Senin, 05 Desember 2016

Pembangunan yang Terbengkalai



Satu fakultas disalah satu perguruan tinggi di Pekanbaru, hendak membangun kelas baru untuk menampung mahasiswa yang tiap tahun bertambah jumlahnya. Sayang, pembangunan itu terbengkalai.

Oleh Suryadi

SATU siang tahun 2014, saya mengumpulkan beberapa media online yang menerbitkan berita, terkait pembangunan gedung di salah satu kampus di Pekanbaru. Ada 14 media yang terkumpul. Secara umum, isi berita tersebut hampir sama. Intinya, seorang pejabat kampus diduga terlibat penyelewengan dana.

Pembangunan yang dimaksud adalah, ruang kelas baru untuk mahasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama di Riau.

Saya tidak langsung meyakini begitu saja isi berita tersebut. Penyebabnya ada dua hal. Pertama, isi berita baik kalimat dan paragraf hampir sama. Kedua, kurangnya narasumber dalam liputan tersebut.

Sebagai wartawan mahasiswa, saya mesti mencari informasi yang benar. Saya pun mengusulkan kasus ini pada rapat proyeksi majalah. Semua peserta rapat termasuk Pemimpin Redaksi menyetujui usulan ini.

Pertama sekali yang dilakukan adalah, mendatangi beberapa media yang menerbitkan laporan terkait. Ada satu media tidak mengakui laporan yang pernah ia terbitkan. Editor tersebut mengaku belum bekerja saat laporan itu dimuat. Seorang reporter di media itu justru berkata sebaliknya.

“Penulis aslinya sudah pindah ke media lain. Tapi kalau dilihat dari kode diakhir tulisan ini, memang abang tu yang editornya,” ujar reporter tersebut.

Malamnya, setelah mendapat kontak penulis berita, saya membuat janji untuk bertemu. Usaha ini berhasil. Reporter itu mengaku pernah menulis berita yang dimaksud. Hanya saja, dia tidak mengetahui kelanjutan dari kasus yang ditulis. Dia hanya memberitahu, kasus itu ditangani oleh satu lembaga penegak hukum di Pekanbaru.

Usaha untuk mencari kebenaran informasi pun berlanjut ke lembaga penegak hukum ini. Saya mencatat, ada belasan kali bolak-balik guna menjumpai penegak hukum di lembaga ini. Saya hendak meminta data dan wawancara. Namun permintaan ini tidak langsung ditanggapi.

Seorang staf meminta saya untuk memasukkan surat terlebih dahulu. Termasuk surat permohonan wawancara. Permintaan ini pun saya penuhi. Hasilnya tetap sama. Tiga kali memasukkan surat, tak ada informasi yang diperoleh. Bertemu dengan orang yang menangani kasus ini pun tak kunjung tercapai.

“Data apa yang kalian minta? Kami tak pernah menangani kasus yang kamu maksud,” ujar seorang staf.

Keesokan harinya, saya kembali mendatangi penulis berita. Saya ingin mengetahui nama penegak hukum yang menangani kasus ini. Tanpa berat hati, ia memberitahu nama tersebut. “Tapi dia sudah pindah tugas,” ujarnya.

Orang yang dimaksud, pindah tugas di Pusat Pelaporan dan Analiss Transaksi Keuangan atau PPATK. Melalui nomor telepon dan email yang saya peroleh dari website lembaga ini, saya mengkonfirmasi keberadaan nama yang hendak dicari.

“Iya benar. Dia pernah bekerja di Pekanbaru. Silakan kirim pertanyaan lewat email saja,” ujar seorang perempuan lewat sambungan telepon.

Dari sini saya dapat informasi, bahwa orang tersebut telah pindah tugas sebelum kasus itu selesai. Dia mengatakan, kasus itu diserahkan pada orang yang menggantikan posisinya. Namun, pertanyaan yang saya kirim melalui email tak dijawab sepenuhnya.

Satu minggu kemudian, saya kembali datang. Segala informasi, mulai dari nama dan status kasus yang diperoleh, saya sampaikan pada staf yang semula mengaku tidak mengetahui kasus ini.
Dia sempat terdiam. “Oke. Baiklah. Saya cek dulu berkasnya. Dua hari lagi kamu ke sini,” jawabnya kemudian.

