Jumat, 11 Januari 2019

Jatuh Cinta pada Khairiyyah


Kami menikmati kopi Kimteng dan Gandum Kukus di SKA Mall Pekambaru.

Saya kali pertama bertemu Qei—panggilan sehari-hari Khairiyyah—17 Juli 2013. Dia bersama seniornya Hendra, jadi pewara pada hari jadi Bahana Mahasiswa ke 30. Bahana, lembaga pers mahasiswa Universitas Riau. Saya reporter waktu itu. Seingat saya, kami tidak ada terlibat obrolan sampai acara itu selesai, kecuali pada Hendra. Itupun hanya beberapa kali di belakang panggung.

Empat tahun kemudian, 16 Juli sore, kami bertemu lagi di aula rektorat kampus lantai 4. Saya sudah Pemimpin Umum merangkap Pemimpin Redaksi. Saya baru tahu, Wilingga, Bendahara Bahana memintanya jadi pewara lagi diusia 34 tahun Bahana. Qei datang untuk gladi acara.

Sampai maghrib, kami bicara soal rangkaian dan konsep acara, tata letak meja sampai menentukan durasi para tamu yang akan beri sambutan. Selain dari yang serius itu, kami juga mengingat pertemuan pertama sampai cerita masa studi. Kami seangkatan. Qei Pendidikan Kimia. Saya Sosiologi.

Esoknya, kami kembali bertemu untuk merayakan hari jadi Bahana ke 34. Qei membuka dan menutup rangkaian acara dengan sebuah pantun. Saya terkesan dengan caranya memandu acara tanpa tersendat sedikit pun. Bicaranya lancar dan santai. Tak ada pengulangan.

Hari itu, kami lebih lama duduk berdua terutama di sela-sela istirahat diantara tamu-tamu yang hadir. Saya mengambil tasnya di lantai lalu meletakkannya atas paha. Qei menyemprotkan parfum di belakang saya. Katanya, bau saya kurang enak. Qei juga mengajak saya berswafoto. Itu hanya berlangsung jelang makan siang. Saya pun harus melayani para alumni Bahana sebelum berangkat ke Siak.

Peringatan hari jadi Bahana juga dibarengi dengan kelas jurnalisme sastrawi. Bahana memilih 20 orang pers mahasiswa dari beberapa kampus di Pulau Jawa, Sulawesi dan Sumatera. Ia berlangsung 1 minggu di asrama haji Siak. Andreas Harsono pendiri Yayasan Pantau dan Budi Setyono dari Majalah Historia berbagi hari selama mengampu kelas.

Saya jatuh cinta pada Qei. Selama di Siak, saya berpikir bagaimana menyampaikan perasaan itu. Sempat minta bantuan Wilingga. Tapi lebih baik bicara langsung. Saya mulai jalin komunikasi pelan-pelan. Bertahap. Menawarnya minum kopi. Rupanya dia juga penikmat kopi.

Saya lupa persisnya tanggal berapa, pada September malam kami janjian ketemu. Saya membawanya di Dhapu Koffie. Kami memesan black coffee dan dimsum. Suasananya begitu santai. Gaya duduknya juga santai.

Obrolan awal seputar cerita penelitian saya di Bengkalis untuk tugas akhir kuliah. Saya juga tanya kegiatannya setelah menamatkan studi pada Februari 2017. Qei bekerja sebagai staf tata usaha di Rektorat Universitas Riau. Dia belum berniat jadi guru. Ingin mengasah kemampuannya bawa acara.

Singkat cerita, saya langsung berterus terang. Qei tersenyum dan bertanya keseriusan saya. Dia tak ingin main-main karena mengingat umur dan pekerjaan. Saya juga berpikir demikian. Pertanyaan pun semakin banyak keluar dari mulut kami. Kesimpulannya, kami setuju memulai untuk saling mengenal.

Malam itu rasanya senang sekali. Ada yang tidak senang jatuh cinta?

Kedai Kopi AC, Siak, setelah 1 tahun 6 bulan.

0 komentar:

Posting Komentar