Sejak berdiri, Bahana Mahasiswa terus memberikan
informasi pada civitas akademika dan pembaca di luar kampus. Formatnya terus
berganti. Dari koran, tabloid, majalah hingga online. Budaya kritis tak lekang.
Oleh Suryadi
Sejak 2012, Bahana mulai rutin menerbitkan majalah. Tak lagi format koran. |
LIBUR semester genap kemarin, saya mengobrol dengan Jeffri. Ia teman baik di Bahana Mahasiswa. Di meja rapat, kami membicarakan usia Bahana yang sudah memasuki 33 tahun. Saya bertanya padanya. Berhubung nanti kita akan menerbitkan majalah edisi Juli-Agustus, apa yang kita buat untuk Bahana? Saya bermaksud, nantinya ada tulisan yang bercerita soal Bahana pada majalah yang akan terbit.
Jeffri mengusulkan, buat cerita soal perjalanan alumni Bahana, mulai dari awal berdiri hingga sekarang. Ide ini sangat bagus. Tapi generasi Made Ali sudah pernah menulisnya pada tahun 2009. Tulisan itu juga menyambut hari jadi Bahana. Saya beri usul, menulis cerita peralihan terbitan Bahana dari koran, tabloid hingga majalah. Jeffri tak beri komentar banyak. Ia langsung setuju.
Cerita di bawah ini hasil dari obrolan saya dan Jeffri tadi. Tulisan ini terbit dalam majalah Bahana edisi Juli-Agustus 2016.
JULI lalu menjadi bulan
yang paling menggemberikan. Terutama bagi awak Bahana Mahasiswa Universitas
Riau. Pasalnya, setelah melaksanakan ibadah puasa dan disambut dengan idul
fitri, Bahana Mahasiswa telah sampai pada usia 33 tahun. Beberapa kru di luar
Pekanbaru bergegas kembali ke kantor redaksi.
Kami semua hendak buat acara kecil-kecilan.
Undang alumni, makan bersama dan bernostalgia dengan mereka. Meski tak banyak
yang sempat hadir, beberapa diantara mereka cukup mewakili generasinya. Cerita
soal berdirinya Bahana, masa-masa sulit di Bahana, hingga cerita lucu-lucuan.
Tulisan ini tidak mengulang cerita mereka.
Hal itu sudah pernah ditulis oleh generasi sebelumnya. Made Ali mantan Pemimpin
Umum Bahana Mahasiswa 2009 hingga 2011, pernah menulis sekilas perjalanan
BM—singkatan Bahana Mahasiswa—menuju perak. Tulisan ini dimuat dalam majalah
Bahana menyambut hari jadi Bahana ke 25.
Tulisan yang dimuat dalam laporan khusus
majalah Bahana itu, menceritakan peristiwa yang terjadi di masing-masing
generasi. Pada usia ini, saya hendak bercerita sedikit soal peralihan format
cetak Bahana dari koran ke majalah, berikut kupasan singkat isi laporan
utamanya.
NOVEMBER lima tahun silam,
saya mengikuti Diklat Jurnalistik Bahana Mahasiswa. Pelatihan ini berlangsung
di kantor redaksi Bahana selama tiga hari. Pelatihan ini bagian dari rekrutmen
untuk menjadi wartawan di Bahana. Ditahun ini, awak Bahana tetap rutin
menerbitkan tabloid yang ditutup dengan majalah tiap akhir tahunnya.
Cikal bakal menerbitkan majalah diawali
oleh generasi Anggara Fernando. Ia Pemimpin Umum Bahana Mahasiswa 2007. Kala
itu, seluruh awak kru Bahana mulai dari Pimum, Pimred, Pimprus dan jajaran
Redaktur termasuk reporter serta kru magang hendak buat satu terobosan baru.
Ada yang mengusulkan agar Bahana buat
jurnal yang terbit skala periodik. Ide ini lalu berkembang dan penuh
pertimbangan. Jurnal dianggap tidak memberi kesempatan yang luas bagi reporter
bahana untuk menulis. Jurnal hanya akan diisi oleh penulis atau akademisi yang
hendak mencurahkan hasil penelitiannya.
