Senin, 05 Desember 2016

Pembangunan yang Terbengkalai



Satu fakultas disalah satu perguruan tinggi di Pekanbaru, hendak membangun kelas baru untuk menampung mahasiswa yang tiap tahun bertambah jumlahnya. Sayang, pembangunan itu terbengkalai.

Oleh Suryadi

SATU siang tahun 2014, saya mengumpulkan beberapa media online yang menerbitkan berita, terkait pembangunan gedung di salah satu kampus di Pekanbaru. Ada 14 media yang terkumpul. Secara umum, isi berita tersebut hampir sama. Intinya, seorang pejabat kampus diduga terlibat penyelewengan dana.

Pembangunan yang dimaksud adalah, ruang kelas baru untuk mahasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama di Riau.

Saya tidak langsung meyakini begitu saja isi berita tersebut. Penyebabnya ada dua hal. Pertama, isi berita baik kalimat dan paragraf hampir sama. Kedua, kurangnya narasumber dalam liputan tersebut.

Sebagai wartawan mahasiswa, saya mesti mencari informasi yang benar. Saya pun mengusulkan kasus ini pada rapat proyeksi majalah. Semua peserta rapat termasuk Pemimpin Redaksi menyetujui usulan ini.

Pertama sekali yang dilakukan adalah, mendatangi beberapa media yang menerbitkan laporan terkait. Ada satu media tidak mengakui laporan yang pernah ia terbitkan. Editor tersebut mengaku belum bekerja saat laporan itu dimuat. Seorang reporter di media itu justru berkata sebaliknya.

“Penulis aslinya sudah pindah ke media lain. Tapi kalau dilihat dari kode diakhir tulisan ini, memang abang tu yang editornya,” ujar reporter tersebut.

Malamnya, setelah mendapat kontak penulis berita, saya membuat janji untuk bertemu. Usaha ini berhasil. Reporter itu mengaku pernah menulis berita yang dimaksud. Hanya saja, dia tidak mengetahui kelanjutan dari kasus yang ditulis. Dia hanya memberitahu, kasus itu ditangani oleh satu lembaga penegak hukum di Pekanbaru.

Usaha untuk mencari kebenaran informasi pun berlanjut ke lembaga penegak hukum ini. Saya mencatat, ada belasan kali bolak-balik guna menjumpai penegak hukum di lembaga ini. Saya hendak meminta data dan wawancara. Namun permintaan ini tidak langsung ditanggapi.

Seorang staf meminta saya untuk memasukkan surat terlebih dahulu. Termasuk surat permohonan wawancara. Permintaan ini pun saya penuhi. Hasilnya tetap sama. Tiga kali memasukkan surat, tak ada informasi yang diperoleh. Bertemu dengan orang yang menangani kasus ini pun tak kunjung tercapai.

“Data apa yang kalian minta? Kami tak pernah menangani kasus yang kamu maksud,” ujar seorang staf.

Keesokan harinya, saya kembali mendatangi penulis berita. Saya ingin mengetahui nama penegak hukum yang menangani kasus ini. Tanpa berat hati, ia memberitahu nama tersebut. “Tapi dia sudah pindah tugas,” ujarnya.

Orang yang dimaksud, pindah tugas di Pusat Pelaporan dan Analiss Transaksi Keuangan atau PPATK. Melalui nomor telepon dan email yang saya peroleh dari website lembaga ini, saya mengkonfirmasi keberadaan nama yang hendak dicari.

“Iya benar. Dia pernah bekerja di Pekanbaru. Silakan kirim pertanyaan lewat email saja,” ujar seorang perempuan lewat sambungan telepon.

Dari sini saya dapat informasi, bahwa orang tersebut telah pindah tugas sebelum kasus itu selesai. Dia mengatakan, kasus itu diserahkan pada orang yang menggantikan posisinya. Namun, pertanyaan yang saya kirim melalui email tak dijawab sepenuhnya.

Satu minggu kemudian, saya kembali datang. Segala informasi, mulai dari nama dan status kasus yang diperoleh, saya sampaikan pada staf yang semula mengaku tidak mengetahui kasus ini.
Dia sempat terdiam. “Oke. Baiklah. Saya cek dulu berkasnya. Dua hari lagi kamu ke sini,” jawabnya kemudian.

Sesuai janji, hampir pukul 9, saya kembali datang dan langsung menuju ruangan staf tersebut. Dia sudah menunggu di meja kerjanya. Sambil bercerita, ia beranjak mendekati satu lemari dan mengeluarkan sebuah map merah. Isinya beberapa hvs.

Dia memberikan saya satu lembar hvs berisi pemberitahuan, bahwa kasus yang dimaksud telah dihentikan penyelidikannya. “Kerugian negara sudah dikembalikan,” katanya, saat ditanya alasan dihentikan penyelidikan.

Dalam laporan itu juga tercantum nama-nama pejabat kampus dan perusahaan yang menangani proyek pembangunan berikut alamat perusahaan.
Saya masih bertanya-tanya. Kerugian negara seperti apa yang dimaksud? Kenapa ada kerugian? Bagaimana itu bisa terjadi?

