Selasa, 25 Juli 2017

Bikin Film Wartawan Terima Amplop



Bagaimana reaksi anda bila wartawan minta bayaran setelah menjalani tugas?

Menyampaikan laporan, sebelum kelas jurnalisme sastrawi ditutup.
Minggu 23 Juli 2017, setelah pengurus LPM Bahana Mahasiswa Universitas Riau menutup kelas jurnalisme sastrawi di Asrama Haji Siak Sri Indrapura, seorang laki-laki memakai seragam salah satu organisasi wartawan, menghampiri dari belakang.

Dengan suara pelan mengarah ke telinga, ia berujar, mas, boleh bantu kita uang minyak? Saya tak beri jawaban langsung. Sambil jalan, ia terus bicara panjang lebar. 


“Nanti saya ditanya redaktur di kantor dapat atau tidak? Kalau dapat kita bagi-bagi lagi ke dia. Kita wartawan di sini beginilah. Kalau tak begini kita tak makan. Biasanya kita ada kerjasama langsung dengan para pihak. Dari situ kita bisa dapat uang.”

Begitu terus ia merayu. Intinya tetap sama. Minta duit. 

Tinggal beberapa langkah masuk pekarangan asrama, saya menegurnya. “Tidak boleh wartawan minta duit begitu. Termasuk bikin kerjasama yang berhubungan dengan tugas liputan. Kami di sini belajar jurnalisme dan itu dibahas.”

Ia tak memperpanjang obrolan. Kami berpisah.

Selama sepekan, kru LPM Bahana Mahasiswa Universitas Riau bikin kelas jurnalisme sastrawi di Siak. Andreas Harsono dan Budi Setiyono—pengajar jurnalisme di Yayasan Pantau—bergantian mengampu kelas. Masing-masing dapat jatah tatap muka dengan peserta dua setengah hari.

Peserta berjumlah 22 dari 20 kampus di Indonesia. Sulawesi, Jawa termasuk Sumatera. Paling banyak utusan pers mahasiswa dari Jawa.

Mereka diajar menulis deskripsi, memilih sudut pandang, memakai tokoh dalam cerita, memahami alur dan menggunakan dialog. Ini perlu pengamatan langsung di lapangan. Tiap pagi ada evaluasi.  Bila di dalam kelas, peserta diajak diskusi soal elemen jurnalisme termasuk laku wartawan juga tentang jurnalisme sastrawi—cerita lahirnya genre jurnalisme ini, perkembangannya di Amerika hingga masuk ke Indonesia.

Peserta juga diajak nonton. Malam kedua di lokasi latihan, menyaksikan black road. Ini  tentang nasionalisme orang Aceh. Perlawanan GAM terhadap tentara Indonesia hingga perjanjian Helsinki . Film yang disutradai William Nessen dari Australia ini, pernah dilarang tayang saat gelaran Jakarta Festival Film Internasional pada 2006.

Nonton tambah menarik karena setelahnya ada diskusi. Terlebih lagi ada peserta dari Banda Aceh dan Lhokseumawe.

Malam berikutnya, tentang skandal pelecehan seksual terhadap anak-anak yang melibatkan pastor di Amerika. Tim Spotlight—tim investigasi—di harian Boston Globe menulis skandal ini pada 2002. Tim ini mencatat, hampir seratus pastor terlibat skandal pelecehen terhadap anak laki-laki maupun perempuan.

Alhasil, satu tahun kemudian, tim dan editornya meraih Pulitzer—penghargaan tertinggi dibidang jurnalisme di Amerika. Filmnya juga meraih penghargaan Piala Oscar kategori best picture, meski tak secara seutuh menceritakan kerja tim. Kata Walter V Robinson alias Robby, sang editor, dalam wawancaranya dengan Wan Ulfa Nur Zahra Jurnalis Tirto, film spotlight hanya memuat kerja tim selama 5 bulan dengan durasi dua jam delapan menit.

Di Amerika, ada banyak film tentang wartawan. Beberapa yang pernah saya tonton, All the President Man. Tentang skandal watergate yang memaksa Ricahrd Nixon meletakkan jabatan sebagai Presiden Amerika. Kejahatan ini terbongkar berkat investigasi dua wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein.

Ulasan admin di website Pantau menjelaskan, karya dua wartawan tadi menduduki peringkat tiga dari 100 karya jurnalistik di Amerika pada abad 20. Peringakat atas ada Hiroshima karya Jhon Hersey. Dibawahnya, menyusul karya Rachel Carson tentang Silent Spring.

Ada juga film tentang wartawan yang memuat laporan bohong. Mengandai-andai dan membuat skenario sendiri seolah peristiwa itu benar-benar terjadi. Ia Sthepen Glass, wartawan majalah New Republic. Filmnya dikasih judul Shattered Glass.

Di Indonesia mesti bikin film serupa. Bisa tentang pemberedelan media pada masa orde baru, penangkapan dan penculikan wartawan, atau tentang wartawan yang suka terima amplop alias duit tiap kali liputan.

Saya kira, film seperti itu dapat mendidik calon jurnalis, tentunya untuk jurnalisme Indonesia lebih baik kelak.*

0 komentar:

Posting Komentar