Usulan untuk menerbitkan majalah jadi
pilihan. Semua awak kru Bahana sepakat. Tiap hari jadi Bahana, 17 Juli, kru
akan menerbitkan majalah. “Majalah juga akan lebih tahan lama untuk disimpan,”
kenang Angga dalam video milad Bahana ke 30.
Majalah perdana terbit 68 halaman. Karena
momen pengabdian mahasiswa pada masyarakat atau biasa disebut KKN, laporan
utama majalah Bahana mengkritisi keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan sosial
di masyarakat.
Mahasiswa dianggap kurang merespon isu yang
berkembang di tengah masyarakat. Apatisme mahasiswa menjadi perbincangan
dikalangan aktivis. Peran lembaga mahasiswa juga dirasa kurang berdampak pada
masyarakat itu sendiri. Kegiatan yang dilakukan usai pada saat itu saja. Tidak
menemukan tindak lanjut. “Mahasiswa tidak lagi menyandang gelar agen of change,” ujar Jhoni S Mundung,
mantan aktivis mahasiswa, dalam laporan Bahana.
Persoalan ini bisa dilihat dari program
kerja yang dibuat oleh masing-masing kelembagaan, mulai dari tingkat jurusan,
fakultas dan universitas. Program kerja yang dibuat lebih banyak berkutat
disektor internal. Pengabdian pada masyarakat yang menjadi poin tri dharma
perguruan tingga hanya sedikit menyentuh dalam program kerja yang dirancang.
Tak pelak, mahasiswa juga dicap kurang
bergaul, merasa hebat dan ingin dihormati. Komentar ini disampaikan Muhammad
Sarfai Ketua BLM Faperta waktu itu, dalam laporan yang ditulis kru Bahana,
Ridhwan Bey.
TAHUN
BERGANTI.
Penanggungjawab Bahana juga beralih pundak. Giliran Suprapto memimpin Bahana
sekaligus bertanggungjawab terhadap keredaksian. Namun nazar awal menerbitkan majalah tak lekang. Format dan ukuran
majalah yang diterbitkan tak jauh berbeda dari generasi Anggara Fernanddo.
Hanya saja jumlah halaman sedikit bertambah menjadi 72 halaman.
Generasi Suprapto mengkritisi visi Riau
2020. Tujuan jangka panjang ini hanya dianggap sebatas seremonial. Begitu tertulis pada sampul majalah.
Harapan pemimpin negeri Riau ini terpatri
dalam lembaran Peraturan Daerah No 36 tahun 2001. Bunyinya, Mewujudkan Provinsi Riau sebagai Pusat
Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis,
Sejahtera Lahir Batin di Asia Tenggara tahun 2020.
Sejak itu, tampilan fisik tiap gedung
terutama gedung pemerintahan di negeri melayu ini mulai menampilkan ciri khas
kemelayuannya. Selembayung teronggok ditiap atap gedung dan menjadi simbol.
Berbusana melayu digalakkan. Pegawai hingga siswa sekolah diwajibkan berbusana
ini pada hari tertentu.
Bermacam event dihelat. Pemerintah Provinsi
Riau pernah melaksanakan malam penganugerahan Festival Film Indonesia atau FFI.
Artis ibu kota datang. Malam penganugerahan bagi insan perfilman Indonesia ini
seyogyanya berlangsung di Jakarta. Namun malam itu Riau mendapat kehormatan
gara-gara perhelatan yang menghabiskan anggaran Rp 7,2 milyar.
Perhelatan akbar lain yang pernah ditaja
negeri lancang kuning adalah, Dunia Melayu Dunia Islam atau DMDI, semacam
festival budaya Melayu sedunia. Event ini disebut proyek orang Malaka. “Agenda-agendanya
ditentukan oleh orang Malaka,” terang Al Azhar dalam liputan Bahana.
Sastrawan Riau, Marhalim Zaini berujur
lain. Ia menyebut, budaya Riau budaya seremoni.
Budayawan juga mengkritisi hal ini. UU
Hamidy mengatakan, yang perlu digalakkan adalah nilai-nilai budaya Melayu itu
sendiri. Almarhum Tenas Effendi berucap senada. “Melayu tidak mengacu pada
etnik. Tetapi lebih kepada nilai-nilai bukan hanya fisik.” Sebelum wafat,
almarhum pernah berujar pada kru Bahana, saya risau 20 tahun mendatang orang
Melayu tak tahu dengan Melayu itu sendiri.
