Suryadi
PANGGUNG KOSONG BERLATAR KAIN HITAM. Cahaya
lampu tak begitu terang. Berjalanlah seorang pria dari balik kain hitam. Baju melayu
bercorak kuning ia kenakan. Songket khas melayu melilit pinggang hingga lutut. Peci
hitam dengan manik-manik kecil bersinar diterangi lampu panggung terpasang di
kepala. Sambil melenggang ke sisi panggung, terlihat di tangannya memegang
sebuah rebab—alat musik serupa biola.
Dari sisi penonton, terlihat ia duduk di sisi kiri
dengan besila kaki. Rebab diletakkan di bahu kiri, jari-jari bersiap mengatur
kunci nada, tangan kanan memegang penggesek rebab. Tenang, tangan kanan
mendekatkan penggesek ke rebab. Tak berapa lama mengalunlah musik dari alat
gesek tersebut. Setiap pengeras suara di ruangan menghantarkan alunan musik ke
pendengaran penonton.
Musik terus mengalun, kemudian terlihat seorang
perempuan bersanggul berjalan perlahan ke tengah panggung. Ditangannya terdapat
secarik kertas. Sesaat kemudian ia sudah melalak, melantunkan tiap bait syair
syahdu diiringi alunan rebab. Mendayu dan lembut. Nada syair yang digunakan tak
sembarangan, tiap jenis nada bernama. “Ada nada Selendang Delima, Surat Kapal,
Burung Tiung dan Ahai,” cerita sang gadis pembaca syair, Atta. Ia sering
melantunkan syair dan kerap tampil bersama sanggar seni tempat ia bergabung.
MUHIBBAH SENI,
begitulah namanya. Dibentuk sebagai wadah untuk menampilkan secara audio dan
visual tradisi khas melayu pada masyarakat. Bermula dari ekspedisi kebudayaan
melayu mengarungi sungai besar di Riau oleh Pusat Penelitian Kebudayaan dan
Kemasyarakatan Universitas Riau atau P2KK UR.
“Tradisi di Riau bak batang terendam,” ujar Elmustian
Rahman, pelopor kegiatan yang berlangsung dari tahun 2001 ini ketika ia jadi
Ketua P2KK. Sungai yang dilalui diantaranya Sungai Rokan, Kuantan, Kampar dan
Indragiri. Dari menyusuri sungai inilah satu persatu khasanah Riau ditemukan. Bak
batang yang terendam, dengan ekspedisi ini batang-batang tersebut mulai
diangkat kepermukaan. Elmustian menjelaskan, lahirnya tradisi tak terlepas dari
sungai, karena banyaknya masyarakat dahulu menetap di pinggir sungai. Maka dilakukan
penjelajahan menemukan tradisi yang hilang.
Ia menyesalkan bahwa tradisi asli masyarakat melayu
mulai dilupakan. “Pelakon seni tradisional sudah banyak yang meninggal,”
ujarnya. Baginya, jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus, kesenian
tradisional akan tergerus modernisasi. “Kondisi ini tidak bisa dibiarkan,” tambah
Elmustian.
Awalnya kesemua tradisi yang ditemukan dirangkum dalam
buku berupa ensiklopedia kebudayaan melayu Riau. “Di buku saja tidak cukup,”
keluh Elmustian. Ia berpikir kesenian ini harus ditampilkan kekhalayak ramai
dan semua bisa menikmatinya. Dari diskusi sana-sini akhirnya disepakatilah
untuk membentuk sanggar seni ini.
Seperti yang diniatkan, Muhibbah Seni banyak menampilkan
kesenian Riau. mulai dari kesenian lisan melantunkan syair-syair khas Riau
seperti syair Ikan Terubuk dari masyarakat Siak, maupun Kayat, kesenian asal
Taluk Kuantan dan Rokan.
Ini berupa penyampaian lisan karya sastra Melayu dalam
bentuk pantun berisi nasihat ataupun kisah seorang tokoh yang dijadikan
pembelajaran. Selain sebagai bentuk hiburan masyarakat, kesenian ini menjadi
wadah silaturrahmi masyarakat. Karena ditampilkan di tengah masyarakat dari
malam hingga subuh menjelang. Kesenian lainnya yang mirip dengan kayat ialah
Bekoba, khas daerah Rokan Hulu. Dari Kampar dan Indragri Hulu dikenal dengan
kesenian Batobo, kegiatan berbalas pantun saat gotong-royong di ladang. Pantun Batobo
ini disampaikan masyarakat untuk melepas penat bekerja.
Selain seni lisan, juga ada penampilan kesenian bela
diri seperti silat Selendang, Silat Tiga Bulan dan Silat Thariqat khas Rokan. Seni
tari tak ketinggalan. Mulai dari tari Zapin hingga Joget Lambak. Tak ketinggalan
seni Nandung atau bernyanyi.
Untuk memahami tiap kesenian ini, anggota Muhibbah
dibawa langsung ke daerah asal kesenian tersebut muncul. Mereka langsung
belajar dengan pelaku seni ataupun melihat pertunjukan di sana. “Terkadang
orangnya kami bawa langsung ke sini,” jelas Raja Nanda, anggota Muhibbah.
Tujuan awal dibentuknya Muhibbah Seni sebagai wadah
memperkenalkan kembali kebudayaan melayu kekhalayak ramai terwujud pada 2009. Belasan
anggota Muhibbah Seni melawat ketiga negara di Asia Tenggara, Malaysia,
Singapura dan Thailand. “Ini program dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi
atau Dikti untuk memperkenalkan kesenian daerah,” jelas Mukhtar Ahmad, mantan
Rektor Universitas Riau. kesenian yang berasal dari kampung-kampung di Riau
disaksikan oleh masyarakat luar Indonesia. “Ternyata kesenian kampung kita ini
juga laku di luar negeri sana,” bangga Elmustian.
ATTA SELESAI MELANTUNKAN SYAIRNYA. Kini
giliran segerombolan laki-laki dan perempuan yang keluar dari balik kain hitam.
Juga berkurung Melayu dan menggunakan songket. Beberapa membawa gendang di
tangan. Menuju tengah panggung mereka membagi diri menjadi tiga kelompok. Dua kelopok
duduk berhadapan, jadi pelantun bait-bait pantun, satu kelompok lagi duduk menghadap
penonton sebagai pemain musik. Diiringi irama rebab dan gendang, mereka terus saling berbalas patun. “Pantun ini
disampaikan tanpa teks, spontan saja,” jelas Atta.
Setelah beberapa kali berbalas pantun, mereka berdiri
dan beratraksi di atas panggung. Menari, membentuk lingkaran, berkeliling. Diantara
mereka ada yang menghampiri penonton dan mengajak menari bersama di atas
panggung. Sontak panggung bertambah ramai karena hentakan kaki, gerak tangan
dan irama musik serta pantun yang dilantunkan semakin cepat.#
Tulisan ini pernah
dimuat di rubrik Sempena majalah Bahana Mahasiswa Universitas Riau edisi
Februari- Maret 2014.
mantab gan
BalasHapusalat musik ritmis dan melodis