Menjaga
hutan, sungai serta adat istiadat agar tak dilupakan
Suryadi
“TIAP DESA YANG DILALUI SUNGAI SUBAYANG
PUNYA LUBUK LARANGAN,” ujar Efrianto, Ketua Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN Riau. Lembaga yang menaungi persoalan
advokasi masyarakat adat. Pembahasan ini berlangsung ketika World Wild Fund
atau WWF Riau mengadakan Forum Group Discussion di stasiun Subayang
milik WWF di daerah Tanjung Belit. Saya kala itu ikut jadi peserta dan
berbincang dengan peserta lainnya.
Lubuk larangan jadi tempat bagi ikan-ikan sungai hidup
seperti biasa. Namun bedanya, ikan di lubuk ini boleh diambil tiap satu kali
setahun. Itupun melalui prosesi adat dipandu Ninik Mamak. Selain waktu yang ditentukan,
masyakarat hanya boleh mengambil ikan di luar batas lubuk. Area terlarang itu
diberi batas berupa tali oleh masyarakat adat. “Biasanya waktu untuk mengambil
saat kemarau,” ujar Amrin, masyarakat Tanjung Belit.
Amrin bercerita prosesi pengambilan ikan di lubuk
larangan dimulai dengan pembacaan doa oleh dukun desa yang turun ke lubuk. Setelah
selesai didoakan barulah masyarakat menangkap ikan dari lubuk tersebut. Ikan hasil
tangkapan akan dikumpulkan dan dibagi dua. Sebagian dibagikan sama rata dengan
masyarakat, sebagian lainnya dimasak dan dimakan bersama di tepi sungai tempat
lubuk.
Setelah makan, dilakukan proses lelang ikan yang telah
ditangkap. “Boleh dijual lagi tapi harus ikan berukuran besar,” cerita Amrin. Pembeli
bisa mendapatkan ikan dengan menetapkan harga. Namun sama dengan lelang, yang
bisa mendapatkan ikan adalah penawar tertinggi. Selesai proses menangkap,
masak, makan dan lelang dalam satu hari, barulah acara ditutup. “Penutupannya
sederhana saja, warga baca yasin bersama di Surau,” tutur Amrin. Menurutnya,
beginilah cara masyarakat Tanjung Belit menjaga sungai. “Supaya ikan tetap bisa
berkembang biak,” tambahnya. Sehingga pada saat yang diperbolehkan banyak ikan
yang bisa diperoleh masyarakat.
BERBICARA SOAL SUNGAI SUBAYANG,
ini adalah sungai panjang yang melewati tiga belas desa di Kecamatan Kampar
Kiri Hulu. Diantaranya Desa Kuntu, Padang Sawah, Pulau Pencong, Gema, Tanjung
Belit dan Muaro Bio. Selain itu ada Desa Batu Sanggan, Tanjung Beringin, Gajah
Bertelur, Aur Kuning, Terusan, Salo dan Pangkalan Serai. “Hilirnya di sekitar
Kabupaten Pelalawan dan Hulunya mencapai daerah Sumatera Barat,” cerita Anto
masyarakat Tanjung Belit.
Bagi masyarakat, untuk keperluan lauk sehari-hari
mereka cukup mencari ikan di sungai ini. Dengan keadaan sungai yang bersih dan
jernih tidak menjadi masalah bagi mereka menemukan ikan. Memang, disepanjang
sungai ini suasana masih asri. Pinggiran sungai terdapat batuan-batuan kecil. Hutan
di sisi kiri dan kanan sungai masih hijau dan lebat, pohon-pohon masih
menjulang tinggi dengan kokoh. Kicauan burung laksana alunan musik alami
nyaring dalam hutan.
Untuk menangkap ikan, masyarakat gunakan cara
sederhana. Ketika saya dan rombongan menelusuri sungai Subayang dengan speed
boat, terlihat beberapa masyarakat sedang menjala ikan. Ada yang berdiri di
tepi sungai atau di tepi pohon hutan. “Terkadang ada juga yang gunakan senapan
penembak ikan,” ujar Amrin.
Jangan bayangkan senapan penembak ikan adalah senjata
api dengan peluru yang sering digunakan aparat keamanan atau pemburu binatang. Senapan
ini terbuat dari kayu dengan ketebalan 10 hingga 17 milimeter. Panjangnya hampir
sama dengan senapan biasa. Gagang atau pegangannya pas ukuran satu genggaman
tangan.