SUPRAPTO mengakhiri
tanggungjawabnya pada 2009. Giliran Made Ali yang menakhodai Bahana hingga
April 2011. Pada masanya, tabloid Bahana cetak tiap dua minggu sekali dan tiap
akhir tahun tetap menerbitkan majalah.
Majalah pertama saat Made memimpin
berukuran lebih kecil dibanding dua tahun sebelumnya. Dari 4 kolom tulisan menjadi
3 kolom. Halamannya juga berkurang. Dari 68 halaman menjadi 44 halaman. Edisi
kali ini menyoal aktivis Rohis yang memegang tampuk kekuasaan BEM Universitas
Riau.
Sejak Ade Angga mengakhiri masa jabatannya
memimpin BEM Universitas Riau pada 2004, mereka aktivis Rohis di kampus, mulai
menguasai jabatan yang ditinggalkan oleh Ade Angga. Pendakwah-pendakwah di Kursi Kekuasaan, begitu judul laporan utama
yang ditulis oleh Made Ali.
Berikut mereka yang pernah memegang tampuk
kekuasaan BEM Universitas Riau. Dodi Armawan-Anis Murzil periode 2004-2005;
Hamdani-Effendi Muharram periode 2005-2006; Alfajri-Syahrul Fadillah periode
2006-2007; Fajri Ariefyanto-Budiono 2007-2008; Hendra Gunawan-Dimas
Pradasumitra 2008-2009; Anshori-Azmansyah 2009-2010; Adi Hamdani- periode
2010-2011; Nofri Andri Yulan-Julian Caesar periode 2011-2012; Fadli-Iskandar
periode 2013-2014.
Pada saat Kongres Mahasiswa Universitas
Riau, bertepatan akan disahnya Fadli dan Iskandar sebagai Presiden dan Wakil
Presiden Mahasiswa, terjadi keributan antar mahasiswa. Keributan ini
berlangsung lama. Tiga kali lokasi Kongres berpindah tempat. Hasilnya, hampir
setengah tahun kekuasaan BEM universitas vakum. Namun Fadli dan Iskandar tetap
disahkan sementara BLM dipresidumkan.
Ketua BLM yang seyogyanya dipilih dan
ditetapkan pada Kongres, karena persoalan tersebut dianggap tidak sah.
Solusinya, tiap BLM Fakultas diwajibkan merekomendasi dua orang anggotanya
untuk mengisi kekosongan BLM Universitas.
Dari sini cikal bakal BLM berubah menjadi
BPM atau Badan Perwakilan Mahasiswa. Pemilihannya tidak lagi di Kongres tapi
melalui Pemilihan Raya bersamaan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Sistem pemilihannya memakai e-voting,
tidak lagi menggunakan kertas suara.
Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan atau
PUOK berubah menjadi Undang-Undang Dasar Kelembagaan Mahasiswa disingkat UUD
KM. Rapat tahunan kelembagaan mahasiswa yang semula dinamai Kongres diganti
menjadi Musyawarah Mahasiswa.
Meski merombak konsep pemilihan anggota BPM
dan pemungutan suara dengan sistem
e-voting, kekuasaan aktivis Rohis tidaklah padam. Tercatat nama-nama
penerus generasi mereka, Zulfa Hendri-Hendri periode 2014-2015; Andres
Pransiska-Asnawir periode 2015-2016. Sekarang giliran A. Khoir dan Bayu Kumbara
menjalankan perintah Dewan Syuro hingga 2017.
Mereka dikatakan sangat kompak. Dalam
laporan utama majalah Bahana, Masjid Arfaunnas kampus UR Panam, Masjid
Akramunnas kampus UR Gobah serta mushalla ditiap fakultas jadi tempat mereka
berkumpul sehari-hari.
“Ya biasa ada pengkajian-pengkajian setiap
pekan. Bahkan dulu anak Rohis tidak mau ketika ditunjuk jadi presiden kayak
saya dulu. Kalau pribadilah diturutkan semester segitu tentu mau selesai
kuliah. Tapi karena amanah harus dijalankan,” kata Hamdani MS, mantan Ketua BEM
UR, dalam laporan utama majalah Bahana.