Sesuai janji, hampir pukul 9, saya kembali datang dan langsung menuju ruangan staf tersebut. Dia sudah menunggu di meja kerjanya. Sambil bercerita, ia beranjak mendekati satu lemari dan mengeluarkan sebuah map merah. Isinya beberapa hvs.

Dia memberikan saya satu lembar hvs berisi pemberitahuan, bahwa kasus yang dimaksud telah dihentikan penyelidikannya. “Kerugian negara sudah dikembalikan,” katanya, saat ditanya alasan dihentikan penyelidikan.

Dalam laporan itu juga tercantum nama-nama pejabat kampus dan perusahaan yang menangani proyek pembangunan berikut alamat perusahaan.
Saya masih bertanya-tanya. Kerugian negara seperti apa yang dimaksud? Kenapa ada kerugian? Bagaimana itu bisa terjadi?

Setelah beberapa bulan liputan, saya buat laporan singkat dan terbit di bahanamahasiswa.co. Website Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau, tempat saya beraktivitas di kampus.

Keesokan harinya, berita ini dapat tanggapan dari seorang staf rektorat. Saya bersama Pemimpin Umum Bahana dipanggil untuk mengahadap di ruangannya. Sore itu, dengan secarik kertas berisi tulisan saya yang diprint, staf tersebut marah dan akan melaporkan saya.

Setelah beberapa jam berdebat, saya memintanya untuk membuat pernyataan keberataan dengan menyertakan informasi yang sebenarnya. Ia pun menyetujui. Malamnya, keberatan dari yang bersangkutan langsung terbit di website Bahana. Ini mekanisme kerja dunia pers.

Setelah mendapat komentar, liputan soal kasus ini kembali saya diskusikan bersama Pemimpin Redaksi saat itu. Kami memutuskan untuk mendatangi alamat perusahaan yang menangani proyek pembangunan ruang kelas baru itu.

Berbekal informasi dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik atau LPSE, kami mengunjungi salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Saya bersama seorang teman mendatangi alamat perusahaan di jalan Suak Lanjut, Kabupaten Siak. Kami sempat nyasar dan tidak menemukan nomor rumah yang dicari.

Setelah bertanya dengan warga setempat, kami langsung menuju rumah yang ditunjuk. Rumah kayu berbentuk panggung, dengan alamat dan nomor rumah yang sama pun ditemui. Sayangnya, pemilik rumah berkata lain. “Ini rumah saya. Bukan kantor perusahaan.”

Kami kembali menyusuri alamat yang dituju sambil mencari warga yang mengenal pemilik perusahaan. Beruntung, beberapa pria dewasa yang sedang duduk santai sambil ngobrol di warung mengenal orang yang kami cari.

“Oh. Rumahnya di Jalan Sutomo. Tanya saja orang sana. Semuanya kenal dengan dia,” ujar seorang pria tanpa baju sambil menjepit rokok dengan dua jarinya.

Usaha kali ini berhasil. Usai shalat ashar, orang yang kami cari akhirnya jumpa di satu masjid tak jauh dari rumahnya. Setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan hendak bertemu, ia mengajak kami ke rumah.

Ia sangat kooperatif. Dengan terbuka menceritakan persoalan yang pernah dihadapinya.

Tahun 2011, perusahaan yang berkantor di Kabupaten Siak ini memenangkan lelang pembangunan ruang kelas baru di salah satu kampus di Pekanbaru. Perusahaannya diberi waktu dua bulan untuk menyelesaikan proyek tersebut. Dana pembangunan kelas ini diperoleh dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri atau BOPTN, senilai Rp 900 juta.

Namun, hampir satu bulan setelah menandatangi kontrak, perusahaan tak kunjung melakukan pengerjaan terhadap proyek tersebut. Pemilik perusahaan lalu dipanggil oleh seorang petinggi fakultas. Di sana ia sampaikan bahwa, ia terkendala jarak dan sumberdaya manusia untuk melakukan pekerjaan.

Seorang staf pejabat fakultas lalu memperkenalkan pemilik perusahaan dengan seorang kontraktor. Bermaksud, agar ia dibantu oleh orang tersebut untuk mengerjakan proyek di lapangan. Kesepakatan diambil.

Pembangunan pun mulai dilakukan. Namun kembali terhenti. Tenggat waktu pengerjaan pun habis. Pemilik perusahaan kembali dipanggil. Kali ini oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru. Ia diminta bertanggungjawab atas mangkraknya pembangunan kelas itu. dan harus mengganti kerugian negara.

