Minggu, 24 November 2013

Dilema Antara Dua Kebijakan

Oleh Suryadi



Persoalan utama pada insentif untuk kepala sekolah dan guru pamong. Untuk mengatasinya, sempat ada wacana menaikkan biaya PPL, namun tak jadi dengan alasan tak mau memberatkan mahasiswa


LIMA puluhan mahasiswa berbagai program studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau (FKIP UR) masuk ke ruang micro teaching. Awal September lalu, Unit Pelaksana Teknis Program Pengalaman Lapangan (UPT PPL) melakukan pembekalan untuk mahasiswa yang melaksanakan PPL.

Sebelum dimulai, UPT membagikan sebuah buku bersampul hijau dengan gambar gedung FKIP di bagian depan. Ini buku panduan untuk mahasiswa PPL. Buku ini berisi landasan, tugas dan peraturan terkait PPL. Tercantum pula format laporan yang harus diserahkan usai PPL.

Sebenarnya buku dengan tebal 91 halaman ini tak dibagikan gratis. Mahasiswa sudah membayar Rp 300 ribu saat mendaftar PPL, termasuk untuk biaya buku panduan. Hanya tak ada rinciannya dalam kuitansi bukti pembayaran. Selain buku, mahasiswa juga mendapat lima lembar kertas berisi lembar penilaian.

Tak ada mahasiswa PPL yang tahu detail peruntukan uang Rp 300 ribu yang dibayarkan ke UPT PPL. Setelah membayar, mahasiswa hanya diberikan selembar kuitansi berbentuk persegi berukuran 12 sentimeter. Tulisannya tanda terima untuk pembayaran PPL senilai Rp 300 ribu. Tertera pula nama, NIM dan Prodi mahasiswa bersangkutan.

“Rincian dana ini memang tak diinformasikan ke mahasiswa yang daftar PPL,” kata Nursal, Ketua UPT PPL.

Sebagian mahasiswa mempertanyakan transparansi dana ini. Ditambah lagi saat PPL akan berakhir, mahasiswa mendapat kabar bahwa guru pamong—guru pembimbing di sekolah tempat mahasiswa melaksanakan PPL—dan kepala sekolah wajib diberi insentif (uang lelah) oleh mahasiswa PPL.

Kabar itu benar adanya. Setiap mahasiswa yang sudah selesai PPL memang harus memberikan insentif untuk guru pamong dan kepala sekolah. Nursal menjelaskan bahwa biaya insentif tersebut sudah termasuk di dalam anggaran Rp 300 ribu yang dibayar mahasiswa saat mendaftar PPL. Jadi, ketika mahasiswa hendak memberikan insentif, mereka harus minta lagi dana dari UPT PPL sebesar peruntukan guru pamong dan kepala sekolah.

Ditemui kru Bahana di ruangannya, Nursal menjelaskan rincian dana Rp 300 ribu tersebut. Untuk dosen pembimbing Rp 100 ribu, guru pamong Rp 50 ribu, kepala sekolah Rp 10 ribu, pembuatan buku panduan Rp 20 ribu, sertifikat mahasiswa PPL Rp 10 ribu, blanko penilaian Rp 5 ribu. Sisanya untuk uang pengelolaan dan pengurusan mahasiswa PPL.

MASALAH uang kembali mencuat saat UPT PPL minta agar mahasiswa memberikan insentif kepada kepala sekolah sebesar Rp 200 ribu. Persoalan timbul saat mahasiswa yang PPL di sekolah tersebut tak sampai 20 orang. Logikanya, dengan biaya insentif untuk kepala sekolah hanya Rp 10 ribu per orang, otomatis mahasiswa tersebut harus menambah uang lagi untuk memberikan insentif pada kepala sekolah.

Tak hanya kepala sekolah, hal serupa juga terjadi pada pembayaran insentif untuk guru pamong. Dengan anggaran dari UPT PPL sebesar Rp 50 ribu per mahasiswa, tak jadi soal bila satu guru pamong menangani 4-6 mahasiswa PPL. Namun bagaimana bila satu guru p0mong hanya menangani satu mahasiswa PPL? “Tak mungkin lah pamong cuma dikasih Rp 50 ribu, setidaknya genapilah Rp 200 ribu,” kata Jaiz, staf UPT PPL.

Seperti yang dialami Gusheri, mahasiswa FKIP Matematika angkatan 2009. Guru pamongnya menangani 2 mahasiswa PPL, dirinya dan satu orang temannya. Bila dikumpulkan anggaran untuk insentif guru pamong, hanya terkumpul Rp 100 ribu. “Sedangkan pihak UPT bilang minimal Rp 200 ribu,” ujarnya.

