Secuil
usaha Bahana Mahasiswa diusia kepala tiga menolak lupa budaya melayu
Suryadi
DETIK-DETIK PENENTU MENDEKAT. Kain
hitam penutup bingkai siap ditarik. Dua orang itu terus berceloteh. Sindiran mengalir
dari mulut. Tak ada yang peduli, begitupun pemimpin negeri Melayu ini, begitu
ucap salah satunya. Badan mereka hitam. Dari ujung kaki hingga kepala. Mereka terus
mendekati kain hitam. Mulut tak berhenti berucap. Terus menyindir. Kini mereka
berdiri di samping kain hitam. Keduanya terdiam, tangan bergerak menarik kain. Melongok
99 Kisah Mengabadi. Tulisan ini tertera di bawah gambar Candi Muara Takus. Kain
hitam tadi menutupi pigura dengan gambar ini di dalamnya.
USIA KEPALA TIGA,
jika diibaratkan manusia, sudah tak muda lagi. begitulah Bahana. Sebagai salah
satu unit kegiatan mahasiswa di kampus, lembaga yang berkecimpung dalam pers
ini sudah tua. Selisih 21 tahun dari berdirinya Universitas Riau, Bahana lahir
pada 17 Juli 1983.
Berkutat dengan jurnalistik, produk yang dihasilkan
berupa berita seputar dalam dan luar kampus. telah tiga dekade berporoses, perkembangan
produk pun terjadi. Bermula dari koran, sedikit demi sedikit mengalami
perubahan keukuran lebih kecil, sebesar kertas A3. Kini bentuknya jadi majalah.
Media yang digunakan juga berkembang. Dulunya Cuma cetak,
kini beralih memanfaatkan perkembangan teknologi berupa website. Tak
hanya itu, berita video pun coba digarap. Tiga puluh tahun berkarya, tentunya
banyak perubahan terjadi.
Namun satu yang tak berubah. Kemelayuan Bahana tak bisa
terganti. Bukan karena apa-apa, sebab budaya di mana Bahana lahir tak bisa
dilepaskan. Bak pohon, buah yang dihasilkan tetaplah Melayu karena berakar
tanah Melayu.
Buktinya, disetiap produk Bahana akan selalu ada rubrik
membahas Melayu. Baik Khasanah—liputan makanan atau tradisi khas Melayu, Kilas
Balik—kilas sejarah kebudayaan atau cagar budaya Melayu, karikatur ataupun
opini membahas Melayu. Semua ini hanya sebagian kecil usaha Bahana agar Melayu
tak hilang di bumi Lancang Kuning ini.
TARIAN ZAPIN MENGHENTAK.
Alunan musik Melayu yang sarat akan bunyi-bunyian gendang mengisi ruangan. Penari
menggerakkan tubuh ikuti irama. Penonton menyaksikan tarian penyambut khas
Melayu berasal dari Bengkalis ini.
Tarian selesai. balai Adat Melayu kembali sunyi. Pembawa
acara maju memanggil Rahmat, Pembantu Rektor III UR, sampaikan kata sambutan. Dilanjutkan
Fakhrunnas MA Jabbar, Alumni Bahana. Ya, mereka berpesan agar Bahana diusianya
yang sudah 30 tahun dapat jadi lebih baik lagi.
Hari itu, 17 Juli 2013, Bahana adakan perayaan Sempena
3 Dekade di gedung Lembaga Adat Melayu Riau di jalan Diponegoro tersebut. Mengundang
rekan kelembagaan, alumni serta jaringan Bahana. Acara berlangsung dari pukul 4
sore hingga malam.
Satu lagi tradisi yang tak lekang di Bahana adalah
diskusi. Rayakan hari kelahirannya, acara diisi diskusi soal Kemelayuan. Bagaimana
kondisi marwah Melayu kini. Tak ingin Melayu hilang, Bahana coba gali persoalan
yang ada.
Ilham Muhammad Yasir, Ketua Aliansi Jurnalis Independen
Pekanbaru pandu diskusi. Sebagai pemateri hadir Muslim Rasyid dari Jaringan
Kerja Penyelamat Hutan Riau atau Jikalahari. Taufik Ikram Jamil, budayawan Riau
sekaligus Alumni Bahana dan Efrianto, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
atau AMAN Riau.
Melayu menarik untuk diperbincangkan karena kondisinya
mulai mengkhawatirkan. Sebab kondisi hutan dan sungai sebagai marwah—sumber
penghidupan—Melayu sudah semakin memburuk. Hutan terus ditebang oleh korporasi,
kebakaran hutan melanda Riau beberapa bulan terakhir, hingga kabut membuat
negara tetangga angkat bicara. Sungai pun mengalami nasib sama. Sungai Siak,
ikon masyarakat Melayu Riau sudah tercemar karena perilaku masyarakat sekitar membuang sampah
sembarangan.
Akibatnya konflik berujung korban mewarnai perjuangan
masyarakat adat dengan pihak perusahaan. Ini semua dilakukan untuk pertahankan
marwah mereka yang sejak dulu diwarisi
oleh nenek moyang mereka. Tiga puluh lima menit bincang-bincang soal Melayu. Selanjutnya
tamu undangan sejenak mendengarkan ceramah singkat sebelum menikmati buka
puasa. Peringatan Milad Bahana bertepatan bulan Ramadhan.