Kerugian diketahui setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP perwakilan Riau, mengumumkan hasil audit investigasi terhadap pembanguan kelas baru itu. Kerugian itu sebesar Rp 200 juta.

Pemilik perusahaan mengaku bersalah atas kelalaiannya mengawasi pekerjaan di lapangan. Alasannya, jarak antara Siak dan Pekanbaru. “Saya harus jual kebun dan mobil untuk ganti kerugian itu,” jelasnya diakhir wawancara.

Sejak 2011 mulai dibangun, hingga kini, ruang kelas baru yang dicita-citakan tak kunjung berdiri alias terbengkalai. Tulisan lengkap terkait cerita di atas pernah dimuat dalam majalah LPM Bahana Mahasiswa Universitas Riau, edisi Oktober-November 2015 berjudul Kontraktor Hilang Kelas Baru Melayang. Tentu dengan sumber dan nama yang benar alias bukan anonim.

CERITA di atas hanyalah sedikit upaya yang pernah saya lakukan untuk mencari kebenaran terhadap satu kasus. Terutama kasus yang ada di sekitar saya. Dalam kesempatan menjelang peringatan Hari Anti Korupsi Internasional 2016, saya tiba-tiba teringat dengan usaha yang pernah saya lakukan. Semoga bermanfaat!

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari Anti Korupsi Internasional yang diselenggarakan KPK dan Blogger Bertuah Pekanbaru.



Read More

Selasa, 27 September 2016

Bahana Mahasiswa Mengembangkan Tradisi Akademis yang Kritis



Sejak berdiri, Bahana Mahasiswa terus memberikan informasi pada civitas akademika dan pembaca di luar kampus. Formatnya terus berganti. Dari koran, tabloid, majalah hingga online. Budaya kritis tak lekang.

Oleh Suryadi

Sejak 2012, Bahana mulai rutin menerbitkan majalah. Tak lagi format koran.
LIBUR semester genap kemarin, saya mengobrol dengan Jeffri. Ia teman baik di Bahana Mahasiswa. Di meja rapat, kami membicarakan usia Bahana yang sudah memasuki 33 tahun. Saya bertanya padanya. Berhubung nanti kita akan menerbitkan majalah edisi Juli-Agustus, apa yang kita buat untuk Bahana? Saya bermaksud, nantinya ada tulisan yang bercerita soal Bahana pada majalah yang akan terbit.

Jeffri mengusulkan, buat cerita soal perjalanan alumni Bahana, mulai dari awal berdiri hingga sekarang. Ide ini sangat bagus. Tapi generasi Made Ali sudah pernah menulisnya pada tahun 2009. Tulisan itu juga menyambut hari jadi Bahana. Saya beri usul, menulis cerita peralihan terbitan Bahana dari koran, tabloid hingga majalah. Jeffri tak beri komentar banyak. Ia langsung setuju.

Cerita di bawah ini hasil dari obrolan saya dan Jeffri tadi. Tulisan ini terbit dalam majalah Bahana edisi Juli-Agustus 2016.

JULI lalu menjadi bulan yang paling menggemberikan. Terutama bagi awak Bahana Mahasiswa Universitas Riau. Pasalnya, setelah melaksanakan ibadah puasa dan disambut dengan idul fitri, Bahana Mahasiswa telah sampai pada usia 33 tahun. Beberapa kru di luar Pekanbaru bergegas kembali ke kantor redaksi.

Kami semua hendak buat acara kecil-kecilan. Undang alumni, makan bersama dan bernostalgia dengan mereka. Meski tak banyak yang sempat hadir, beberapa diantara mereka cukup mewakili generasinya. Cerita soal berdirinya Bahana, masa-masa sulit di Bahana, hingga cerita lucu-lucuan.

Tulisan ini tidak mengulang cerita mereka. Hal itu sudah pernah ditulis oleh generasi sebelumnya. Made Ali mantan Pemimpin Umum Bahana Mahasiswa 2009 hingga 2011, pernah menulis sekilas perjalanan BM—singkatan Bahana Mahasiswa—menuju perak. Tulisan ini dimuat dalam majalah Bahana menyambut hari jadi Bahana ke 25.

Tulisan yang dimuat dalam laporan khusus majalah Bahana itu, menceritakan peristiwa yang terjadi di masing-masing generasi. Pada usia ini, saya hendak bercerita sedikit soal peralihan format cetak Bahana dari koran ke majalah, berikut kupasan singkat isi laporan utamanya.

