Satu komunitas peduli dengan kondisi gajah yang
tersisa. Tak punya pengalaman tapi belajar saat mendampingi petugas dari
pemerintah.
Oleh Suryadi
Punggawa Hipam |
SEKELOMPOK pemuda dari Duri
Kabupaten Bengkalis hobi mendaki gunung. Salah satu gunung yang sering mereka
daki adalah Merapi, di Sumatera Barat. Saking seringnya mandaki dan berkumpul
di atas gunung, mereka buat satu komunitas yang giat melestarikan lingkungan.
Komunitas ini semacam Mahasiswa Pecinta
Alam yang ada di kampus. Bedanya, mereka berasal dari beragam profesi. Mulai
mahasiswa, guru hingga polisi. Mereka menamakannya Himpunan Pegiat Alam atau
Hipam. Terbentuk pada 2006, pasca turun dari Gunung Merapi Sumatera Barat.
Pada 2009, pengurus Hipam mulai
memperhatikan keadaan gajah di Kabupaten Bengkalis.
Terutama di hutan Suaka
Marga Satwa Balai Raja yang jadi jalur perlintasan hewan mamalia menyusui
tersebut. Ini bermula, saat mereka menerima laporan dari warga tentang adanya
gajah betina yang sakit.
Pengurus Hipam segera mendatangi lokasi
yang disebut oleh warga. Namun, setelah melihat kondisi gajah, mereka bingung
hendak berbuat apa terhadap hewan bergading tersebut. Seorang pengurus Hipam
kemudian menghubungi pegawai Balai Besar Koservasi dan Sumberdaya Alam (BBKSDA)
Provinsi Riau.
Satu hari kemudian, tim dari BKSDA pun
turun. Mereka memeriksa kondisi gajah. Hasilnya, gajah diketahui terkena kanker
payudara. “Satu hari setelah pemeriksaan itu, gajah nya meninggal,” kata Arif,
Ketua Hipam.
Pengalaman pertama menangani gajah ini buat
pengurus Hipam bertekad untuk giat menyelamatkan gajah-gajah selanjutnya.
Ditambah lagi, mereka sering menerima aduan banyaknya gajah mati karena
diracun, ditembak bahkan terkena perangkap yang sengaja dibuat oleh manusia.
“Kadang manusia pun berkonflik dengan gajah,” ucap Asrul yang bergabung dengan
Hipam sejak 2013.
Untuk memantau gajah yang lalu lalang di
hutan Balai Raja, pengurus Hipam secara bergantian patroli tiga kali dalam satu
minggu. Jika menemukan gajah yang masuk dalam pemukiman atau merusak tanaman
warga, mereka bersama-sama ikut menghalau gajah. Hal yang umum dilakukan,
mereka membunyikan meriam karbit atau bunyi lainnya supaya gajah tidak masuk
dan menyerang warga.
Selama pemantauan ini, pengurus Hipam kerap
menemukan gajah yang sakit bahkan mati. Ada juga gajah yang putus kaki karena
jerat yang dipasang oleh warga. Kalau menemukan kejadian seperti ini, mereka
segera menghubungi BKSDA dan terus memantau perjalanan gajah sembari menunggu
tim medis datang. Sayangnya, bantuan ini kadang datang terlambat. “Kadang
berminggu-minggu kami menunggu,” kata Asrul.
“Masalahnya, dokter gajah itu cuma ada satu
di Sumatera ini. Di Medan,” sambung Arif.
Meski rutin patroli, pengurus Hipam kadang
tidak menemukan gajah yang melintas. Tapi, waktu senggang ini mereka gunakan
berdialog dengan warga sekitar atau pekerja di kebun. Sambil menikmati kopi,
mereka mensosialisasikan cara menghalau gajah tanpa menyakitinya. Kompor dan
kopi adalah bekal yang tak pernah pisah dari pengurus Hipam saat patroli.
Pengurus Hipam punya pengalaman unik selama
aktif melakukan patroli. Mereka kerap memberi nama pada gajah yang dijumpai.
Gajah yang sudah diberi nama diantaranya Diana, Getar dan Jesika. Dua nama
terkahir punya alasan tesendiri. Seekor gajah diberi nama Getar karena sempat
buat Asrul gemetar di atas pohon.
