Oleh Suryadi
Judul Buku
: Blur
Penulis
: Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel
Diterjemahkan
: Yayasan Pantau
Penerbit
: Dewan Pers
Tahun
: 2012
Tebal
: 225 + xi
SEKIRA pukul 04.00,
Rabu 28 Maret 1979, sebuah klep di sistem pendingin reaktor nuklir macet pada
posisi terbuka. Ini menyebabkan air pendingin reaktor merembes keluar. Tanpa
pendingin, inti reaktor menjadi panas dan butir-butir bahan bakar nuklir
mulai bocor. Pukul sebelas pejabat pembangkit listrik perintahkan
evakuasi karyawan yang tak berkepentingan. Sebelumnya Gedung Putih telah
diberitahu pada pukul sembilan lewat lima belas. Para pekerja mulai menelepon
keluarga, kawan hingga tetangga atas kejadian tersebut. Berita dengan kata
“sebuah insiden” pada pembangkit listrik menyebar ke masyarakat.
Berita menyebar secara berantai. Televisi menampilkan
hal yang menakutkan atas kejadian tersebut, bak film horor The China
Syndrom, yang bercerita tentang dampak bocornya pembangkit
nuklir menimbulkan awan uap yang memproduksi hujan radioaktif. Berita terus
beredar berseliweran hingga menimbulkan ketakutan bagi warga.
Seorang warga yang tempat tinggalnya tidak jauh dari
lokasi kajadian mengatakan reaktor nuklir belum bocor dan wilayah itu belum
dikosongkan. Pernyataan tersebut membuat media mulai hati-hati meyampaikan
informasi, jaringan televisi kabel juga hati-hati dalam menggunakan kata-kata.
Kehati-hatian media telah merubah keadaan. Warga
menjadi tahu kejadian yang sebenarnya. Sebagian masih tetap bertahan di sekitar
lokasi karena memang tidak terjadi bencana pada pembangkit tersebut.
DARI peristiwa di
atas, kesalahan ada pada media. Seharusnya media bekerja benar-benar
mematuhi aturan jurnalisme, terutama verifikasi. Pembaca butuh kebenaran. Pada
kejadian tersebut, media terlalu gegabah menyampaikan informasi sehingga
terjadi kekacauan dan kepanikan pada warga.
Pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan media tak
lagi punya banyak waktu mengecek berita. Semua saling berpacu, baik televisi,
cetak, maupun online, bagaimana sebuah berita secepat mungkin sampai ke
pembaca. Semua mengandalkan kecepatan, minim verifikasi.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Blur
menyebutnya sebagai jurnalisme pernyataan. Para pembuat berita hanya mengutip
inti pembicaraan seorang narasumber tanpa diuji.
Di sisi lain, warga butuh informasi yang benar dan
bisa dipercaya. Kecepatan yang diandalkan media menyebabkan banyak informasi ngawur
beredar. Akibatnya, warga perlu diet informasi.
Bagaimana warga bisa tahu mana berita benar mana
propaganda? Buku Blur: How to Know What’s True in the Age of Information
Overload menjelaskan hal tersebut. Ia ditulis oleh dua wartawan Amerika
Serikat, Bill Kovach
dan Tom
Rosenstiel. Buku ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh
Yayasan Pantau Jakarta.
Ini buku ketiga yang mereka terbitkan bersama.
Sebelumnya Kovach dan Rosenstiel menulis Warp Speed: America in the Age of Mixed Media menerangkan bagaimana kecepatan pemberitaan
menekan waktu untuk verifikasi informasi serta buku The Elements
of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect
soal sembilan elemen jurnalisme.
Blur mendedah pentingnya verifikasi dalam jurnalisme,
bagaimana jurnalisme pernyataan atau pengukuhan bisa merusak intisari
jurnalisme. Ia juga membahas bagaimana warga harus menghadapi tsunami
informasi? Apa yang harus dilakukan pers maupun wartawan dalam menghadapi
tsunami informasi? Bagaimana pers dan warga bisa bekerjasama di era banjir
informasi?
Untuk pertanyaan terakhir, Kovach dan Rosenstiel
menyebutkan delapan fungsi dalam bukunya.
Pertama, authenticator (pensahih). Warga perlu wartawan untuk memeriksa keautentikan suatu
informasi. Mereka perlu wartawan yang bisa membuktikan mengapa suatu informasi
harus dipercaya. Kedua, sense maker (penuntun akal). Informasi
yang membanjir menyebabkan warga kesulitan menemukan mana yang benar, mana
propaganda. Di sinilah peran wartawan, menerangkan suatu informasi masuk akal
atau tidak.
Ketiga, investigator. Kovach dan
Rosenstiel menerangkan di era banjir informasi, wartawan harus tetap berfungsi
sebagai investigator, membongkar suatu kejahatan di dalam pemerintahan. Ia
penting untuk merawat demokrasi. Keempat, witness bearer (penyaksi).
Wartawan tetap harus berada di tempat tertentu untuk menjadi saksi penting
suatu kejadian. Pada fungsi ini wartawan bisa bekerjasama dengan warga. Warga
bisa menjadi citizen reporter, membantu wartawan dalam menginformasikan
suatu kejadian.
Fungsi kelima, empowerer (pemberdaya).
Pada fungsi ini terjadi kemitraan antara warga dan wartawan. Wartawan
memberdayakan warga dalam meliput suatu kejadian, sedangkan warga memberdayakan
wartawan dengan pengalaman dan keahlian mereka. Selanjutnya, smart
aggregator (agregator cerdas). Warga perlu wartawan yang bisa memberikan
informasi bermutu dan sumber yang bisa dipercaya.
Fungsi ketujuh adalah forum organizer
(penyedia forum). Warga butuh disediakan forum dimana mereka bisa memantau
suara dari semua pihak sehingga mereka bisa memutuskan sendiri mana informasi
yang bisa dipercaya. Terakhir, wartawan harus bisa menjadi role model (panutan)
bagi warga.
Dulu warga hanya bisa pasif, menunggu informasi dari
koran, televisi maupun radio. Dengan adanya teknologi digital, semua berubah.
Internet telah mengubah dunia jurnalisme. Lantas bagaimana mengetahui kebenaran
di era banjir informasi ini? Selamat membaca!
0 komentar:
Posting Komentar