NOVEMBER lima tahun silam, saya mengikuti Diklat Jurnalistik Bahana Mahasiswa. Pelatihan ini berlangsung di kantor redaksi Bahana selama tiga hari. Pelatihan ini bagian dari rekrutmen untuk menjadi wartawan di Bahana. Ditahun ini, awak Bahana tetap rutin menerbitkan tabloid yang ditutup dengan majalah tiap akhir tahunnya.

Cikal bakal menerbitkan majalah diawali oleh generasi Anggara Fernando. Ia Pemimpin Umum Bahana Mahasiswa 2007. Kala itu, seluruh awak kru Bahana mulai dari Pimum, Pimred, Pimprus dan jajaran Redaktur termasuk reporter serta kru magang hendak buat satu terobosan baru.

Ada yang mengusulkan agar Bahana buat jurnal yang terbit skala periodik. Ide ini lalu berkembang dan penuh pertimbangan. Jurnal dianggap tidak memberi kesempatan yang luas bagi reporter bahana untuk menulis. Jurnal hanya akan diisi oleh penulis atau akademisi yang hendak mencurahkan hasil penelitiannya.

Usulan untuk menerbitkan majalah jadi pilihan. Semua awak kru Bahana sepakat. Tiap hari jadi Bahana, 17 Juli, kru akan menerbitkan majalah. “Majalah juga akan lebih tahan lama untuk disimpan,” kenang Angga dalam video milad Bahana ke 30.

Majalah perdana terbit 68 halaman. Karena momen pengabdian mahasiswa pada masyarakat atau biasa disebut KKN, laporan utama majalah Bahana mengkritisi keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan sosial di masyarakat.

Mahasiswa dianggap kurang merespon isu yang berkembang di tengah masyarakat. Apatisme mahasiswa menjadi perbincangan dikalangan aktivis. Peran lembaga mahasiswa juga dirasa kurang berdampak pada masyarakat itu sendiri. Kegiatan yang dilakukan usai pada saat itu saja. Tidak menemukan tindak lanjut. “Mahasiswa tidak lagi menyandang gelar agen of change,” ujar Jhoni S Mundung, mantan aktivis mahasiswa, dalam laporan Bahana.

Persoalan ini bisa dilihat dari program kerja yang dibuat oleh masing-masing kelembagaan, mulai dari tingkat jurusan, fakultas dan universitas. Program kerja yang dibuat lebih banyak berkutat disektor internal. Pengabdian pada masyarakat yang menjadi poin tri dharma perguruan tingga hanya sedikit menyentuh dalam program kerja yang dirancang.

Tak pelak, mahasiswa juga dicap kurang bergaul, merasa hebat dan ingin dihormati. Komentar ini disampaikan Muhammad Sarfai Ketua BLM Faperta waktu itu, dalam laporan yang ditulis kru Bahana, Ridhwan Bey.

TAHUN BERGANTI. Penanggungjawab Bahana juga beralih pundak. Giliran Suprapto memimpin Bahana sekaligus bertanggungjawab terhadap keredaksian. Namun nazar awal menerbitkan majalah tak lekang. Format dan ukuran majalah yang diterbitkan tak jauh berbeda dari generasi Anggara Fernanddo. Hanya saja jumlah halaman sedikit bertambah menjadi 72 halaman.

Generasi Suprapto mengkritisi visi Riau 2020. Tujuan jangka panjang ini hanya dianggap sebatas seremonial. Begitu tertulis pada sampul majalah.

Harapan pemimpin negeri Riau ini terpatri dalam lembaran Peraturan Daerah No 36 tahun 2001. Bunyinya, Mewujudkan Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera Lahir Batin di Asia Tenggara tahun 2020.

Sejak itu, tampilan fisik tiap gedung terutama gedung pemerintahan di negeri melayu ini mulai menampilkan ciri khas kemelayuannya. Selembayung teronggok ditiap atap gedung dan menjadi simbol. Berbusana melayu digalakkan. Pegawai hingga siswa sekolah diwajibkan berbusana ini pada hari tertentu.

Bermacam event dihelat. Pemerintah Provinsi Riau pernah melaksanakan malam penganugerahan Festival Film Indonesia atau FFI. Artis ibu kota datang. Malam penganugerahan bagi insan perfilman Indonesia ini seyogyanya berlangsung di Jakarta. Namun malam itu Riau mendapat kehormatan gara-gara perhelatan yang menghabiskan anggaran Rp 7,2 milyar.