Mereka merekrut kader dengan berbagai cara.
Bahkan asistensi yang di kelola oleh UKMI Ar-Royyan, sebagai salah satu syarat
tambahan nilai mata kuliah Agama Islam, dijadikan alat sebagai ajang
kaderisasi. Mahasiswa yang sudah terjaring di sini dimanfaatkan pada saat
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berlangsung.
“Hampir setiap hari saya selalu di SMS anak
Rohis untuk pilih kader mereka,” ungkap Kiki.
“Saya sering dirayu agar memilih pasangan
Hendra Gunawan-Dimas Pradasumitra (mantan Ketua dan Wakil Ketua BEM UR periode
2008-2009),” terang Anto, mahasiswa Faperta.
“Kami pernah diiming-imingi dapat nilai B
tanpa ujian praktek, asal pilih pasangan Hendra-Dimas,” ujar Parlindungan.
Begitu keterangan beberapa mahasiswa saat diwawancar oleh kru Bahana pada
majalah tahun 2009 lalu.
Sebelum mengakhiri tanggungjawabnya,
generasi Made Ali kembali menerbitkan majalah pada akhir tahun 2010. Ukurannya
tidak berubah. Tapi halamannya bertambah menjadi 52 halaman. Kali ini laporan
utamanya menyoal Prof. Bustari Hasan Dekan Faperika, tak kunjung dilantik oleh
Prof Ashaluddin Jalil yang sedang menjabat Rektor masa itu.
Sepuluh bulan setelah terpilih, Prof
Bustari Hasan ‘terkatung-katung’ tak kunjung dilantik. Pasalnya Inspektorat
Kementerian Pendidikan Nasional berkirim surat pada Prof Ashaluddin Jalil.
Surat itu menyampaikan temuan Inspektorat
terkait pemilihan Dekan Faperika, diantaranya: Jasril sebagai anggota senat
utusan pegawai, pemilihannya tak melalui rapat pegawai. Soal status Deni
Elfizon ikut pemilihan saat tugas belajar. Soal lobi-lobi selama pemilihan.
Soal surat perjanjian antara Prof Bustari dan Prof Dewita Bukhari.
Dari empat temuan tersebut, dua dinyatakan
terbukti oleh Inspektorat setelah dilakukan verifikasi di lapangan. Soal Deni
Elfizon dan perjanjian.
Kesimpulan dari temuan diatas, Inspektorat
merekomendasikan agar dilakukan pemilihan ulang. Hasil rapat senat Faperika
yang dipimpin oleh Prof Bustari berkehendak lain. Senat Faperika sepakat
menolak untuk pemilihan ulang.
Ceritanya begini. Pemilihan Dekan Faperika
periode 2010-2014 berlangsung dua putaran. Calonnya, Prof Bustari Hasan, Prof
Thamrin dan Prof Dewita Bukhari. Putaran pertama Prof Bustari dan Prof Thamrin
sama-sama meraup 11 suara dan 8 suara milik Prof Dewita Bukhari. Untuk
menyiapkan surat suara pemilihan putaran kedua, Ridwan Manda memberi jeda 15
menit. Ridwan Manda Ketua Panitia pemilihan Dekan Faperika masa itu.
Anggota senat yang berada dalam ruangan
saat pemilihan berkehendak lain. Secara serentak mereka minta waktu jeda satu
jam sambil keluar ruangan. Di sinilah lobi-lobi antar tim terjadi. Tim Thamrin
berkumpul di ruang Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Tim Dewita di ruang Pengelolaan
Sumber Daya Perairan. Bustari dan timnya memilih berkumpul di ruang Dekan.
Sebagai penghubung antar tim, dua tim
Dewita, Aprizal Tanjung dan Rifardi aktif melobi Bustari dan Thamrin. Kedua
orang ini menawarkan syarat yang sama pada tiap calon. Jika ingin dipilih,
semua Pembantu Dekan (PD) harus dari tim Dewita. Bustari minta satu PD saja
dari timnya. Thamrin menawarkan dua PD dari timnya dan dua PD dari tim Dewita.