Gusheri bersama temannya pun cari cara supaya guru pamong tidak kecewa karena hanya dibayar Rp 100 ribu setelah lima bulan mereka dididik di sekolah. Akhirnya Gusheri dan temannya memberikan guru pamong mereka tiga meter kain seharga Rp 75 ribu. “Jadikan diberikan bentuk barang saja,” katanya.

Dana insentif untuk kepala sekolah maupun guru pamong yang dinilai kecil oleh sebagian besar mahasiswa membuat mereka tak mau mengambil dana tersebut dari UPT PPL. Hal tersebut dibenarkan Zuhdi, Sekretaris UPT PPL. Ia memperkirakan masih ada 10 persen lagi mahasiswa yang PPL pada semester ganjil belum mengambil uang untuk insentif kepala sekolah maupun guru pamong. “Ada 110 sekolah yang jadi tempat PPL mahasiswa, yang ambil uang baru 89 sekolah,” jelas Zuhdi. Ia juga menambahkan bahwa mahasiswa yang tidak mengambil dana insentif tak akan dikeluarkan sertifikat PPL-nya.

“Kita belum bisa mengatasi persoalan kecilnya dana insentif itu. Karena anggarannya memang segitu,” kata M. Nur Mustafa, Dekan FKIP. Nursal selaku Kepala UPT PPL pun tak bisa berbuat banyak. “Kalau mereka tega bayar segitu ya silahkan. Kami hanya menyarankan, tak ada kewajiban untuk menggenapinya menjadi Rp 200 ribu,” ujarnya.

  
M. Nur Mustafa, Dekan FKIP Universitas Riau
SELAIN mengkritik kebijakan fakultas, kebijakan terkait pendanaan dari pihak sekolah tempat mahasiswa melaksanakan PPL juga dikeluhkan sebagian dari mereka. Paling krusial terkait permintaan sekolah memperbaiki lapangan basket. Ini dialami oleh mahasiswa yang PPL di SMP Negeri 8 Pekanbaru. “Kami diminta perbaiki lapangan basket,” kata Sulistiono dari Pendidikan Biologi FKIP.

Hal ini dibenarkan Desmi Erwinda, saat itu menjabat Kepala Sekolah SMP Negeri 8 Pekanbaru. “Saya hanya minta mahasiswa PPL meninggalkan kenang-kenangan yang nampak di sekolah ini. Dari pada mereka memberikan kado untuk guru-guru pamong,” katanya. Di sekolah tersebut, selain mahasiswa UR, ada pula mahasiswa dari UIR dan UIN Suska juga melaksanakan PPL.

Tak semua mahasiswa PPL yang mengajar di SMP Negeri 8 Pekanbaru setuju dengan kebijakan Desmi Erwinda. Namun karena sebagian besar setuju, terpaksa semua harus menyumbang untuk memperbaiki lapangan basket. “Masing-masing kami menyumbang Rp 100 ribu,” kata Sulistiono.

Bila dijumlahkan insentif untuk guru pamong dan kepala sekolah yang hanya Rp 60 ribu per orang, berarti setiap mahasiswa yang PPL di SMP Negeri 8 Pekanbaru harus menambah dana Rp 40 ribu lagi agar sumbangannya menjadi Rp 100 ribu seperti yang mereka sepakati. Kini Desmi Erwinda menjadi Kepala Sekolah di SMP Negeri 13 Pekanbaru.

“Pihak fakultas tak pernah menerima laporan terkait kebijakan pihak sekolah tersebut. Kalau ada keluhan mahasiswa, kita akan cari sekolah baru untuk tempat PPL,” tegas M. Nur Mustafa, Dekan FKIP.
UNTUK mengatasi berbagai keluhan mahasiswa terkait pendanaan, pihak fakultas sempat mewacanakan akan menaikkan biaya pendaftaran PPL menjadi Rp 500 ribu per orang. “Jadi mahasiswa PPL tak perlu menambah dana lagi untuk bayar guru pamong,” kata Nursal.

Namun informasi terakhir menyatakan bahwa biaya pendaftaran tak jadi dinaikkan. “Sudah kita kembalikan lagi menjadi Rp 300 ribu per orang. Kita tak mau memberatkan mahasiswa,” ujar M. Nur Mustafa, Dekan FKIP.

Kalau begitu, apakah keluhan soal insentif kepala sekolah dan guru pamong akan terjadi lagi? Jawabannya akan ditemukan pada kegiatan PPL semester genap ini. #

0 komentar:

Posting Komentar