Jumat, 08 September 2017

Tarmizi



Informan dari Desa Jumrah

Oleh Suryadi

Tarmizi depan rumahnya di Desa Jumrah. Foto Jikalahari
SAYA ini sejak tahun 80 an sudah keluar masuk dalam hutan Jumrah bahkan sampai Dumai sana. Saya tahu isi dalam hutan itu. Bersama warga di sini menebang kayu buat rumah. Sekarang kayu sudah tidak ada sejak perusahan Ruas Utama Jaya masuk. Mereka menebang hutan dan menanam akasia.

Mata pencaharian warga sudah tidak ada lagi dari hutan itu. Bahkan lahan warga juga diklaim sama perusahaan. Warga jadi takut mau menanam. Sewaktu-waktu pasti diusir oleh perusahaan.
Kami sering diajak rapat oleh pemerintah desa bersama perwakilan perusahaan. Kami hanya minta perusahaan menunjukkan tapal batas konsesi mereka. Tapi mereka cuma bilang iya saja. 
“Nanti akan ditunjukkan.” Sampai sekarang sudah bertahun-tahun kami tak tau di mana batas lahan kami dengan perusahaan.


Kami lihat, wilayah tanam mereka semakin luas dan semakin dekat dengan lahan masyarakat. Bahkan pemukiman dan kantor Desa Jumrah itu diklaim perusahaan miliknya. Kami sudah coba protes dan demo berkali-kali ke perusahaan. Sialnya, pimpinan demo kami mudah disogok dan diberi pekerjaan oleh perusahaan. Warga yang lain jadi malas mau protes lagi. Demo ke Bupati pun kami tak pernah ada hasil. Sama saja, hanya dijanjikan.

Sejak perusahaan masuk, tak ada perubahan yang berarti bagi warga di sini. Mereka semakin miskin. Banyak yang menganggur. Sebagian tak punya lahan. Bekerja diperusahaan tapi digaji tak seberapa. “Itu pun sering terlambat menerima gaji.” Saya termasuk yang pernah bekerja di perusahaan itu. Sepuluh bulan bekerja, hanya tiga bulan yang dibayar. Saya sampai menggadaikan motor dan surat tanah.

Saya sempat mau mengamuk ke dalam perusahaan dan mengancam akan membakar pompong mereka yang ada dalam sungai. Tapi mereka cepat sadar dan melunasi sisa gaji saya yang belum dibayar.

Sekarang bisa dilihat pekerja yang ada di dalam perusahaan. Hanya beberapa orang yang berasal dari desa ini. “Itu pun pekerja kasar seperti tukang tanam bibit akasia. Tak ada yang sebagai karyawan.” Kebanyakan pekerja datang dari Sumatera seperti orang Batak dan Nias. Mereka dirumahkan di sana.

Tapi bisa kita lihat, pekerja itu hidup seperti tak layak. Tinggal dalam bak container seperti peti kemas. Tak ada fasilitas umum di tempat tinggal mereka. Seperti sekolah, klinik atau puskesmas. Sewaktu saya bekerja di dalam, beberapa kali mengantar perempuan mau melahirkan. Saat mau dibawa ke Dumai, akhirnya melahirkan dalam pompong. “Suaminya langsung yang jadi bidan.”

Banyak anak-anak tinggal di sana. Tapi saya tak pernah melihat mereka diangkut pakai bus untuk diantar ke sekolah. Berbeda dengan perusahaan lain. Tiap pagi ada nampak bus menjemput dan mengantar anak-anak sekolah. Saya pernah melihat, anak-anak yang tinggal di perusahaan Ruas Utama Jaya disembunyikan ketika tim audit datang meninjau ke lokasi.

Saya ini termasuk yang pernah ditegur oleh tim audit karena sudah umur 60 tahun masih bekerja di perusahaan. Saya bekerja mengangkut bibit akasia menggunakan pompong. Tapi setelah dikasih tahu tak boleh lagi bekerja, saya minta anak yang menggantikan. Beberapa minggu setelah itu, orang perusahaan malah menelpon saya kembali agar bekerja seperti biasa. 

Begitulah perusahaan memperlakukan pekerja. Padahal gajinya sering terlambat berbulan-bulan baru dibayar.

Waktu musim asap, perusahaan membentuk masyarakat peduli api. Orang-orangnya dari warga sini. Tapi mereka digaji tak sepenuhnya. Tiga bulan bekerja hanya dibayar satu bulan. Itupun tidak sepenuhnya seperti yang dijanjikan diawal. “Akirnya warga sini pada berhenti dari MPA itu.”

Kami sering diberi bantuan seperti kambing, lembu dan bebek. Tapi tak tahu hewan itu di mana sekarang. Pemerintah yang menerima bantuan itu tak bertanggungjawab dan tak pernah jujur sama warga. Katanya menolak bantuan dari perusahaan, kami lihat terima juga. Baru-baru ini, warga diberi bantuan bibit nanas dan lahan dua hektar. Kami dibentuk kelompok. Tapi hasilnya entah di mana. Kelompoknya pun tak jelas.

Sekarang ini, semenjak perusahaan menebang hutan dan menanam akasia, sering terjadi kebakaran. Padahal dulu tak pernah terbakar sedikit pun. Tak hanya warga di sini yang jadi korban, hewan dalam hutan itu pun pada kabur dan masuk ke pemukiman warga. Ada warga yang digigit harimau saat menyadap karet. Ada lagi yang digigit saat buang air di belakang rumah.

“Itu ada perempuan yang digigit telinganya kemarin pas buang besar.”

Saya sering malapor ke Pekanbaru, kalau ada kejadian apa pun di perusahaan. Seperti kebakaran, pembukaan lahan baru sampai harimau lalu lalang pun saya laporkan. “Saya lapor ke greenpeace, Walhi dan Jikalahari. Metro Tv pun pernah saya temani masuk dalam hutan ini. Karena hanya saya yang tahu seluk beluk dan akses untuk masuk perusahaan.”

Gara-gara sering melapor itu, saya jadi paham menggunakan GPS. Saya diajarkan orang-orang greenpeace mengukur lahan perusahaan. Kadang pura-pura memancing pakai pompong menyusuri kanal perusahaan. “Padahal di bawah jaring kami ada alat-alat khusus yang dibawa.”

Saya kenal dengan aktivis lingkungan itu sejak lahan perusahaan mulai terbakar. Mereka datang ke sini cari pompong untuk masuk ke dalam perusahaan. Kebetulan saya punya. “Nah, sejak itu saya selalu diajak. Bahkan mereka tidur di rumah ini. Bule pun pernah tidur di sini.”

0 komentar:

Posting Komentar