Singkat cerita, tim Dewita memilih opsi
Bustari. Agar kesepakatan tak dikhianati dikemudian hari, tim ini buat surat
perjanjian. Bustari bersama saksinya Deni Elfizon dan saksi dari Dewita,
Soeardi Loekman ikut bertanda tangan dalam surat tersebut. Dewita sendiri tak
ikut tanda tangan. “Saya saja tak pernah lihat suratnya, bagaimana mau tanda
tangan,” elak Dewita dalam majalah 2010 lalu.
Alhasil, Bustari menang 17 suara dan
Thamrin hanya 13 suara. Dari sinilah surat kaleng diterima oleh inspektorat
sampai akhirnya keluar rekomendasi untuk pemilihan ulang.
Persolan ini menunggu kebijakan rektor saat
itu. Udin—sapaan Ashaluddin Jalil—mencermati permasalahan ini dengan tidak
gegabah. “Kita sedang bicarakan dengan kementerian. Kita kan tidak sendiri,
institusi ini berada di bawah kementerian,” Katanya, dalam tulisan Aang Ananda
Suherman pada laporan utama majalah Bahana edisi September-Oktober 2010.
Meski begitu, Udin akhirnya melantik
Bustari pada November 2010.
LOVINA menggantikan Made
Ali sejak pertengahan 2011. Memasuki awal tahun 2012, generasi ini buat
perubahan. Majalah tidak lagi cetak pada akhir tahun. Tapi menjadi rutinitas
tiap dua bulan sekali. Isi liputannya penuh dengan tulisan panjang atau feature. Sementara berita pendek dan
perca dimuat melalui website bahanamahasiswa.co.
“Perkembangan new media cukup pesat. Kita tidak ingin ketinggalan menyampaikan
informasi. Jadi berita sehari-hari di kampus harus cepat kita menyampaikannya,”
ujar Lovina, dalam video milad Bahana ke 30.
Tercatat, majalah pada masa Lovina memimpin
diantaranya: 327 Datang Pulau Padang Perang, Tanah Ku atau Tanah Mu, Kongres
Ribut Lagi Kelahi Lagi, Mengapa FE Begini, Surat Kekerasan Bersama dan UPT PPL
Tolong Kami. Jumlah halaman majalah tidak menentu. Kisaran 30 hingga 60
halaman.
Tiap kali usai cetak, Bahana kerap menerima
respon dari pembaca baik dari civitas akademika hingga pembaca luar kampus.
Pernah satu pagi, saya baru saja keluar
dari kamar mandi. Depan pintu Bahana satu mobil Suzuki APV parkir. Dua orang
keluar dari mobil tersebut. Memakai kopiah, celana di atas mati kaki sambil
membawa satu majalah. Setelah mengucapkan salam, seorang dari mereka menanyakan
Lovina dan menunjukkan majalah Surat
Kekerasan Bersama.
Lovina belum datang ke Bahana pagi itu.
Hanya ada saya dan Hidayat Sulaiman, lay
outer Bahana. Mereka komplain terhadap liputan Bahana yang menyebutkan
salah satu organisasi mereka. Kami ikut menjelaskan perihal liputan tersebut.
Sekitar 15 menit kami terlibat diskusi. Akhirnya saya memberikan nomor kontak
Lovina dan mempersilakan kedua orang itu untuk datang lagi malamnya.
Seluruh kru berkumpul malam itu di Kantor
Redaksi Bahana termasuk Lovina. Yang kami tunggu pun tak kunjung datang. Lain
lagi respon civitas akademika, terutama pejabat universitas dalam menanggapi
liputan Bahana. Biaya cetak Bahana selalu jadi kambing hitam bila majalah ini
mengkritik kampus.
Hal ini sebenarnya kerap terjadi dalam
‘hidup’ Bahana. Alumni terdahulu sering menuturkan masa-masa sulit Bahana
seperti ini.
DARI Bahana saya banyak
belajar. Kebenaran haruslah disampaikan. Yang salah jangan pula ditutupi. Hidup
penuh dengan kritikan. Jika tak begitu tak akan ada perbaikan. Bahana juga
begitu. Kami selalu menerima kritikan dan masukan. BUKAN PENGEKANGAN. Karena
tugas Bahana Mahasiswa mengembangkan tradisi akademis yang kritis.*
0 komentar:
Posting Komentar