Sejak Soeharto masih jadi presiden, Darwis menolak
perluasan pelabuhan di Dumia. Karena merusak hutan bakau sepanjang pesisir kota
tersebut.
Oleh Suryadi
Darwis di Hutan Bakau Dumai. |
SORE sekitar pukul 3,
seorang pria duduk diujung jalan. Memakai kopiah, kaos putih dan sarung.
Kulitnya cokelat dan jenggotnya putih. Dia mendekat seraya mengucapkan salam
dan menjabat tangan.
Dia kemudian mengajak masuk menyusuri
pelataran kayu dalam hutan bakau, lalu berhenti di tengah-tengah hutan. Di sini
telah tersedia meja dan kursi juga di atas pelataran. Dia mempersilakan duduk.
Di sekitar kami ada kantin dan pendopo. “Di sini tempat anak-anak sekolah alam
bandar bakau. Sebelum mulai sekolah mereka sarapannya di sini,” katanya.
Ia adalah Darwis. Pendiri Pecinta Alam
Bahari Bandar Bakau Dumai. Hutan bakau tempat kami bincang-bincang ini dikelola
Darwis sejak 1998. Selain untuk menahan abrasi, hutan bakau juga di kenal
sebagai simbol budaya masyarakat Dumai.
Dimasa orde baru, Darwis pernah mengitari
Sungai Dumai menggunakan sampan. Kadang berenang. Ia mengajak pemuda sekitar
tempat tinggalnya. Mereka kadang memancing di tengah sungai. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui dua hal. Pertama melihat pohon bakau yang masih tersisa, kedua
mencari tahu ketersediaan ikan dalam sungai.
“Sering kami dapat sampah.”
Kondisi alam seperti ini sering dipentaskan
oleh Darwis dalam satu panggung seni. Paling sering saat hari jadi Kota Dumai.
Depan pejabat daerah yang hadir ia tak segan-segan mengkritik lewat tampilan
teater yang diciptakan sendiri. Paling berkesan bagi Darwis, saat main teater
tentang sampah di Sungai Dumai.
Ia dan pemain lainnya menutup tubuh dengan
sampah yang mereka dapat dari dalam sungai. Bahkan alat musik yang mereka
mainkan di atas panggung barang-barang bekas yang hanyut di sungai. “Alat musik
macam band tu kami tutup dengan plastik. Tak kami pakai.”
Teater tentang berkurangnya hutan bakau
sepanjang pesisir Dumai juga pernah diceritakan Darwis dalam teater berjudul
Raja Udang Tak Lagi Jadi Raja. Hilangnya pohon bakau juga mengakibatkan
punahnya udang dalam sungai. Teater ini kata Darwis buat muka pejabat merah
karena dikritik saat hadir dalam pertunjukan.
Usaha Darwis menjaga simbol budaya yang
disebutnya sebagai marwah ini cukup panjang. Jika tidak karena ketekunannya, bakau
di Kota Dumai sudah lama habis ditebang untuk memperluas pembangunan pelabuhan
oleh Pelindo.
Darwis menolak pembangunan pelabuhan yang
katanya untuk rakyat. Pembangunan pelabuhan ini akan menebang pohon bakau yang
ada di sepanjang garis pantai Dumai. Darwis memasang plang penolakan di pohon
bakau. Meski akhirnya menyaksikan sendiri pohon-pohon tersebut ditebang. Dia
memvideo langsung proses penebangan itu dan menyerahkannya pada pemerintah
pusat. Katanya, pihak Pelindo ditegur setelah itu.
Tak habis akal, Darwis bergeser ke sisa
pohon bakau yang ada di Dumai Barat. Katanya, Pelindo juga berencana membangun
pelabuhan lagi di kawasan ini. “Yang saya tolak pertama itu di Dumai Timur.”
Darwis mengajak warga setempat untuk
menanam bibit bakau bersama. Modalnya ia pinjam dari teman yang bekerja sebagai
kontraktor. Modal Rp 10 juta yang diperoleh itu dibagi-bagi ke warga setempat
untuk mencari bibit bakau di luar Kota Dumai. Seperti di Kepulauan Meranti. Hasilnya,
hutan bakau yang awalnya hanya 2 hektar kini menjadi luas 20 hektar.
