Selasa, 26 Maret 2019

BBIH Padang Marpoyan: Dari Kebun Rakyat Jadi Agrowisata

Siswa SPN Pekanbaru belajar cara perbanyakan tanaman pada seorang pemandu kebun. @Suryadi

Seratus siswa Sekolah Polisi Negara (SPN) Pekanbaru duduk berderet di atas lapangan bola voly. Sambil pegang buku dan pena, mereka memperhatikan seorang asisten perbanyakan bibit di Balai Benih Induk Hortikultira (BBIH) Padang Marpoyan Pekanbaru. Mereka belajar okulasi dan sambung bibit tanaman.


Sebelum mulai, pemandu itu menyebut beberapa peralatan yang mesti disiapkan. Pisau okulasi, silet, plastik dan gunting stek.

Okulasi dilakukan pada batang bawah bibit durian. Kupas sedikit kulit batang sekitar 15 cm atau sejengkal dari permukaan tanah dalam polybag. Ambil mata tunas, kupas kulit bagian ujung dan selipkan pada batang yang telah dikupas. Ikat dengan plastik dan tunggu selama 21 hari sampai menyatu.

Untuk sambung, dilakukan pada batang bawah bibit kelengkeng. Potong batangnya sekitar 15 sampai 20 cm dari permukaan tanah dalam polyba, lalu belah sedikit ujungnya. Ambil mata tunas dan kupas ujungnya sama tipis kiri dan kanan sampai runcing. Masukkan ke ujung batang yang telah dibelah, lalu diikat. Tutup dengan plastik dan ikat sedikit ujungnya supaya tidak menahan air.

Simpan bibit tanaman yang telah disambung pada tempat teduh. Tanah dalam polybag harus selalu lembab. Plastik dapat dibuka setelah tumbuh tunas. Lepaskan pengikat bila mulai genting.
Tak sampai setengah jam praktik itu berlangsung. Setelahnya, siswa dan asisten itu saling tanya jawab, layaknya proses belajar-mengajar di sekolah.

Siswa SPN Pekanbaru berkunjung setelah BBIH Padang Marpoyan dibuka untuk agrowisata, pada 24 Januari 2019. Sebagai penanda dibuka, hari itu pengunjung dibebaskan makan rambutan dan bawa pulang 2 kilogram. Saat itu juga ada undian dengan hadiah bermacam hasil tanaman bahkan sepeda.

Tiap pengunjung bebas petik buah dan menikmatinya di sana. @Suryadi

Hari itu sekaligus BBIH bikin nota kesepahaman dengan PT Buana Orbit Sejahtera (BOS) buat kembangkan wisata. PT BOS akan menambah wahana permainan dan kuliner. Rencananya, akan ada pojok kopi. Dinas Pariwisata Pekanbaru akan diminta fasilitasi kesenian tradisional guna menghibur pengunjung. Setelah semua itu selesai beberapa bulan ke depan, BBIH akan merancang paket wisata.

“Kita akan ambil keuntungan dari tiket masuk sebagai retribusi untuk pendapatan asli daerah,” kata Dedi H, Plt Kepala Perbenihan dan Sertifikasi Benih.

Hampir tiap pekan, selalu ada kunjungan guru dan murid taman kanak-kanak di tempat ini. Mereka  cukup beritahu lewat telepon pada Muhaji, Kepala BBIH Padang Marpoyan, atau mengajukan surat beberapa hari sebelum waktu kunjungan.

Anak-anak itu biasanya belajar tanam sayur, masukkan bibit ke polybag, menyiram dan memetik tanaman. BBIH punya petugas buat memandu anak-anak itu.

Setelah resmi jadi agrowisata, main di BBIH Padang Marpoyan sudah dikenakan biaya. Depan pos masuk ada pemberitahuan. Anak-anak bayar Rp 2.000 dan dewasa Rp 5.000. Parkir kendaraan roda dua Rp 2.000, roda empat Rp 5.000 dan untuk bus Rp 10.000.