Setelah beberapa bulan liputan, saya buat laporan singkat dan terbit di bahanamahasiswa.co. Website Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau, tempat saya beraktivitas di kampus.

Keesokan harinya, berita ini dapat tanggapan dari seorang staf rektorat. Saya bersama Pemimpin Umum Bahana dipanggil untuk mengahadap di ruangannya. Sore itu, dengan secarik kertas berisi tulisan saya yang diprint, staf tersebut marah dan akan melaporkan saya.

Setelah beberapa jam berdebat, saya memintanya untuk membuat pernyataan keberataan dengan menyertakan informasi yang sebenarnya. Ia pun menyetujui. Malamnya, keberatan dari yang bersangkutan langsung terbit di website Bahana. Ini mekanisme kerja dunia pers.

Setelah mendapat komentar, liputan soal kasus ini kembali saya diskusikan bersama Pemimpin Redaksi saat itu. Kami memutuskan untuk mendatangi alamat perusahaan yang menangani proyek pembangunan ruang kelas baru itu.

Berbekal informasi dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik atau LPSE, kami mengunjungi salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Saya bersama seorang teman mendatangi alamat perusahaan di jalan Suak Lanjut, Kabupaten Siak. Kami sempat nyasar dan tidak menemukan nomor rumah yang dicari.

Setelah bertanya dengan warga setempat, kami langsung menuju rumah yang ditunjuk. Rumah kayu berbentuk panggung, dengan alamat dan nomor rumah yang sama pun ditemui. Sayangnya, pemilik rumah berkata lain. “Ini rumah saya. Bukan kantor perusahaan.”

Kami kembali menyusuri alamat yang dituju sambil mencari warga yang mengenal pemilik perusahaan. Beruntung, beberapa pria dewasa yang sedang duduk santai sambil ngobrol di warung mengenal orang yang kami cari.

“Oh. Rumahnya di Jalan Sutomo. Tanya saja orang sana. Semuanya kenal dengan dia,” ujar seorang pria tanpa baju sambil menjepit rokok dengan dua jarinya.

Usaha kali ini berhasil. Usai shalat ashar, orang yang kami cari akhirnya jumpa di satu masjid tak jauh dari rumahnya. Setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan hendak bertemu, ia mengajak kami ke rumah.

Ia sangat kooperatif. Dengan terbuka menceritakan persoalan yang pernah dihadapinya.

Tahun 2011, perusahaan yang berkantor di Kabupaten Siak ini memenangkan lelang pembangunan ruang kelas baru di salah satu kampus di Pekanbaru. Perusahaannya diberi waktu dua bulan untuk menyelesaikan proyek tersebut. Dana pembangunan kelas ini diperoleh dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri atau BOPTN, senilai Rp 900 juta.

Namun, hampir satu bulan setelah menandatangi kontrak, perusahaan tak kunjung melakukan pengerjaan terhadap proyek tersebut. Pemilik perusahaan lalu dipanggil oleh seorang petinggi fakultas. Di sana ia sampaikan bahwa, ia terkendala jarak dan sumberdaya manusia untuk melakukan pekerjaan.

Seorang staf pejabat fakultas lalu memperkenalkan pemilik perusahaan dengan seorang kontraktor. Bermaksud, agar ia dibantu oleh orang tersebut untuk mengerjakan proyek di lapangan. Kesepakatan diambil.

Pembangunan pun mulai dilakukan. Namun kembali terhenti. Tenggat waktu pengerjaan pun habis. Pemilik perusahaan kembali dipanggil. Kali ini oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru. Ia diminta bertanggungjawab atas mangkraknya pembangunan kelas itu. dan harus mengganti kerugian negara.

Kerugian diketahui setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP perwakilan Riau, mengumumkan hasil audit investigasi terhadap pembanguan kelas baru itu. Kerugian itu sebesar Rp 200 juta.

Pemilik perusahaan mengaku bersalah atas kelalaiannya mengawasi pekerjaan di lapangan. Alasannya, jarak antara Siak dan Pekanbaru. “Saya harus jual kebun dan mobil untuk ganti kerugian itu,” jelasnya diakhir wawancara.

Sejak 2011 mulai dibangun, hingga kini, ruang kelas baru yang dicita-citakan tak kunjung berdiri alias terbengkalai. Tulisan lengkap terkait cerita di atas pernah dimuat dalam majalah LPM Bahana Mahasiswa Universitas Riau, edisi Oktober-November 2015 berjudul Kontraktor Hilang Kelas Baru Melayang. Tentu dengan sumber dan nama yang benar alias bukan anonim.

CERITA di atas hanyalah sedikit upaya yang pernah saya lakukan untuk mencari kebenaran terhadap satu kasus. Terutama kasus yang ada di sekitar saya. Dalam kesempatan menjelang peringatan Hari Anti Korupsi Internasional 2016, saya tiba-tiba teringat dengan usaha yang pernah saya lakukan. Semoga bermanfaat!

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari Anti Korupsi Internasional yang diselenggarakan KPK dan Blogger Bertuah Pekanbaru.



Read More