Senapan ini tidak memiliki pelatuk. Namun pada pangkal lekukan
atas diberi paku guna menahan peluru, peluru dari besi atau kawat yang
panjangnya melebihi panjang senapan. Di bagian atas ujung diberi pipa seukuran
setengah jari, guna menahan peluru tadi agar tidak lepas. Pipa ini diikat
dengan karet ban dengan memberi sedikit sisa untuk penarik peluru berupa karet.
Menangkap ikan menggunakan senapan ini dengan cara
menyelam. Setelah menemukan target, senapan diarahkan dan peluru yang ditarik
karet tadi cukup didorong ke atas dengan jari telunjuk. Jika lepas dari paku
penyangga, peluru dengan ujung runcing tadi akan mengenai ikan yang jadi target
sasaran.
SAYA KEMBALI MENDAPAT CERITA SOAL KEBIASAAN
masyarakat Tanjung Belit saat hidangan untuk santap malam peserta. Karena berada
di tengah hutan, untuk panganan, WWF meminta bantuan dari masyarakat sekitar. Jadilah
nasi bertemankan pucuk ubi rebus dan sambal khas Tanjung Belit disajikan.
Sambal ini sepintas mirip sambal terasi dari udang,
namun perbedaannya sambal ini terbuat dari ikan. Sambal yang dijadikan lauk
khas masyarakat Kampar Kiri khususnya Tanjung Belit ini disebut sambal kacau.
Anto mengatakan, biasanya masyarakat gunakan ikan Baung
atau ikan Barau untuk campuran sambal. Selain ikan, bahan lainnya dalah cabe
hijau yang telah digiling dan dipanaskan dengan minyak goreng. Setelah sambal
cukup matang barulah di ‘kacau’ bersama ikan. Proses ‘mengacau’ ikan bersama
sambal ini agar ikan menjadi lebih halus dan menyatu dengan sambal. “Tak lama, cuma
lima menit sudah masak,” ujar Zepmanora, warga perempuan Tanjung Belit yang
juga memasak sambal kacau.
Saya melihat peserta menyantap sambal kacau dicampur
dengan nasi, namun ada juga yang memakannya begitu saja. Menurut Anto itu sudah
biasa, “karena ikannya masih terasa dan sambalnya tidak terlalu pedas.” Namun ia
menambahkan, harus hati-hati terhadap duri ikan yang ada di sambal. Memang benar,
sedang asyik mengunyah ikan dari sambal tersebut, sesekali harus berhenti untuk
mengenyahkan duri dari dalam mulut. “Ini lauk sehari-hari kita,” ujar Anto.
DI TANJUNG BELIT SILIH BERGANTI DITAMPILKAN
KEASRIAN ALAM DAN KEKENTALAN TRADISI. Sebelumnya saya tahu
bagaimana tradisi menangkap ikan di lubuk larangan dan makanan khas sambal
kacau. Keesokan harinya peserta dibawa melihat air terjun tujuh tingkat di desa
tersebut. Kata Suandri, Direktur WWF Riau, dingin air terjun ini mencapai 20
derajat celcius.
Untuk melihatnya kami harus menyusuri sungai dan
menjelajahi hutan. Terkadang harus mendaki dan melewati tanah curam. Jalan yang
dilalui hanya jalan setapak dan licin jika basah. Memanfaatkan ranting atau
batang pohon jadi alternatif sebagai pegangan untuk menahan licinnya tanah.
Untuk mempermudah akses menuju tempat yang bisa
dijadikan obyek wisata ini, masyarakat Tanjung Belit membentuk satuan kerja
yang dinamai Kelompok Kerja Batu Dinding. Kelompok ini terdiri dari berbagai
elemen masyarakat, mulai dari pemerintah desa, ninik mamak serta pemuda
setempat. Kelompok ini diketuai oleh Mahwel, pemuda Tanjung Belit.
Kelompok Kerja Batu Dinding setahun sejak dibentuk
mulai membuat akses jalan dan mendirikan beberapa pondok kecil. Kelompok ini
juga aktif memantau kondisi hutan dan lingkungan dalam hutan terutama sekitar
air terjun. “Pengunjung terkadang membuang sampah sembarangan dalam hutan,”
ujar Mahwel.
Naskah ini pernah terbit di majalah Bahana Mahasiswa Universitas Riau edisi Februari-Maret 2014.
0 komentar:
Posting Komentar