Senin, 08 Juni 2015

Tanjung Belit, Surga Alam dan Adat Riau



Menjaga hutan, sungai serta adat istiadat agar tak dilupakan

Suryadi

“TIAP DESA YANG DILALUI SUNGAI SUBAYANG PUNYA LUBUK LARANGAN,” ujar Efrianto, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN Riau. Lembaga yang menaungi persoalan advokasi masyarakat adat. Pembahasan ini berlangsung ketika World Wild Fund atau WWF Riau mengadakan Forum Group Discussion di stasiun Subayang milik WWF di daerah Tanjung Belit. Saya kala itu ikut jadi peserta dan berbincang dengan peserta lainnya.

Lubuk larangan jadi tempat bagi ikan-ikan sungai hidup seperti biasa. Namun bedanya, ikan di lubuk ini boleh diambil tiap satu kali setahun. Itupun melalui prosesi adat dipandu Ninik Mamak. Selain waktu yang ditentukan, masyakarat hanya boleh mengambil ikan di luar batas lubuk. Area terlarang itu diberi batas berupa tali oleh masyarakat adat. “Biasanya waktu untuk mengambil saat kemarau,” ujar Amrin, masyarakat Tanjung Belit.

Amrin bercerita prosesi pengambilan ikan di lubuk larangan dimulai dengan pembacaan doa oleh dukun desa yang turun ke lubuk. Setelah selesai didoakan barulah masyarakat menangkap ikan dari lubuk tersebut. Ikan hasil tangkapan akan dikumpulkan dan dibagi dua. Sebagian dibagikan sama rata dengan masyarakat, sebagian lainnya dimasak dan dimakan bersama di tepi sungai tempat lubuk.

Setelah makan, dilakukan proses lelang ikan yang telah ditangkap. “Boleh dijual lagi tapi harus ikan berukuran besar,” cerita Amrin. Pembeli bisa mendapatkan ikan dengan menetapkan harga. Namun sama dengan lelang, yang bisa mendapatkan ikan adalah penawar tertinggi. Selesai proses menangkap, masak, makan dan lelang dalam satu hari, barulah acara ditutup. “Penutupannya sederhana saja, warga baca yasin bersama di Surau,” tutur Amrin. Menurutnya, beginilah cara masyarakat Tanjung Belit menjaga sungai. “Supaya ikan tetap bisa berkembang biak,” tambahnya. Sehingga pada saat yang diperbolehkan banyak ikan yang bisa diperoleh masyarakat.

BERBICARA SOAL SUNGAI SUBAYANG, ini adalah sungai panjang yang melewati tiga belas desa di Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Diantaranya Desa Kuntu, Padang Sawah, Pulau Pencong, Gema, Tanjung Belit dan Muaro Bio. Selain itu ada Desa Batu Sanggan, Tanjung Beringin, Gajah Bertelur, Aur Kuning, Terusan, Salo dan Pangkalan Serai. “Hilirnya di sekitar Kabupaten Pelalawan dan Hulunya mencapai daerah Sumatera Barat,” cerita Anto masyarakat Tanjung Belit.

Bagi masyarakat, untuk keperluan lauk sehari-hari mereka cukup mencari ikan di sungai ini. Dengan keadaan sungai yang bersih dan jernih tidak menjadi masalah bagi mereka menemukan ikan. Memang, disepanjang sungai ini suasana masih asri. Pinggiran sungai terdapat batuan-batuan kecil. Hutan di sisi kiri dan kanan sungai masih hijau dan lebat, pohon-pohon masih menjulang tinggi dengan kokoh. Kicauan burung laksana alunan musik alami nyaring dalam hutan.

Untuk menangkap ikan, masyarakat gunakan cara sederhana. Ketika saya dan rombongan menelusuri sungai Subayang dengan speed boat, terlihat beberapa masyarakat sedang menjala ikan. Ada yang berdiri di tepi sungai atau di tepi pohon hutan. “Terkadang ada juga yang gunakan senapan penembak ikan,” ujar Amrin.

Jangan bayangkan senapan penembak ikan adalah senjata api dengan peluru yang sering digunakan aparat keamanan atau pemburu binatang. Senapan ini terbuat dari kayu dengan ketebalan 10 hingga 17 milimeter. Panjangnya hampir sama dengan senapan biasa. Gagang atau pegangannya pas ukuran satu genggaman tangan.

