Oleh Suryadi
Abu Terbang |
NAMA Dr. Ir. Bahruddin, MT terpampang di
spanduk depan Lembaga Penelitian Universitas Riau pertengahan Desember lalu.
Dosen Teknik Kimia Fakultas Teknik UR ini dinobatkan sebagai peneliti
terbaik UR sepanjang 2012. “Bagi saya ini surprise, gak nyangka
aja. Gak ngerti juga kriteria penilaiannya, ya disyukuri aja,” kata
Bahruddin.
Bahruddin
meneliti Sifat dan Morfologi Komposit Karet Alam-Polipropilen yang
Diperkuat dengan Sabut Buah Sawit dan Abu Terbang Sawit.
Menurut
Bahruddin, produksi pengolahan karet di Riau masih bersifat industri hulu.
Produknya masih berupa crumb rubber seperti SIR (standard
indonesian rubber) 10 atau SIR 20 dan RSS (ribbed smoke sheet) yang
diekspor atau dijual ke daerah lain untuk diproses menjadi produk jadi, seperti
ban, belt conveyor dan lain-lain. Riau sendiri sampai saat ini
belum memiliki industri hilir karet. “Kalau bisa Riau tak hanya ekspor bahan
baku karet tapi mampu memproduksi karet, jadi bahan jadi,” kata Bahruddin.
Ada dua
macam produk yang dibuat Bahruddin dari hasil penelitiannya. Pertama, termoplastik
vulkanisat. Produk ini merupakan campuran antara karet dan plastik. Fasa
karet divulkanisasi dinamik dalam fasa plastik bersamaan dengan proses
pencampurannya. Jenis plastik yang digunakan adalah polipropilen.
“Saya menggunakan polipropilen produksi Pertamina Plaju Palembang,” katanya.
Produk termoplastik
vulkanisat dapat diproses seperti plastik namun mempunyai sifat
elastis seperti karet. “Jadi kalau ingin mengubah bentuk suatu produk karet
yang tidak sesuai spesifikasi, tinggal dicetak ulang saja pada suhu leleh
plastik, tidak perlu membuangnya,” lanjut Bahruddin. Berbeda dengan produk
karet yang divulkanisasi konvensional. Ia tidak mungkin diubah lagi bentuknya
melalui pelelehan atau pelarutan.
Produk
kedua thermoset rabber. Ini produk karet yang divulkanisasi
konvensional yang umumnya sudah dikenal, seperti yang dipakai untuk ban.
Bedanya hanya pada penggunaan bahan penguat atau filler saja.
“Saya coba manfaatkan abu terbang sawit dari limbah pabrik kelapa sawit sebagai
pengganti filler komersial yang selama ini digunakan di
industri karet,” timpal Bahruddin.
Kedua jenis
produk karet tersebut bisa diperkuat dengan menambahkan abu terbang sawit
sebagai filler. “Sudah terbukti dari hasil penelitian yang kita
lakukan,” papar Bahruddin. Abu terbang sawit banyak mengandung komponen silika sehingga
dapat dipakai untuk meningkatkan sifat mekanik dari produk-produk berbasis
karet.
Namun ikatan
antara abu terbang sawit dan karet relatif lemah. Untuk meningkatkan interaksi
keduanya bisa dilakukan dengan menambahkan coupling agent. ”Kami
buat sendiri bahan coupling agent tersebut, dari bahan karet
juga, dimodifikasi dengan cara grafting komponen maleat
anhidrat ke rantai polimer karet,” lanjut Bahruddin.
Abu terbang
sawit melimpah di Riau. “Sayangnya belum dimanfaatkan serius,” keluhnya. Abu
terbang sawit dihasilkan lewat pembakaran cangkang dan tandan kosong sawit di
unit boiler. Abu terbang sawit mengandung sekitar 50
persen silika bahkan lebih. Karena itu Bahruddin coba
manfaatkannya untuk meningkatkan sifat mekanik karet.
Hasil penelitian
ini telah mendapat paten atas nama Bahruddin. “Kalau memang ada yang mau pakai
silahkan, jika butuh bantuan saya siap bantu,” tawar Bahruddin. Dalam meneliti
Bahruddin dibantu Putra Firdaus, Liana Solehah, Cecep Sunandar, Ice Gusnita,
Lili, Weni, Baihaki, Adan, Agan dan banyak lainnya dari Program Sarjana Jurusan
Teknik Kimia Universitas Riau.
Di
Indonesia, jelas Bahruddin, penelitian karet tak begitu banyak. Negara luar
seperti Thailand, Malaysia, India, China jauh lebih banyak meneliti tentang
karet. Padahal Indonesia punya balai penelitian karet di Bogor, Yogyakarta dan
Medan.
Bahruddin
lakukan pengujian hasil penelitiannya di Laboratorium Pengujian Polimer, Pusat
Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung. Penelitian
ini dilakukan sejak 2009. Ia terpaksa ke Bandung karena tak ada alat pendukung
penelitian di Riau. Karena itu penelitian Bahruddin tergolong lama. “Kalau dilakukan
di kampus kita, tentu saja akan lebih intensif lagi,” katanya.
Harapannya
suatu saat Universitas Riau bisa punya laboratorium sendiri untuk mendukung
penelitian sejenis. “Jadi bisa mendorong tumbuhnya minat untuk menumbuhkan
industri hilir di Riau.”
0 komentar:
Posting Komentar