Perhelatan akbar lain yang pernah ditaja negeri lancang kuning adalah, Dunia Melayu Dunia Islam atau DMDI, semacam festival budaya  Melayu sedunia. Event ini disebut proyek orang Malaka. “Agenda-agendanya ditentukan oleh orang Malaka,” terang Al Azhar dalam liputan Bahana.

Sastrawan Riau, Marhalim Zaini berujur lain. Ia menyebut, budaya Riau budaya seremoni.
Budayawan juga mengkritisi hal ini. UU Hamidy mengatakan, yang perlu digalakkan adalah nilai-nilai budaya Melayu itu sendiri. Almarhum Tenas Effendi berucap senada. “Melayu tidak mengacu pada etnik. Tetapi lebih kepada nilai-nilai bukan hanya fisik.” Sebelum wafat, almarhum pernah berujar pada kru Bahana, saya risau 20 tahun mendatang orang Melayu tak tahu dengan Melayu itu sendiri.

SUPRAPTO mengakhiri tanggungjawabnya pada 2009. Giliran Made Ali yang menakhodai Bahana hingga April 2011. Pada masanya, tabloid Bahana cetak tiap dua minggu sekali dan tiap akhir tahun tetap menerbitkan majalah.

Majalah pertama saat Made memimpin berukuran lebih kecil dibanding dua tahun sebelumnya. Dari 4 kolom tulisan menjadi 3 kolom. Halamannya juga berkurang. Dari 68 halaman menjadi 44 halaman. Edisi kali ini menyoal aktivis Rohis yang memegang tampuk kekuasaan BEM Universitas Riau.

Sejak Ade Angga mengakhiri masa jabatannya memimpin BEM Universitas Riau pada 2004, mereka aktivis Rohis di kampus, mulai menguasai jabatan yang ditinggalkan oleh Ade Angga. Pendakwah-pendakwah di Kursi Kekuasaan, begitu judul laporan utama yang ditulis oleh Made Ali.

Berikut mereka yang pernah memegang tampuk kekuasaan BEM Universitas Riau. Dodi Armawan-Anis Murzil periode 2004-2005; Hamdani-Effendi Muharram periode 2005-2006; Alfajri-Syahrul Fadillah periode 2006-2007; Fajri Ariefyanto-Budiono 2007-2008; Hendra Gunawan-Dimas Pradasumitra 2008-2009; Anshori-Azmansyah 2009-2010; Adi Hamdani- periode 2010-2011; Nofri Andri Yulan-Julian Caesar periode 2011-2012; Fadli-Iskandar periode 2013-2014. 

Pada saat Kongres Mahasiswa Universitas Riau, bertepatan akan disahnya Fadli dan Iskandar sebagai Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa, terjadi keributan antar mahasiswa. Keributan ini berlangsung lama. Tiga kali lokasi Kongres berpindah tempat. Hasilnya, hampir setengah tahun kekuasaan BEM universitas vakum. Namun Fadli dan Iskandar tetap disahkan sementara BLM dipresidumkan.

Ketua BLM yang seyogyanya dipilih dan ditetapkan pada Kongres, karena persoalan tersebut dianggap tidak sah. Solusinya, tiap BLM Fakultas diwajibkan merekomendasi dua orang anggotanya untuk mengisi kekosongan BLM Universitas. 

Dari sini cikal bakal BLM berubah menjadi BPM atau Badan Perwakilan Mahasiswa. Pemilihannya tidak lagi di Kongres tapi melalui Pemilihan Raya bersamaan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sistem pemilihannya memakai e-voting, tidak lagi menggunakan kertas suara.

Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan atau PUOK berubah menjadi Undang-Undang Dasar Kelembagaan Mahasiswa disingkat UUD KM. Rapat tahunan kelembagaan mahasiswa yang semula dinamai Kongres diganti menjadi Musyawarah Mahasiswa.

Meski merombak konsep pemilihan anggota BPM dan pemungutan suara dengan sistem e-voting, kekuasaan aktivis Rohis tidaklah padam. Tercatat nama-nama penerus generasi mereka, Zulfa Hendri-Hendri periode 2014-2015; Andres Pransiska-Asnawir periode 2015-2016. Sekarang giliran A. Khoir dan Bayu Kumbara menjalankan perintah Dewan Syuro hingga 2017.

