Aktivis Serikat Tani Riau. Dihukum 17,6 tahun penjara.
Oleh Suryadi
Ridwan di Sel Tahanan Bengkalis. Foto: Berdikari online |
SEKITAR pukul 10, orang-orang mengantre di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Jalan Pertanian Kabupaten Bengkalis.
Satu persatu menunggu panggilan berdasarkan nomor antrean. Dengan tujuan,
menemui keluarga dan sahabat dalam Lapas.
Bagi pengunjung, pemeriksaan dilakukan
secara berlapis oleh petugas. Dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Semua
peralatan atau barang bawaan harus dititipkan ke dalam laci khusus yang diberi
nomor. Setelahnya, baru diperbolehkan masuk ke satu tempat yang diperuntukkan
menemui para narapidana.
Di ujung tembok lorong panjang, seorang
laki-laki memakai kaos merah lengan panjang, jeans hitam, berdiri menyandarkan
bahu dengan sebatang rokok di sela jari telunjuk dan tengah.
Sekali hisapan dan menghembus asapnya, dia
datang menghampiri. “Apa kabar geng?”
sapanya seraya menjabatkan tangan.
Ia Muhammad Ridwan. Aktivis Partai Rakyat
Demokratik. Pernah jadi Ketua Serikat Tani Riau. berasal dari Pulau Padang
Kabupaten Kepulauan Meranti. Maret nanti, ia genap empat tahun menjalani
hukuman, karena dianggap menghasut warga Pulau Padang dalam peristiwa
pembakaran alat berat milik PT Riau Andalan Pulp and Paper, bahkan
menghilangkan nyawa seoang operator alat tersebut.
“Ayo kita ke sana,” ajaknya. Ridwan
mengambil tikar yang sedikit lusuh lalu membentangnya. Kemudian mengajak duduk.
Semua orang duduk di lantai lorong. Hanya beberapa yang beralaskan tikar.
Sangat ramai di lorong tempat bertemunya pengunjung
dan para narapidana pagi jelang siang itu. Masing-masing asik bercengkrama. Ada
yang makan bersama saling suap-suapan. Ada yang berpelukan sambil menangis. Di
belakang kami, seorang pria memijat bahu dan lengan seorang perempuan yang
menjenguknya. Sesekali ia memeluk dan mencium kepala perempuan itu dari
belakang. Terlihat mesra sekali.
Bagi narapidana yang tak dikunjungi, mereka
sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang membersihkan sampah di lorong. Memotong
rumput. Bahkan melamun sambil merokok.
Sangat mudah membedakan yang mana
narapidana dan pengunjung Lapas. Semua narapidana pagi itu memakai kaos kuning
tua. Berbeda dengan Ridwan. Selain memakai kaos merah lengan panjang, di
dadanya ada tanda pengenal sebagai Kolaborasi TBC dan HIV.
Ridwan jadi kader kesehatan dalam Lapas. Ia
mendampingi petugas medis bila ada narapidana yang sakit. “Tadi saya barusan
cek darah orang geng,” tuturnya
sambil tersenyum.
Badan Ridwan tampak berisi selama menjalani
hukuman di Lapas. Kulitnya sedikit cerah. Yang tak berubah darinya, bibir hitam
karena kebanyakan merokok. Saat mengobrol, dua bungkus sampoerna di depannya.
Ia tampak ceria dan selalu tersenyum ditiap
ujung pembicaraan, meski ada ucapan bernada keluhan yang keluar dari mulutnya.
Selama dihukum, Ridwan lebih sering dikunjungi oleh orangtua. Jarang sekali
teman-teman seperjuangannya datang menjenguk. Ia merasa, perjuangan sekarang
tak seperti dulu ketika dia masih bisa berkoar-koar di depan khalayak ramai.
“Saya dengar teman-teman sudah sibuk berbisnis
dan terlibat politik. Ada juga saya dengar sibuk memikirkan takdir,” ucap
Ridwan sambil membuka sedikit bibirnya, lalu menghisap rokok. Sambung Ridwan,
kalau sudah sibuk memikirkan takdir tak akan peduli lagi sama perjuangan.