Bukan sekedar wisata

Pada 195o, areal itu awalnya ditetapkan sebagai kebun buah percobaan pertanian rakyat. Kala itu, Riau masih bagian Provinsi Sumatera Tengah bersama Jambi dan Sumatera Barat. Ketiganya dibubarkan berdasarkan UU Darurat No. 19 tahun 1957 lalu dimekarkan jadi provinsi masing-masing satu tahun kemudian.

Pada 1985, namanya berganti, jadi pusat pengembangan pertanian hortikultura Padang Marpoyan Pekanbaru. Sejak itu, kegiatan perbanyakan bibit mulai dilakukan dengan cara vegetatif, seperti: okulasi, sambung maupun cangkok. Namanya ditetapkan jadi BBIH Padang Marpoyan, setelah Dirjen Pertanian Tanaman Pangan menerbitkan SK No. 1.A5.82.B pada 10 Februari tahun yang sama.

Kondisi awalnya masih hutan dengan tegakan kayu besar bahkan sempat ada akasia di dalamnya. Waktu itu belum diberi pagar pembatas. Masyarakat bebas pakai lahan untuk cocok tanam setelah dapat izin.

Siswa SMK Pertanian dari berbagai daerah di Riau magang di sini. @Suryadi
BBIH punya lahan 36,5 hektar. Sekarang, areal ini penuh pohon rambutan, manggis, durian, kelengkeng, rambai dan pepaya. Di sini satu-satunya tempat perbenihan induk tanaman hortikultura di Riau. Seperti, Manggis Ratu Tembilahan dari salah satu daerah di Indragiri Hilir yang dikembangkan kembali induknya karena sudah langka. Ia telah disertifikasi. Kata Basri, Asisten Perbanyakan Tanaman BBIH, manggis itu sedikit getah dan sangat manis.

BBIH memperbanyak tanaman dengan menggabungkan batang bawah lokal terhadap bibit yang didatangkan dari berbagai balai benih di Indonesia. Dari Jawa, Kalimantan juga Sumatera Barat. Untuk durian, BBIH memanfaatkan biji durian sisa konsumsi yang berserakan di pinggir jalan untuk disemai lalu dijadikan bibit.

Selain buah-buahan, BBIH juga pernah menghasilkan sayur-sayuran berdaun lebar, salah satunya sawi. Kegiatan ini diserahkan ke petani dan BBIH fasilitasi ekspor hasilnya ke Singapura. Itu berhenti sejak 2014 ketika Riau dilanda bencana kebakaran hutan dan lahan. Pernerbangan terganggu berbula-bulan. Namun, kata Basri, faktor harga terlalu murah juga buat petani kurang semangat.

Permintaan bibit tanaman di BBIH tidak pernah berhenti. Selain ada permintaan dari petani maupun masyarakat, tempat ini juga ada program bagi-bagi bibit. Persediaan yang ada tidak sepenuhnya mencukupi. Untuk mengatasinya, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (Distanbun) Riau membina petani untuk hasilkan bibit sendiri. Distanbun Riau juga melibatkan pelaku usaha dan merancang desa penghasil bibit. Bibit yang dihasilkan akan diuji dan diberi sertifikasi. Terutama untuk padi, jagung dan kedelai.

BBIH Padang Marpoyan dibawah tanggungjawab Distanbun Riau. Untuk memenuhi kebutuhan bibit tadi, Dinas ini juga punya empat balai benih induk lain, diantaranya: Balai Benih Induk Palawija di Batu Gajah Indragiri Hulu, Balai Benih Induk Khusus Padi di Kampar dan Tembilahan serta Balai Benih Induk Terpadu di Pasir Pengaraian.

Ferry HC Ernaputra, Kepala Distanbun Riau, mengaku, belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan bibit pangan di Riau. Dia melihat, petani kurang tertarik mengembangkan bibit di tempatnya.

0 komentar:

Posting Komentar