Senapan ini tidak memiliki pelatuk. Namun pada pangkal lekukan atas diberi paku guna menahan peluru, peluru dari besi atau kawat yang panjangnya melebihi panjang senapan. Di bagian atas ujung diberi pipa seukuran setengah jari, guna menahan peluru tadi agar tidak lepas. Pipa ini diikat dengan karet ban dengan memberi sedikit sisa untuk penarik peluru berupa karet.

Menangkap ikan menggunakan senapan ini dengan cara menyelam. Setelah menemukan target, senapan diarahkan dan peluru yang ditarik karet tadi cukup didorong ke atas dengan jari telunjuk. Jika lepas dari paku penyangga, peluru dengan ujung runcing tadi akan mengenai ikan yang jadi target sasaran.

SAYA KEMBALI MENDAPAT CERITA SOAL KEBIASAAN masyarakat Tanjung Belit saat hidangan untuk santap malam peserta. Karena berada di tengah hutan, untuk panganan, WWF meminta bantuan dari masyarakat sekitar. Jadilah nasi bertemankan pucuk ubi rebus dan sambal khas Tanjung Belit disajikan.

Sambal ini sepintas mirip sambal terasi dari udang, namun perbedaannya sambal ini terbuat dari ikan. Sambal yang dijadikan lauk khas masyarakat Kampar Kiri khususnya Tanjung Belit ini disebut sambal kacau.

Anto mengatakan, biasanya masyarakat gunakan ikan Baung atau ikan Barau untuk campuran sambal. Selain ikan, bahan lainnya dalah cabe hijau yang telah digiling dan dipanaskan dengan minyak goreng. Setelah sambal cukup matang barulah di ‘kacau’ bersama ikan. Proses ‘mengacau’ ikan bersama sambal ini agar ikan menjadi lebih halus dan menyatu dengan sambal. “Tak lama, cuma lima menit sudah masak,” ujar Zepmanora, warga perempuan Tanjung Belit yang juga memasak sambal kacau.

Saya melihat peserta menyantap sambal kacau dicampur dengan nasi, namun ada juga yang memakannya begitu saja. Menurut Anto itu sudah biasa, “karena ikannya masih terasa dan sambalnya tidak terlalu pedas.” Namun ia menambahkan, harus hati-hati terhadap duri ikan yang ada di sambal. Memang benar, sedang asyik mengunyah ikan dari sambal tersebut, sesekali harus berhenti untuk mengenyahkan duri dari dalam mulut. “Ini lauk sehari-hari kita,” ujar Anto.

DI TANJUNG BELIT SILIH BERGANTI DITAMPILKAN KEASRIAN ALAM DAN KEKENTALAN TRADISI. Sebelumnya saya tahu bagaimana tradisi menangkap ikan di lubuk larangan dan makanan khas sambal kacau. Keesokan harinya peserta dibawa melihat air terjun tujuh tingkat di desa tersebut. Kata Suandri, Direktur WWF Riau, dingin air terjun ini mencapai 20 derajat celcius.

Untuk melihatnya kami harus menyusuri sungai dan menjelajahi hutan. Terkadang harus mendaki dan melewati tanah curam. Jalan yang dilalui hanya jalan setapak dan licin jika basah. Memanfaatkan ranting atau batang pohon jadi alternatif sebagai pegangan untuk menahan licinnya tanah.

Untuk mempermudah akses menuju tempat yang bisa dijadikan obyek wisata ini, masyarakat Tanjung Belit membentuk satuan kerja yang dinamai Kelompok Kerja Batu Dinding. Kelompok ini terdiri dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari pemerintah desa, ninik mamak serta pemuda setempat. Kelompok ini diketuai oleh Mahwel, pemuda Tanjung Belit.

Kelompok Kerja Batu Dinding setahun sejak dibentuk mulai membuat akses jalan dan mendirikan beberapa pondok kecil. Kelompok ini juga aktif memantau kondisi hutan dan lingkungan dalam hutan terutama sekitar air terjun. “Pengunjung terkadang membuang sampah sembarangan dalam hutan,” ujar Mahwel.

Naskah ini pernah terbit di majalah Bahana Mahasiswa Universitas Riau edisi Februari-Maret 2014.


0 komentar:

Posting Komentar