobil, mahasiswa
lainnya pun berbondong ikuti arah pergerakan mobil. Pagi tenang itu jelas
beranjak dengan cepat. Mahasiswa-mahasiswa terus berteriak berseru dengan
lantang. Tak ubahnya suporter bola berseru riuh ketika jagoannya berhasil
membobol gawang lawan.
Hari itu, 8 Oktober 2013, mahasiswa dari berbagai
kelembagaan di Universitas Riau
mendatangi rektorat Universitas Riau atau UR. Mereka melakukan aksi terkait
penerapan Uang Kuliah Tunggal atau disingkat UKT di Universitas Riau. Sistem
pembayaran uang kuliah yang baru pertama kali diterapkan di Universitas Riau.
Halaman rektorat dipadati berbagai atribut kelembagaan yang turut aksi. Dalam
aksi ini, mahasiswa menyampaikan empat tuntutan yang harus dipenuhi oleh pihak
universitas.
“Kita akan bahas lagi UKT dan akan pelajari lagi
tuntutan mahasiswa ini,” kata Yanuar, Pembantu Rektor atau PR II UR. Ia berada
di atas mobil pickup untuk menanggapi tutntutan mahasiswa. Ia
menambahkan, tuntutan mahasiswa ini tidak serta merta bisa disepakati di sini.
Harus dibahas lagi dengan seluruh fakultas.
Mahasiswa terus berteriak di tengah-tengah Yanuar yang
sedang bicara, menunjukkan sikap tidak percaya pada pihak kampus. Dari sejumlah
mahasiswa yang ikut aksi hanya mahasiswa dari perwakilan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, disingkat FISIP yang tidak hadir, termasuk kelembagaannya menolak
terlibat aksi. Kata Ari, Wakil Gubernur FISIP, mereka punya cari lain
mengadvokasi persoalan ini.
Lantas, bagaimanakah realisasi dari tuntutan mahasiswa
tersebut kini? Dikabulkan atau hanya untuk dipertimbangkan?
Ribut-ribut soal UKT bermula dari undangan dadakan
pihak rektorat pada 18 Mei 2013. Undangan ditujukan ke kelembagaan mahasiswa
UR. Dari tingkat universitas hingga fakultas. Pukul dua siang waktu yang
ditentukan untuk berkumpul di ruang Dewan Pengurus Harian atau DPH rektorat
lantai empat.
Maksud pertemuan mendadak disampaikan setelah Rahmat,
PR III didampingi Zulfikar Djauhari, Kepala Bidang Kerjasama Pengembangan atau
BKP membuka pertemuan ini. Ini terkait kebijakan yang ditetapkan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan terkait biaya
kuliah diperguruan tinggi negeri. Dijelaskan dalam peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan nomor 55
tahun 2013.
Dalam pertimbangannya disampaikan perlu ditentukannya
biaya kuliah tunggal diperguruan tinggi sesuai dengan jenis program studi dan
kemahalan wilayah. Selain itu pada poin selanjutnya, penetapan uang kuliah
tunggal ini bertujuan untuk meringankan beban mahasiswa dalam membayar biaya pedidikan.
Peraturan ini
memuat delapan pasal penjelasan soal Biaya Kuliah Tunggal atau BKT dan UKT.
Dalam pasal pertama dinyatakan, BKT ialah biaya total terkait operasioal dari
tiap mahasiswa per semesternya. Biaya inilah yang dijadikan dasar untuk
perhitungan UKT. Jadi total BKT dikurangi dengan subsidi pemerintah—dalam
bentuk dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri atau BOPTN—menghasilkan
total UKT yang harus dibayar mahasiswa. Dengan catatan UKT disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi mahasiswa. Dalam lampiran dijelaskan prinsip menerapkan UKT
agar biaya kuliah mahasiswa semakin kecil. Selain itu akan terjadi subsisdi
silang, di mana si kaya mensubsidi yang kurang mampu.
Untuk masalah kemampuan ekonomi, menteri dalam
peraturannya pada pasal 2 jelaskan akan ada pembagian kelompok sesuai dengan
kemampuan ekonomi. Ditetapkan ada lima kelompok. Untuk kelompok satu dan dua,
menteri menetapkan dalam pasa 4, ditempati oleh paling sedikit lima persen dari
jumlah mahasiswa yang diterima diperguruan tinggi.