Acara yang bertajuk Menolak Lupa Budaya Melayu ini pun
menyajikan makanan khas Melayu untuk berbuka puasa. Lepat Bugi dan minuman air
mata pengantin tersaji di meja panganan. Tak hanya melalui panganan yang
tersedia, di sekeliling ruangan dipamerkan berbagai karya terkait Melayu. Mulai
dari kartun karya Sindikat Kartunis Riau, hingga tulisan soal Melayu yang
pernah dimuat Bahana serta benda yang ditemukan berkaitan dengan tulisan.
Seperti Labu Betung, diambil dari nama desa Betung
Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan. Terbuat dari Labu Air yang dilubangi dan
dijemur hingga isinya membusuk selama seminggu. Fungsinya untuk menyimpan air. Selain
itu juga da songket, kain tenun bermotif dari benang emas. Bagi masyarakat
Melayu, kain songket menandakan kedudukan seseorang sering dipakai dilingkungan
kerajaan.
Beralih kemakanan, tentu familiar dengan Belacan,
penyedap rasa terbuat dari ikan dan udang kecil. Bumbu penyedap rasa berbau
tajam ini banyak diproduksi di Kabupaten Rokan Hilir, tepatnya Pulau Halang. Begitu
sampai di Pulau, baunya akan langsung hinggapi penciuman.
Makanan lainnya, khas Suku Sakai, Manggalo Sakai. Terbuat
dari tumbuhan ubi racun yang menjalar di hutan. Ubi dikupas lalu direndam agar
lembut. Diparut dan dimasukkan ke dalam karung goni untuk diperas. Tujuannya agar
racun keluar. Hasil parutan digonseng. “Enaknya dimakan dengan ikan Selais yang
disalai,” ujar Ucok yang juga berasal dari Suku Sakai, kini mahasiswa Ilmu
Ekonomi Universitas Riau.
Menyoal ikan Salai, makanan khas Melayu yang dibuat
dengan teknik pengasapan ini mulai langka. Sebab ikan Selais yang jadi bahan
mulai sulit didapatkan. Panganan khas saat pesta adat ini banyak diproduksi di
Pelalawan.
Serbuk mirip tepung tapioka dibuat dari batang pohon
rumbia yang hidup dirawa-rawa yang kaya akan karbohidrat juga ditampilkan. Sagu.
Tentunya masyarakat Melayu familiar dengan makanan yang banyak di daerah
Bengkalis.
Juga ada Lemang, makanan dari beras ketan yang dibalut
dengan daun pisang dan dimasak dengan bambu. Beras ketan digulung dengah daun
pisang ditambah dengan santan kelapa kemudian dibakar. Bagi masyarakat Melayu,
lemang biasanya dimakan pada saat hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.
Tak hanya makanan, pelengkap upacara adat seperti
tepung tawar juga ditampilkan. Peralatan tepung tawar diantaranya, beras
kuning, bunga-bunga, ramuan penabur dan pengasapan dengan kemenyan. Biasanya digunakan
untuk syukuran, keselamatan, memohon rezeki dan membuang segala penyakit. Biasanya
beras kuning ditabur pada orang yang sedang
berhajat serta membacakan doa selamat.
Warisan budaya Melayu ini disajikan Bahana sebagai
bentuk kepedulian terhadap Melayu. Tak hanya itu, di luar ruangan lampu sumbu
dengan minyak tanah bertempat botol sirup hiasi tepian sisi kiri dan kanan
tangga. Bagi masyarakat Panipahan,
Kecamatan Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rokan Hilir lampu ini disebut pelito.
Pada malam ke 27 Ramadhan pelito menerangi pelataran rumah-rumah.
PANGGUNG KEMBALI BERGETAR KALA SANGGAR MUHIBAH
SENI
tampilkan seni tradisional Kayat. Seni tradisional Kayat berasal dari
Kuantan dan masyarakat Rokan ini berupa
penyampaian puisi berirama. Dendangan diiringi
hentakan gendang serta rebab. Isi puisi berupa pesan serta nasihat. Kayat
dimainkan dengan tari-tarian, ruangan sontak bertambah ramai ketika penari
kayat mengajak undangan ikut menari.
Tak habis di sini, Bahana terus membuktikan
kepeduliannya terhadap Melayu. Tulisan-tulisan tentang Melayu yang terkumpul di
rubrik Kilas Balik, sejak 1993 hingga 2012 dikumpul dan didokumentasikan dalam
bentuk buku. Malam ulang tahun Bahana ketiga puluh tahun, buku ini dilaunching.
Berjudul Melongok 99 Kisah Mengabadi.
Serempak tepuk tangan diberikan tamu yang hadir. Semoga
buku hasil karya Bahana Mahasiswa dapat
mengingatkan kembali kebudayaan Melayu. Bahana pun terus bertekad mempertahankan
serta tetap komitmen membahanakan Melayu.