Mereka dikatakan sangat kompak. Dalam laporan utama majalah Bahana, Masjid Arfaunnas kampus UR Panam, Masjid Akramunnas kampus UR Gobah serta mushalla ditiap fakultas jadi tempat mereka berkumpul sehari-hari.

“Ya biasa ada pengkajian-pengkajian setiap pekan. Bahkan dulu anak Rohis tidak mau ketika ditunjuk jadi presiden kayak saya dulu. Kalau pribadilah diturutkan semester segitu tentu mau selesai kuliah. Tapi karena amanah harus dijalankan,” kata Hamdani MS, mantan Ketua BEM UR, dalam laporan utama majalah Bahana.

Mereka merekrut kader dengan berbagai cara. Bahkan asistensi yang di kelola oleh UKMI Ar-Royyan, sebagai salah satu syarat tambahan nilai mata kuliah Agama Islam, dijadikan alat sebagai ajang kaderisasi. Mahasiswa yang sudah terjaring di sini dimanfaatkan pada saat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berlangsung.

“Hampir setiap hari saya selalu di SMS anak Rohis untuk pilih kader mereka,” ungkap Kiki.
“Saya sering dirayu agar memilih pasangan Hendra Gunawan-Dimas Pradasumitra (mantan Ketua dan Wakil Ketua BEM UR periode 2008-2009),” terang Anto, mahasiswa Faperta.

“Kami pernah diiming-imingi dapat nilai B tanpa ujian praktek, asal pilih pasangan Hendra-Dimas,” ujar Parlindungan. Begitu keterangan beberapa mahasiswa saat diwawancar oleh kru Bahana pada majalah tahun 2009 lalu.

Sebelum mengakhiri tanggungjawabnya, generasi Made Ali kembali menerbitkan majalah pada akhir tahun 2010. Ukurannya tidak berubah. Tapi halamannya bertambah menjadi 52 halaman. Kali ini laporan utamanya menyoal Prof. Bustari Hasan Dekan Faperika, tak kunjung dilantik oleh Prof Ashaluddin Jalil yang sedang menjabat Rektor masa itu.

Sepuluh bulan setelah terpilih, Prof Bustari Hasan ‘terkatung-katung’ tak kunjung dilantik. Pasalnya Inspektorat Kementerian Pendidikan Nasional berkirim surat pada Prof Ashaluddin Jalil.
Surat itu menyampaikan temuan Inspektorat terkait pemilihan Dekan Faperika, diantaranya: Jasril sebagai anggota senat utusan pegawai, pemilihannya tak melalui rapat pegawai. Soal status Deni Elfizon ikut pemilihan saat tugas belajar. Soal lobi-lobi selama pemilihan. Soal surat perjanjian antara Prof Bustari dan Prof Dewita Bukhari.

Dari empat temuan tersebut, dua dinyatakan terbukti oleh Inspektorat setelah dilakukan verifikasi di lapangan. Soal Deni Elfizon dan perjanjian.

Kesimpulan dari temuan diatas, Inspektorat merekomendasikan agar dilakukan pemilihan ulang. Hasil rapat senat Faperika yang dipimpin oleh Prof Bustari berkehendak lain. Senat Faperika sepakat menolak untuk pemilihan ulang.

Ceritanya begini. Pemilihan Dekan Faperika periode 2010-2014 berlangsung dua putaran. Calonnya, Prof Bustari Hasan, Prof Thamrin dan Prof Dewita Bukhari. Putaran pertama Prof Bustari dan Prof Thamrin sama-sama meraup 11 suara dan 8 suara milik Prof Dewita Bukhari. Untuk menyiapkan surat suara pemilihan putaran kedua, Ridwan Manda memberi jeda 15 menit. Ridwan Manda Ketua Panitia pemilihan Dekan Faperika masa itu.

Anggota senat yang berada dalam ruangan saat pemilihan berkehendak lain. Secara serentak mereka minta waktu jeda satu jam sambil keluar ruangan. Di sinilah lobi-lobi antar tim terjadi. Tim Thamrin berkumpul di ruang Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Tim Dewita di ruang Pengelolaan Sumber Daya Perairan. Bustari dan timnya memilih berkumpul di ruang Dekan.

Sebagai penghubung antar tim, dua tim Dewita, Aprizal Tanjung dan Rifardi aktif melobi Bustari dan Thamrin. Kedua orang ini menawarkan syarat yang sama pada tiap calon. Jika ingin dipilih, semua Pembantu Dekan (PD) harus dari tim Dewita. Bustari minta satu PD saja dari timnya. Thamrin menawarkan dua PD dari timnya dan dua PD dari tim Dewita.