Dengan diterapkannya sistem UKT ini, perguruan tinggi
harus sepakat untuk tidak akan memungut uang pangkal ataupun pungutan lain
selama proses pendidikan berlangsung. Ini ada di pasal 5 peraturan tersebut.
Pungutan bisa dalam bentuk uang praktikum, studi banding, kegiatan
ekstrakurikuler, kuliah kerja nyata, yudisium, wisuda ataupun uang administrasi
lainnya.
Pada prinsipnya, rumusan UKT adalah perhitungan total
seluruh biaya yang mempengaruhi proses pembelajaran di kampus. Mulai dari biaya
langsung seperti gaji, tunjangan, bahan habis pakai pembelajaran, sarana dan
prasarana pembelajaran. Hingga biaya tidak langsung seperti honor dosen dan non
dosen, sarana dan prasarana non pembelajaran, pemeliharaan, penelitian,
ekstrakurikuler mahasiswa dan pengembangan pendidikan. Total biaya langsung
ditambahkan biaya tak langsung inilah
yang jadi BKT.
Untuk memperoleh UKT, BKT tadi dikurangi dengan BOPTN,
biaya rutin dari pemerintah dan dana masyarakat. Di mana masing-masing kampus
memiliki besaran BOPTN berbeda. Ini tergantung akreditasi serta biaya
operasional masing-masing perguruan tinggi. Untuk UR sendiri, biaya BOPTN yang
diterima sekitar 31 Miliar.
Setelah megurangkan dengan subsidi pemerintah,
diperolehlah nominal total yang dikeluarkan mahasiswa dari awal hingga
menyelesaikan pendidikan. Nantinya total biaya ini akan dibagikan sesuai
kelompok UKT yang kuotanya ditetapkan masing-masing kampus. Total biaya dari
tiap kelompok diperoleh lalu dibagi delapan. Itulah besaran biaya UKT yang
harus dibayar mahasiswa persemesternya.
Di UR, untuk golongan satu dan dua memiliki besaran yang
sama untuk masing-masing jurusan. Masing-masing Rp. 500 ribu dan Rp. 1 Juta.
Ini telah ditetapkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, sesuai dengan pasal 4
ayat 1 dan 2 Permendikbud tentang UKT tahun 2013. Sedangkan tiga golongan
lainnya sesuai dengan perhitungan program studi.
“Mahasiswa tidak perlu lagi mengeluarkan uang saat
perkuliahan sedang berlangsung,” ujar Zulfikar ketika mensosialisasikan perihal
UKT kepada kelembagaan yang hadir di DPH siang itu.
Namun kelembagaan tidak serta menerima penjelasan
Zulfikar. Zulfa Hendri, Menteri Hukum dan Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa
atau BEM UR kala itu menanggapi penerapan sistem ini terlalu mendadak. “Tidak
ada pembahasan terlebih dahulu dengan mahasiswa
sebelum disepakati,” ujarnya.
Kesan mendadak tersebut sesuai dengan yang disampaikan
Zulfikar, pasalnya pada hari itu juga, empat jam sebelum pertemuan dengan
kelembagaan, Yanuar PR II UR tengah menandatangani kesepakatan penerapan UKT di
Jakarta. Barulah siang harinya keputusan ini dishare ke mahasiswa
melalui kelembagaan.
Zulfa kembali mengkritisi soal UKT, pasalnya ia
meragukan sistem perhitungan ditiap jurusan. “Kami minta transparansi anggaran
biaya kuliah di masing-masing jurusan dulu,” ujarnya.
Hal lain yang mengganggu ialah soal penentuan kelompok
UKT. Diawal mahasiswa baru masuk, mereka akan membayar biaya dengan besaran
untuk kelompok 5. Setelah diadakan penyeleksian kelompok UKT beserta melengkapi
persyaratan, barulah mahasiswa
dikelompokkan sesuai kemampuan. Bagi yang berada tidak dikelompok 5,
uang yang dibayar diawal akan dikembalikan.