Saat itu, Asrul sedang mengambil video
gajah yang sedang lewat dari atas pohon. Tanpa sadar, ternyata di bawah pohon
ada seekor gajah. Gajah tersebut seolah menunggu Asrul turun dan tak bergerak
sedikit pun. Lama menunggu di atas, Asrul merasa takut dan gemetaran. Tak hanya
itu, Asrul juga baru tahu, pohon yang ia panjat ternyata sudah mati dan tak ada
lagi daun yang tumbuh sama sekali.
“Saya takut gajah itu menyeruduk pohon,”
kenang Asrul. Tapi ia beruntung, gajah kemudian pergi.
Sementara, gajah yang diberi nama Jesika
karena pengurus Hipam teringat dengan peristiwa matinya Mirna yang diracun oleh
Jesika.
Hal berkesan juga pernah dialami Arif. Saat
mengintai gerombolan gajah yang lewat, ia tak sengaja menginjak perangkap yang
dipasang oleh warga. Perangkap itu hampir saja mengenai wajahnya. “Kalau kena,
merah juga muka dibuatnya tu,” ucap Arif.
Arif juga pernah hampir diikat oleh warga.
Pasalnya, ketika mendampingi petugas dari BKSDA, ia ditinggal sendirian di
kebun milik warga. Saat itu lagi musimnya gajah merusak kebun terutama sawit.
Warga yang berbondong-bondong sedang mencari gajah melihat Arif sendirian dan
disangka pemilik gajah. “Ikat. Ikat dia. Dia pemilik gajahnya tu,” ujar Arif
tersenyum mengenang cerita itu.
Semangat Arif dan teman-temannya tak pernah
berkurang hingga sekarang. Mereka terus melakukan hal kreatif demi
menyelamatakan gajah yang sudah tergolong punah di Sumatera.
Pengurus Hipam pernah menggalang dana untuk
membantu warga yang rumahnya roboh karena diserobot oleh gajah. Bantuan ini kadang
mereka berikan secara penuh sampai rumah tersebut bisa dibangun kembali. Bagi
mereka yang tergolong mampu pun tetap dibantu oleh pengurus Hipam. “Tapi
setengahnya saja,” kata Asrul.
Cara kelompok ini menggalang dana
bermacam-macam. Mulai dari ngamen di jalan, di persimpangan lampu merah hingga
mendatangi sekolah-sekolah. Tak jarang, mereka juga meminta pada pemerintah
setempat seperti Camat. Kalau tak dikasih, mereka datangi langsung satu persatu
pegawai di kecamatan.
“Kami minta duitnya ke Camat dulu. Baru
Camat nya kami ajak keliling menemui pegawainya. Kalau Camat nya ikut, pegawai
pada takut semua,” tutur Arif.
Kini, selain memantau kondisi gajah, Arif
dan kawan-kawan juga berusaha menyediakan lahan untuk ditanami makanan gajah.
Tujuannya, ketika gajah masuk di pemukiman atau di kebun warga, gajah bisa
dihalau ke lahan ini.
Ide ini dibuat berdasarkan pengalaman
pengurus Hipam ketika berhadapan dengan gerombolan gajah. Mereka sering
kebingungan. Tak tau gajah-gajah itu mau diarahkan ke mana. Hutan di Duri
semakin berkurang. Padahal, jalur perlintasan gajah itu dulunya hutan yang jadi
wilayah jelajah mereka.
Ini juga yang buat pengurus Hipam bertambah
bingung karena protes dari warga. “Usir gajah kalian itu. Angkat gajah kalian
itu. Kurung gajah kalian itu,” tutur Arif mengingat ucapan warga ketika mereka
sedang patroli.
Hal lain yang jadi kendala pengurus Hipam
menyelamatkan gajah, kurangnya perhatian pemerintah terhadap gajah yang masih
tersisa. Pembukaan hutan dan pembuatan kanal sangat mengganggu kehidupan dan
merusak habitat gajah. Gajah tak bisa melintas karena terhalang oleh kanal
dalam lahan perusahaan. Kata Asrul, biasanya dalam bulan ini gajah sudah mulai
masuk ke hutan Balai Raja.
Sekarang pemerintah Kabupaten Bengkalis
membangun jalan untuk lintasan baru melewati Duri. Lintasan ini dikenal dengan
jalan Lingkar. Namun, pembangunan jalan ini membuka hutan Balai Raja yang
tersisa. Pengurus Hipam mengecam kebijakan yang sudah terlanjur terlaksana ini.
Karena mengganggu jalur perlintasan gajah.
“Kita minta pemerintah menghentikan
pengerjaan jalan itu.”*
0 komentar:
Posting Komentar