Singkat cerita, tim Dewita memilih opsi Bustari. Agar kesepakatan tak dikhianati dikemudian hari, tim ini buat surat perjanjian. Bustari bersama saksinya Deni Elfizon dan saksi dari Dewita, Soeardi Loekman ikut bertanda tangan dalam surat tersebut. Dewita sendiri tak ikut tanda tangan. “Saya saja tak pernah lihat suratnya, bagaimana mau tanda tangan,” elak Dewita dalam majalah 2010 lalu.

Alhasil, Bustari menang 17 suara dan Thamrin hanya 13 suara. Dari sinilah surat kaleng diterima oleh inspektorat sampai akhirnya keluar rekomendasi untuk pemilihan ulang.

Persolan ini menunggu kebijakan rektor saat itu. Udin—sapaan Ashaluddin Jalil—mencermati permasalahan ini dengan tidak gegabah. “Kita sedang bicarakan dengan kementerian. Kita kan tidak sendiri, institusi ini berada di bawah kementerian,” Katanya, dalam tulisan Aang Ananda Suherman pada laporan utama majalah Bahana edisi September-Oktober 2010.

Meski begitu, Udin akhirnya melantik Bustari pada November 2010.

LOVINA menggantikan Made Ali sejak pertengahan 2011. Memasuki awal tahun 2012, generasi ini buat perubahan. Majalah tidak lagi cetak pada akhir tahun. Tapi menjadi rutinitas tiap dua bulan sekali. Isi liputannya penuh dengan tulisan panjang atau feature. Sementara berita pendek dan perca dimuat melalui website bahanamahasiswa.co.

“Perkembangan new media cukup pesat. Kita tidak ingin ketinggalan menyampaikan informasi. Jadi berita sehari-hari di kampus harus cepat kita menyampaikannya,” ujar Lovina, dalam video milad Bahana ke 30.

Tercatat, majalah pada masa Lovina memimpin diantaranya: 327 Datang Pulau Padang Perang, Tanah Ku atau Tanah Mu, Kongres Ribut Lagi Kelahi Lagi, Mengapa FE Begini, Surat Kekerasan Bersama dan UPT PPL Tolong Kami. Jumlah halaman majalah tidak menentu. Kisaran 30 hingga 60 halaman.

Tiap kali usai cetak, Bahana kerap menerima respon dari pembaca baik dari civitas akademika hingga pembaca luar kampus.

Pernah satu pagi, saya baru saja keluar dari kamar mandi. Depan pintu Bahana satu mobil Suzuki APV parkir. Dua orang keluar dari mobil tersebut. Memakai kopiah, celana di atas mati kaki sambil membawa satu majalah. Setelah mengucapkan salam, seorang dari mereka menanyakan Lovina dan menunjukkan majalah Surat Kekerasan Bersama.

Lovina belum datang ke Bahana pagi itu. Hanya ada saya dan Hidayat Sulaiman, lay outer Bahana. Mereka komplain terhadap liputan Bahana yang menyebutkan salah satu organisasi mereka. Kami ikut menjelaskan perihal liputan tersebut. Sekitar 15 menit kami terlibat diskusi. Akhirnya saya memberikan nomor kontak Lovina dan mempersilakan kedua orang itu untuk datang lagi malamnya.

Seluruh kru berkumpul malam itu di Kantor Redaksi Bahana termasuk Lovina. Yang kami tunggu pun tak kunjung datang. Lain lagi respon civitas akademika, terutama pejabat universitas dalam menanggapi liputan Bahana. Biaya cetak Bahana selalu jadi kambing hitam bila majalah ini mengkritik kampus.

Hal ini sebenarnya kerap terjadi dalam ‘hidup’ Bahana. Alumni terdahulu sering menuturkan masa-masa sulit Bahana seperti ini.

DARI Bahana saya banyak belajar. Kebenaran haruslah disampaikan. Yang salah jangan pula ditutupi. Hidup penuh dengan kritikan. Jika tak begitu tak akan ada perbaikan. Bahana juga begitu. Kami selalu menerima kritikan dan masukan. BUKAN PENGEKANGAN. Karena tugas Bahana Mahasiswa mengembangkan tradisi akademis yang kritis.*

Read More