Rabu, 12 Desember 2012

TOMOK, YA… SIDABUTAR

Oleh Suryadi
Berdiri depan gerbang keluar lokasi makam.
SIANG pukul 12.00 bulan September 2012. Peserta Salam Ulos nikmati ombak Danau Toba saat menuju Tomok. Salam Ulos adalah Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) untuk aktivis pers mahasiswa se-nasional ciptaan Suara USU, pers mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).  

Hari itu, panitia Salam Ulos berikan refreshing usai pelatihan. Pelatihan bertajuk Bernarasi di Ranah Deli. Pelatihan ini diampu Andreas Harsono. Andreas bekerja untuk Human Rights Watch , pernah di The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur), dan Pantau (Jakarta). Ia menerima Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard (1999-2000). Dia co-editor buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (2005) serta menulis antologi ‘Agama’ Saya Adalah Jurnalisme (2011).


Pengampu kedua, Chik Rini. Ia aktivis lingkungan, bekerja untuk WWF Indonesia (Banda Aceh), pernah bekerja di harian Analisa (Medan), biro foto Associated Press (Jakarta) serta majalah Pantau (Jakarta). Pada 2003 dia ikut kursus Investigative Reporting di Murdoch University, Perth. Dia menulis Sebuah
 Kegilaan di Simpang Kraft serta Surat Dari Geudong: Panglima, Cuak Dan RBT.

Dua puluh peserta datang dari berbagai pers mahasiswa di Indonesia. Tempat pelatihan menghadap langsung ke Danau Toba. Disela-sela jadwal materi panitia adakan sesi diskusi. Misal diskusi tentang Keberagaman Beragama. Soal Ahmadiyah jadi bahan diskusi. Murtiyono, mubaligh Ahmadiyah di Medan jadi pemateri. Selain diskusi Agama, peserta juga disuguhkan diskusi soal lingkungan bersama Chik Rini. Chik Rini cerita soal rusaknya lingkungan khususnya di Aceh. Ada video ditampilkan Chik Rini tentang sekitar dua puluh tahun lagi bumi akan kehilangan air bersih.

Untuk penguatan, peserta dikasi tugas bikin feature. Lokasi liputan di Tomok. Peserta disuruh liputan terkait Museum Batak, Patung Sigale-Gale dan Makam Raja Sidabutar.

Di Tomok, setelah bersama-sama menikmati persembahan dari Patung Sigale-gale peserta dibagi dua rombongan ada yang ke Museum dan Makam.

Di museum, Wisatawan silih berganti melihat makam kerajaan Sidabutar. Kerajaan ini satu-satunya di Tomok. Tomok desa di pulau Samosir  Sumatera Utara.

Masuki gerbang makam, disiapkan selendang ulos. Sebelum lihat makam, tamu wajib pakai selendang ulos. Kewajiban pakai Ulos ada di aturan tertulis di dinding batu. Selanjutnya menaiki empat belas anak tangga. Tiba di atas, tampak makam-makam Raja Sidabutar dan keturunannya.

Pojok kanan belakang tiga makam keturunan raja yang sudah gunakan tanda salib. Makam raja terbuat dari batu utuh dan dipahat sedemikian rupa. Total ada empat belas makam, termasuk para pembantu kerajaan, istilah sekarang menteri-menteri.

Di atas kuburan terdapat bendera mirip selendang. Bendera dari kain tiga warna. Putih, merah dan hitam. Putih artinya kesucian, merah berani dan hitam kerajaan.Sekitar makam dibikin patung mirip penjaga makam. Seolah-olah diciptakan kesannya hidup.

Komplek ini setinggi  enam meter dari permukaan tanah. Di atas juga diberi pagar besi. Kalau dilihat dari bawah atau dari permukaan jalan, makam tak akan terlihat.

Di sini, kata Parlindungan Situmorang, seorang guide, tak boleh keluarkan kata-kata kotor. Makam kerajaan ini paling disucikan. Pria setengah baya ini kenakan kaos blasteran, celana jeans dan selendang ulos dibahunya.

Situmorang cerita, kerajaan Sidabutar hanya ada dua raja yang sempat memimpin. Ompu Sorebutu Sidabutar raja pertama. Ompu Naibatu Sidabutar raja kedua.

Ompu Sorebutu Sidabutar saat memimpin sangat dekat dan menghargai rakyatnya. Isterinya Boru Nainggolan. Mereka punya anak Ompu Naibutu Sidabutar. Saat mati jasad Raja Sidabutar tak boleh langsung disemayamkan di tanah. Karena ini amanah raja. Harus dikubur dalam kotak batu yang dibuat seukuran badan raja.