“Apakah mahasiswa nanti akan
benar-benar jujur dalam melengkapi persyaratannya?” tanya Suryadi, reporter
Bahana Mahasiswa.
Diskusi berakhir, kelembagaan ke luar ruangan dengan
sikap tidak sepakat terhadap penerapan sistem ini. Masih di bulan Mei, dua hari
setelah pertemuan ini, Rektor keluarkan Surat Keputusan nomor 2715/UN/19/TU/2013,
soal penerapan UKT, lalu dikukuhkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan nomor 55/2013. Peraturan ini keluar tiga hari kemudian. Pada 27 Mei
Rektor umumkan besaran uang kuliah dengan nomor pengumuman 2862/UN19/AK/2013.
Sosialisasi soal penerapan sistem ini gencar dilakukan.
Zulfikar kerap memenuhi panggilan dari kelembagaan yang meminta penjelasan
terkait UKT. Salah satunya diawal Juni saat BEM UR membuat diskusi di DPH
Fakultas Teknik. Tak ada perbedaan dengan yang disampaikan di DPH rektorat.
Tuntutan mahasiswa pun tetap sama. Soal transparansi perhitungan biaya. “Kalau
mau tahu biaya-biaya mahasiswa ditiap jurusan, tanya saja langsung ke jurusan
masing-masing,” ujarnya.
Dari pertemuan di DPH Fakultas Teknik, diperoleh
kesimpulan yang disampaikan Zulfa tiga hari kemudian kepada Yanuar.
Diantaranya, BEM lewat Menteri Advokasi akan mengawal penerapan UKT agar tepat
sasaran, meminta kelompok satu dan dua benar-benar diisi oleh mahasiswa yang
kurang mampu, untuk mahasiswa penerima Bidikmisi menempati kelompok tiga serta
kelompok empat dan lima disesuaikan dengan keadaan. Yanuar menerima usulan
tersebut.
Namun persoalan transparansi perhitungan masih belum
menemukan titik terang. BEM UR melalui Menteri Advokasi meminta informasi ini
sesuai mekanisme berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik nomor
14 tahun 2008, karena dokumen itu terkait untuk publik dan publik wajib
mengetahui. “Pihak rektorat dalam hal ini PR II beralasan bahwa BEM tidak badan
hukum dan tidak wajib memperoleh dokumen tersebut,” jelas Zulfa dengan heran.
Padahal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik itu
tidak menjelaskan seperti itu. Siapa pun berhak memperoleh informasi, selagi
informasi tersebut berhubungan dengan orang yang membutuhkan.
BEM UR tidak hanya meminta transparansi biaya uang
kuliah ke pihak rektorat, permintaan juga diajukan langsung ke fakultas.
Beberapa fakultas yang dimintai, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Fakultas Perikanan, Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik. Hasilnya juga tidak
ada, fakultas yang dimintai tidak memberikan jawaban. Suparmi, Pembantu Dekan
atau PD II Faperika sampaikan di ruangannya, hanya PR II pak Zulfikar dan Ketua
Forum PD II, Arisman yang juga PD II Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam yang berhak bicara UKT.
Kru Bahana Mahasiswa juga mencoba meminta rincian biaya
kuliah mahasiswa selama delapan semester, karena dasar dari penghitungan ini
adalah yang menjadi biaya wajib mahasiswa selama kuliah yang dibagi delapan
semester. Faperika yang dikunjungi juga tidak mau memberikan rincian tersebut.
“Kami dari Forum PD II se universitas sudah sepakat tidak akan menjelaskan
mengenai UKT ini pada siapa pun,” tegas Suparmi. Kenapa sulit sekali untuk
memperoleh informasi? Padahal Pembantu Dekan II yang paling mengetahui
informasi terkait itu.
Ketidaktransparannya pihak universitas berbagai cara
advokasi terus dilakukan. Mulai dari pertemuan kelembagaan rutin sampai
berdiskusi dengan pihak rektorat. Menteri advokasi buat gagasan untuk mengirim
pesan singkat pada Rektor, Pembantu Rektor II sampai pada anggota senat
universitas. Tujuannya menyampaikan penolakan diterapkannya UKT. Perintah ini
disampaikan pada semua kelembagaan sampai pada mahasiswa baru. Tidak hanya pesan
lewat elektronik, tapi pesan juga disampaikan lewat surat. Sekitar 1450 surat
terkumpul dan diantar ke Yanuar, surat dikemas dalam lima kotak.