Darwis tak peduli jika hutan bakau itu
nantinya ditebang. Baginya, yang penting berbuat dulu sambil meyakinkan
pemerintah daerah hingga pusat agar hutan bakau di Dumai tidak disia-siakan.
Usaha ini juga dilakukan Darwis pada seniman dan budayawan Dumai agar ikut
prihatin dengan kondisi tersebut. Ia getol mempertanyakan kepedulian seniman
dan budayawan serta pemerintah dalam forum-forum debat formal maupun non
formal.
Kini, hutan bandar bakau hasil kerja keras
Darwis ditetapkan sebagai wisata bahari Kota Dumai. Namun, Darwis tak
sepenuhnya merasa lega. Ia berharap bandar bakau ini dijelaskan statusnya dalam
RTRW Provinsi Riau. “Entah itu sebagai zona hijau, ruang terbuka hijau atau
kawasan konservasi.”
UPAYA Darwis menjaga
kelestarian hutan bakau terus berlanjut hingga sekarang. Ia menciptakan
kader-kader dari usia kecil untuk ikut berperan dalam kegiatannya. Darwis
membangun sekolah alam yang jadwal belajarnya pada hari Minggu. Dia memasukkan
kurikulum tentang bakau. Muridnya yang dari sekolah dasar hingga menengah atas juga
diajar berenang.
Darwis tidak sendiri jadi pengajar. Kadang
ia meminta bantuan pegawai dinas lingkungan hidup dan dinas perikanan. Juga
mahasiswa yang paham tentang mangrove. Mahasiswa yang sedang KKN sering jadi sasaran
Darwis. Bahkan, akdemisi atau dosen yang datang di bandar bakau nya juga
diminta untuk mengajar. Salah satunya Aras Mulyadi Rektor Universitas Riau. “Semua
yang mengajar itu tidak dibayar. Termasuk anak sekolah yang datang juga
digratiskan.”
Selain belajar, Darwis juga mengajak anak
didiknya mengembangkan bibit bakau. Dengan begini, cukup membantu memenuhi
kebutuhan belajar mengajar di sekolah alam dan tidak perlu lagi mencari bibit
di luar. Bahkan bibit bakau ini dijual ke berbagai instansi dan ke luar daerah.
Hasil penjualannya juga diberikan pada anak-anak sekolah yang membantu.
Darwis kini terus memutar otak, bagaimana
suapaya kawasan bandar bakau bisa dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai
lapangan pekerjaan. “Kita ingin menciptakan kerajinan dan industri kreatif dari
alam ini.”
Tantangan Darwis tidaklah mudah. Dia harus
menerima cemoohan warga. Disebut gila. Bahkan dia dianggap menghalangi warga
untuk menebang bakau. Diawal sekolah alam berdiri pun tidak serta merta
orangtua murid mengizinkan anaknya untuk masuk dalam kawasan bandar bakau.
Murid pertama sekolah alam cuma 3 orang.
Itu pun anak Darwis sendiri. Ditambah 4 orang teman anaknya. Cara Darwis
menarik simpati anak-anak dengan metode belajar yang unik. Ceramah soal teori
hanya setengah jam. Selebihnya ia membiarkan anak-anak bermain dengan cara
mengenali jenis pohon bakau yang ada. Bagi yang dapat menjawab, diberi hadiah
minuman cocacola.
Anak-anak tentunya senang. Tiap kali
pulang, hadiah yang didapat diberitahu pada orangtua dan teman sebaya lainnya.
Lambat laun, sekolah alam mulai ramai muridnya. Bahkan, kata Darwis, orangtua
nya langsung datang mengantar anaknya. “Anak-anak pegawai malahan.”
Sekarang, anak-anak sekolah alam dilibatkan
Darwis dalam bermain teater dan seni lainnya. Dibawah teater Bendera, murid
Darwis kerap tampil ditiap panggung seni dan seremoni terbuka pemerintah.
Termasuk dalam rangka hari lahir Kota Dumai. Bantuan pun terus mengalir
terutama dari pihak swasta.
Darwis kini sedang berupaya menghubungkan
semua pelataran yang ada dalam kawasan bandar bakau. “Biar semua orang bisa
berkeliling dalam hutan ini.”*
0 komentar:
Posting Komentar