Informan dari Desa Jumrah
Oleh Suryadi
Tarmizi depan rumahnya di Desa Jumrah. Foto Jikalahari |
SAYA ini sejak tahun 80
an sudah keluar masuk dalam hutan Jumrah bahkan sampai Dumai sana. Saya tahu
isi dalam hutan itu. Bersama warga di sini menebang kayu buat rumah. Sekarang
kayu sudah tidak ada sejak perusahan Ruas Utama Jaya masuk. Mereka menebang
hutan dan menanam akasia.
Mata pencaharian warga sudah tidak ada lagi
dari hutan itu. Bahkan lahan warga juga diklaim sama perusahaan. Warga jadi
takut mau menanam. Sewaktu-waktu pasti diusir oleh perusahaan.
Kami sering diajak rapat oleh pemerintah
desa bersama perwakilan perusahaan. Kami hanya minta perusahaan menunjukkan
tapal batas konsesi mereka. Tapi mereka cuma bilang iya saja.
“Nanti akan
ditunjukkan.” Sampai sekarang sudah bertahun-tahun kami tak tau di mana batas lahan kami dengan perusahaan.
Kami lihat, wilayah tanam mereka semakin
luas dan semakin dekat dengan lahan masyarakat. Bahkan pemukiman dan kantor
Desa Jumrah itu diklaim perusahaan miliknya. Kami sudah coba protes dan demo
berkali-kali ke perusahaan. Sialnya, pimpinan demo kami mudah disogok dan
diberi pekerjaan oleh perusahaan. Warga yang lain jadi malas mau protes lagi.
Demo ke Bupati pun kami tak pernah ada hasil. Sama saja, hanya dijanjikan.
Sejak perusahaan masuk, tak ada perubahan
yang berarti bagi warga di sini. Mereka semakin miskin. Banyak yang menganggur.
Sebagian tak punya lahan. Bekerja diperusahaan tapi digaji tak seberapa. “Itu
pun sering terlambat menerima gaji.” Saya termasuk yang pernah bekerja di
perusahaan itu. Sepuluh bulan bekerja, hanya tiga bulan yang dibayar. Saya sampai
menggadaikan motor dan surat tanah.
Saya sempat mau mengamuk ke dalam
perusahaan dan mengancam akan membakar pompong mereka yang ada dalam sungai.
Tapi mereka cepat sadar dan melunasi sisa gaji saya yang belum dibayar.
Sekarang bisa dilihat pekerja yang ada di
dalam perusahaan. Hanya beberapa orang yang berasal dari desa ini. “Itu pun
pekerja kasar seperti tukang tanam bibit akasia. Tak ada yang sebagai karyawan.”
Kebanyakan pekerja datang dari Sumatera seperti orang Batak dan Nias. Mereka
dirumahkan di sana.
Tapi bisa kita lihat, pekerja itu hidup
seperti tak layak. Tinggal dalam bak container
seperti peti kemas. Tak ada fasilitas umum di tempat tinggal mereka. Seperti
sekolah, klinik atau puskesmas. Sewaktu saya bekerja di dalam, beberapa kali
mengantar perempuan mau melahirkan. Saat mau dibawa ke Dumai, akhirnya
melahirkan dalam pompong. “Suaminya langsung yang jadi bidan.”
Banyak anak-anak tinggal di sana. Tapi saya
tak pernah melihat mereka diangkut pakai bus untuk diantar ke sekolah. Berbeda
dengan perusahaan lain. Tiap pagi ada nampak bus menjemput dan mengantar
anak-anak sekolah. Saya pernah melihat, anak-anak yang tinggal di perusahaan
Ruas Utama Jaya disembunyikan ketika tim audit datang meninjau ke lokasi.
Saya ini termasuk yang pernah ditegur oleh
tim audit karena sudah umur 60 tahun masih bekerja di perusahaan. Saya bekerja
mengangkut bibit akasia menggunakan pompong. Tapi setelah dikasih tahu tak
boleh lagi bekerja, saya minta anak yang menggantikan. Beberapa minggu setelah
itu, orang perusahaan malah menelpon saya kembali agar bekerja seperti biasa.
Begitulah perusahaan memperlakukan pekerja. Padahal gajinya sering terlambat
berbulan-bulan baru dibayar.
Waktu musim asap, perusahaan membentuk
masyarakat peduli api. Orang-orangnya dari warga sini. Tapi mereka digaji tak
sepenuhnya. Tiga bulan bekerja hanya dibayar satu bulan. Itupun tidak
sepenuhnya seperti yang dijanjikan diawal. “Akirnya warga sini pada berhenti
dari MPA itu.”
Kami sering diberi bantuan seperti kambing,
lembu dan bebek. Tapi tak tahu hewan itu di mana sekarang. Pemerintah yang
menerima bantuan itu tak bertanggungjawab dan tak pernah jujur sama warga.
Katanya menolak bantuan dari perusahaan, kami lihat terima juga. Baru-baru ini,
warga diberi bantuan bibit nanas dan lahan dua hektar. Kami dibentuk kelompok.
Tapi hasilnya entah di mana. Kelompoknya pun tak jelas.
Sekarang ini, semenjak perusahaan menebang
hutan dan menanam akasia, sering terjadi kebakaran. Padahal dulu tak pernah
terbakar sedikit pun. Tak hanya warga di sini yang jadi korban, hewan dalam
hutan itu pun pada kabur dan masuk ke pemukiman warga. Ada warga yang digigit
harimau saat menyadap karet. Ada lagi yang digigit saat buang air di belakang
rumah.
“Itu ada perempuan yang digigit telinganya
kemarin pas buang besar.”
Saya sering malapor ke Pekanbaru, kalau ada
kejadian apa pun di perusahaan. Seperti kebakaran, pembukaan lahan baru sampai
harimau lalu lalang pun saya laporkan. “Saya lapor ke greenpeace, Walhi dan Jikalahari. Metro Tv pun pernah saya temani
masuk dalam hutan ini. Karena hanya saya yang tahu seluk beluk dan akses untuk
masuk perusahaan.”
Gara-gara sering melapor itu, saya jadi
paham menggunakan GPS. Saya diajarkan orang-orang greenpeace mengukur lahan perusahaan. Kadang pura-pura memancing
pakai pompong menyusuri kanal perusahaan. “Padahal di bawah jaring kami ada
alat-alat khusus yang dibawa.”
Saya kenal dengan aktivis lingkungan itu
sejak lahan perusahaan mulai terbakar. Mereka datang ke sini cari pompong untuk
masuk ke dalam perusahaan. Kebetulan saya punya. “Nah, sejak itu saya selalu
diajak. Bahkan mereka tidur di rumah ini. Bule pun pernah tidur di sini.”
0 komentar:
Posting Komentar