“Kini makam ayah dan ibunya ada dalam kotak batu ini.”  Usia makam tersebut sudah 460 tahun.
Raja dan rakyat di kerajaan Sidabutar hanya boleh punya istri satu. Ini adat bagi orang batak. Raja harus jadi panutan bagi rakyat. Jika dilanggar, hukuman adatnya sangat berat, dikeluarkan dari adat orang Batak bahkan di keluarkan dari agama.

Setelah Ompu Sorebutu Sidabutar mati, kerajaan diteruskan anaknya; Ompu Naibutu Sidabutar. Ompu Naibutu Sidabutar pria gagah. Berbadan tegap. Punya ilmu sakti. Rambutnya gimbal ke belakang dan tak lurus, tak boleh dipotong. Sebagai simbol atas kekuatan yang dimiliki. Umur 110 tahun ia meninggal dan  rambutnya tak pernah dipotong. Karena rambut itu ia kebal.

“Kayak Samson gitu,” kata Situmorang.

Mukanya merah. Menunjukkan ia punya power semasa hidup. Ia ditakuti di tanah Samosir. Samosir pulau kecil di Parapat Sumatera Utara, terletak di tengah Danau Toba dan dikelilingi bukit barisan. Jika perang, leher para tawanan dipenggal dan darahnya diminum lalu diusap ke wajah. Ada dua pantangan yang harus dipatuhi raja. Tidak boleh makan babi dan daging yang berdarah, apalagi disentuh.

Ompu Naibutu Sidabutar punya love story. Ada seorang gadis memiliki kecantikan tersohor diseluruh pelosok Samosir . Raja dari berbagai kerajaan di luar Pulau Samosir silih berganti melamar Anting Malela Boru Sinaga. Tapi ditolak.

Terakhir Ompu Naibutu Sidabutar perintahkan para pengawal kerajaan melamarnya. Lamaran diterima tapi ada syarat. Malela minta Ompu Naibutu Sidabutar untuk bertunangan dulu selama sepuluh tahun. “Bayangkan, sepuluh tahun,” kata Situmorang.

Saat pernikahan tak berjalan seperti diharapkan. Para pelamar yang  pernah ditolak Anting Malela marah dengar kabar pernikahan itu. Mereka tak ingin pernikahan itu terjadi. Nasib Malela malang. Dengan ilmu hitam yang dahsyat Malela jadi gila. Pikirannya dirubah, sering bicara sendiri, buka baju hingga telanjang. Akhirnya, tanpa arah Malela lari ke hutan hingga sekarang jasadnya tak ditemukan.

Meski tak jadi nikah, Ompu Naibutu Sidabutar tetap nikah dengan wanita lain setahun kemudian. Namun ia memerintahkan untuk membuat patung si Malela.  Patung tersebut dipahat di atas makam Ompu Naibutu Sidabutar. Tepatnya di bagian belakang  makam.

Ompu Naibutu Sidabutar punya teman dekat Muhammad Said dari Aceh. Ia beragama Islam. Mereka cukup dekat. Hingga patung Muhammad Said diabadikan di bawah patung kepala Ompu Naibutu Sidabutar.
Kerajaan Sidabutar dulu tidak menganut agama seperti orang Batak sekarang. Mereka memiliki kepercayaan Parmalim. Parmalim juga disebut Ugamo Malim atau agama malim. Ia kepercayaan asli orang Batak sebelum masuk Kristen dan Katolik.

Dari sumber Wikipedia, Ugamo Malim terutama dianut suku Batak Toba. Kata Tarmiden Sidabutar keturunan ke enam belas raja Sidabutar, mereka sembahyang tiap hari Sabtu. Cara ibadah mereka gunakan kain putih, ikat kepala putih. Rumah ibadah mereka disebut Bale Posogit. Mereka sembah debata mula jadi nabolon. Mereka haram makan babi, anjing, darah dan daging yang mati tidak dipotong.  “Sama seperti Islam,” kata penjaga makam.

Agama baru masuk daerah ini mulai 1878. Dari situs okezone.com, kini Ugamo Parmalim tersebar seluruh Indonesia. Pengikutnya lebih 1.500 orang. Desa Hutatinggi Kecamatan Lagu Boti Kabupaten Toba Samosir pusat upacara kepercayaan mereka. Di mana seluruh pengikut dari tiap daerah berkumpul. Pimpinanannya sekarang  R.M Naipospos.

Biaya perawatan makam kerajaan Sidabutar, diambil lewat uang yang diterima dari setiap pengunjung yang datang. Pengunjung diminta memasukkan uang seikhlasnya ke dalam kotak yang tersedia dekat tangga hendak turun.

Wisatawan lokal dan mancanegara banyak berkunjung ke makam kerajaan ini. Dari www.silaben.net makam Kerajaan Sidabutar paling banyak dikunjungi. Data terakhir tahun 2005, ada 11.374 wisatawan mancanegara yang berkunjung. Sedangkan wisatawan lokal 160. laporan: Herman

0 komentar:

Posting Komentar