Meski begitu, Ridwan masih mengetahui
perkembangan kampungnya. Informasi terakhir yang ia ketahui, lahan anggotanya
di Pulau Padang masih aman. Alias tak diganggu oleh perusahaan. Tapi untuk
lahan warga lain yang bukan anggota sudah diambil oleh perusahaan. Mereka kata
Ridwan, menjualnya pada perusahaan. “Nanti mereka sendiri yang rugi.”
Anggota yang dimaksud Ridwan, warga yang
tergabung dalam Serikat Tani Riau.
Sebelum dihukum, Ridwan aktif menolak
keberadaan PT Riau Andalan Pulp and Paper di Pulau Padang. Perusahaan dibawah
naungan April Group ini menanam akasia dilahan gambut dan menyerobot lahan
masyarakat. Hampir seluruh warga Pulau Padang menolak keberadaan perusahaan.
Mulai dari menggalang dukungan,
mengumpulkan tandatangan sampai aksi di depan kantor pemerintah kabupaten dan provinsi.
Bersama beberapa warga Pulau Padang terutama yang laki-laki, Ridwan pernah
menjahit mulutnya lebih dari satu minggu di depan kantor DPRD Provinsi Riau.
Bahkan, aksi Ridwan bersama warga Pulau Padang sampai ke Jakarta.
Sayangnya, perjuangan Ridwan bersama warga
sampai pada peristiwa kekerasan terhadap operator alat berat perusahaan dan
membakar alat tersebut. “Itu diluar dari perencanaan. Masyarakat sudah marah
betul dan tidak bisa terbendung lagi.”
Ridwan memanggil temannya minta dibelikan
tiga aqua botol. Tak lama kemudian pesanannya datang. Ia pun lanjut bercerita.
Selain membela hak petani di Pulau Padang,
Ridwan juga terlibat dalam perkara mematikan aliran listrik pada sumur minyak
PT EMP Malacca Strait. Ia dituduh menghasut warga sehingga aliran listrik mati
selama hampir 30 jam.
PT EMP yang awalnya bernama PT Kondur
Petrolium bergerak dibidang pengeksplorasian minyak dan gas di Pulau Padang.
Perusahaan ini dinilai bertindak diskriminasi terhadap buruh lokal yang
bekerja. Hal ini terlihat dari buruh yang sudah bekerja puluhan tahun masih
berstatus sebagai karyawan kontrak. Sementara pekerja dari luar daerah mudah
mendapat jabatan meski baru diterima bekerja. Dari sinilah, awal mulanya Ridwan
ditangkap oleh Polisi hingga dihukum.
Untuk kasus pembakaran alat berat, Ridwan
dihukum bersama temannya Yanas. Sementara dalam kasus pemutusan aliran listrik
ia dihukum bersama Muis. Masing-masing kasus Ridwan dihukum 16 tahun dan 1,6
tahun penjara. “Itulah geng. Padahal
saya cuma membela warga.”
Menurut Ridwan, penangkapan dirinya
dikarenakan ada yang berkhianat dalam perjuangannya. Satu hari sebelum
ditangkap, ia ditelepon oleh intel beberapa kali. Itu mengisyaratkan bahwa
keberadaan Ridwan sudah diketahui. Bahkan, kata Ridwan, kemana ia akan pergi
seolah-olah sudah diketahui oleh intel tersebut. Tak hanya itu, setelah
ditangkap banyak perkara yang mau dituntut terhadapnya.
“Banyak jaksa datang menemui aku. Tak satu
saja. Berulangkali dengan orang yang berbeda-beda,” ingat Ridwan. Tapi, kata
Ridwan, dia pasrah dengan hukuman yang diterima demi warga supaya tak ada lagi
korban yang berjatuhan.
Dipenjara, ridwan tinggal bersama 11 orang
narapidana lainnya. Jumlah ini melebihi kapasitas. “Semua Lapas begitu. Over
kapasitas semua.”
Selama mengobrol, pandangan Ridwan tak
luput dari pintu masuk penjagaan. Seorang petugas berjenggot bolak-balik
meninjau dari depan pintu. “Dia nengok kita dari tadi. Mungkin karena awak tu
bawa catatan.”
Tak lama kemudian lonceng pertanda jam
besuk berakhir. Lebih kurang dua puluh menit kami mengobrol. Sebelum berpisah,
Ridwan masih sempat memberitahu, bahwa ia jadi instruktur senam dalam lapas.
Mereka senam dari senin sampai Jumat.*
0 komentar:
Posting Komentar