Sembari mengantarkan surat langsung pada Yanuar,
pertemuan itu juga mendesak segera diberikan transparansi mengenai UKT ini. Janji
hanya tinggal janji dari Yanuar, apa yang diminta kelembagaan tak kunjung
diberikan. Pada 7 Oktober ketika sedang rapat dengan seluruh kelembagaan, BEM
UR kedatangan surat dari rektorat untuk mengajak ketemu membahas UKT ini. Surat
ini juga ditujukan pada seluruh kelembagaan.
Kelembagaan yang sedang menghadiri pertemuan di
sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa itu sepakat tidak menanggapi surat
tersebut. “Surat itu datang ketika BEM sedang melakukan rapat persiapan aksi untuk
besoknya,” ujar Zulfa. Buntutnya mereka memilih melakukan aksi di depan gedung
rektorat tempat berkumpulnya pejabat-pejabat rektorat. Aksi ini diikuti
mahasiswa dari semua fakultas yang ada di Universitas Riau. Pagi itu
sekretariat BEM jadi titik kumpul aksi dan bersama-sama menuju gedung rektorat.
Dalam aksi ini ada empat tuntutan yang disampaikan. Diantaranya
terkait kuota ditiap kelompok UKT. Mereka meminta untuk kelompok 1 dan 2
kuotanya ditambah menjadi 20 persen, di mana sebelumnya hanya 5 persen. Untuk kelompok
3 dinaikkan dari sebelumnya 2,5 persen menjadi 10 persen. Kuota yang sama, 10
persen, juga diharapkan ditempati mahasiswa kelompok 4. Sisanya 40 persen untuk
kelompok 5, berkurang 50 persen dari yang sebelumnya 85 persen.
Untuk golongan 1 dan 2, Universitas Riau tidak mau
menambah jumlah kuota meski sudah dituntut kelembagaan mahasiswa. Yanuar,
Pembantu Rektor II hanya berkata, ini sudah ketentuan Dikti mengenai kuota. Padahal
dalam Permendikbud nomor 55 tahun 2013 dijelaskan bahwa golongan 1 dan 2 paling
sedikit 5 persen dari jumlah mahasiswa yang diterima di PTN. Ini dijelaskan
pada pasal 4 ayat 1,2. Artinya golongan 1 dan 2 boleh melebihi kuota 5 persen.
Selain itu, persoalan lain muncul ketika nama-nama
kelompok UKT mahasiswa ditetapkan oleh Rektor UR. Pasalnya, ada mahasiswa yang
kemampuan finansialnya tak mencukupi berada pada kelompok 5. Pengaduan ke
kelembagaan mahasiswa pun terus mengalir, gelombang protes bermunculan. Akhirnya
Rektor mengeluarkan surat keputusan meminta fakultas untuk memverifikasi ulang
data mahasiswa dan menempatkannya pada kelompok yang sesuai.
Jelang Ujian Akhir Semester akan usai, keriuhan kembali
terjadi. Pembayaran uang semester genap dimulai awal Januari hingga akhir bulan
tersebut. Mahasiswa bingung harus membayar dengan besaran kelompok yang mana. Pasalnya
hasil verifikasi ulang belum keluar. “Bagi mahasiswa baru waktu pembayaran SPP
nya diperpanjang, jika sudah ada yang bayar duluan dan ternyata dia berada
dikelompok yang lebih rendah dari yang dibayar, pihak kampus akan kembalikan
kelebihan pembayarannya,” terang Zulfikar. Dilema dialami mahasiswa angkatan
2013, salah satunya Nuraini, mahasiswa Pariwisata Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Ia bertanya lewat pesan pendek pada kru Bahana Mahasiswa.
“Bagaimana golongan UKT kami bang? Kami bayar golongan
yang keberapa?”#Yaya
Tulisan ini pernah
dimuat di rubrik Sempena majalah Bahana Mahasiswa Universitas Riau edisi
Februari- Maret 2014.
0 komentar:
Posting Komentar