Bagaimana reaksi anda bila wartawan minta bayaran
setelah menjalani tugas?
Menyampaikan laporan, sebelum kelas jurnalisme sastrawi ditutup. |
Minggu 23 Juli 2017, setelah pengurus LPM
Bahana Mahasiswa Universitas Riau menutup kelas jurnalisme sastrawi di Asrama
Haji Siak Sri Indrapura, seorang laki-laki memakai seragam salah satu
organisasi wartawan, menghampiri dari belakang.
Dengan suara pelan mengarah ke telinga, ia
berujar, mas, boleh bantu kita uang minyak? Saya tak beri jawaban langsung.
Sambil jalan, ia terus bicara panjang lebar.
“Nanti saya ditanya redaktur di kantor
dapat atau tidak? Kalau dapat kita bagi-bagi lagi ke dia. Kita wartawan di sini
beginilah. Kalau tak begini kita tak makan. Biasanya kita ada kerjasama
langsung dengan para pihak. Dari situ kita bisa dapat uang.”
Begitu terus ia merayu. Intinya tetap sama.
Minta duit.
Tinggal beberapa langkah masuk pekarangan
asrama, saya menegurnya. “Tidak boleh wartawan minta duit begitu. Termasuk
bikin kerjasama yang berhubungan dengan tugas liputan. Kami di sini belajar
jurnalisme dan itu dibahas.”
Ia tak memperpanjang obrolan. Kami
berpisah.
Selama sepekan, kru LPM Bahana Mahasiswa
Universitas Riau bikin kelas jurnalisme sastrawi di Siak. Andreas Harsono dan Budi
Setiyono—pengajar jurnalisme di Yayasan Pantau—bergantian mengampu kelas.
Masing-masing dapat jatah tatap muka dengan peserta dua setengah hari.
Peserta berjumlah 22 dari 20 kampus di
Indonesia. Sulawesi, Jawa termasuk Sumatera. Paling banyak utusan pers
mahasiswa dari Jawa.
Mereka diajar menulis deskripsi, memilih
sudut pandang, memakai tokoh dalam cerita, memahami alur dan menggunakan
dialog. Ini perlu pengamatan langsung di lapangan. Tiap pagi ada evaluasi. Bila di dalam kelas, peserta diajak diskusi
soal elemen jurnalisme termasuk laku wartawan juga tentang jurnalisme sastrawi—cerita
lahirnya genre jurnalisme ini, perkembangannya di Amerika hingga masuk ke
Indonesia.
Peserta juga diajak nonton. Malam kedua di
lokasi latihan, menyaksikan black road.
Ini tentang nasionalisme orang Aceh. Perlawanan
GAM terhadap tentara Indonesia hingga perjanjian Helsinki . Film yang
disutradai William Nessen dari Australia ini, pernah dilarang tayang saat gelaran
Jakarta Festival Film Internasional pada 2006.
Nonton tambah menarik karena setelahnya ada
diskusi. Terlebih lagi ada peserta dari Banda Aceh dan Lhokseumawe.
Malam berikutnya, tentang skandal pelecehan
seksual terhadap anak-anak yang melibatkan pastor di Amerika. Tim Spotlight—tim
investigasi—di harian Boston Globe menulis skandal ini pada 2002. Tim ini
mencatat, hampir seratus pastor terlibat skandal pelecehen terhadap anak
laki-laki maupun perempuan.
Alhasil, satu tahun kemudian, tim dan editornya
meraih Pulitzer—penghargaan tertinggi dibidang jurnalisme di Amerika. Filmnya juga
meraih penghargaan Piala Oscar kategori best
picture, meski tak secara seutuh menceritakan kerja tim. Kata Walter V
Robinson alias Robby, sang editor, dalam wawancaranya dengan Wan Ulfa Nur Zahra
Jurnalis Tirto, film spotlight hanya memuat kerja tim selama 5 bulan dengan
durasi dua jam delapan menit.
Di Amerika, ada banyak film tentang
wartawan. Beberapa yang pernah saya tonton, All
the President Man. Tentang skandal watergate
yang memaksa Ricahrd Nixon meletakkan jabatan sebagai Presiden Amerika. Kejahatan
ini terbongkar berkat investigasi dua wartawan The Washington Post, Bob
Woodward dan Carl Bernstein.
Ulasan admin di website Pantau menjelaskan, karya dua wartawan tadi menduduki
peringkat tiga dari 100 karya jurnalistik di Amerika pada abad 20. Peringakat atas
ada Hiroshima karya Jhon Hersey. Dibawahnya,
menyusul karya Rachel Carson tentang Silent
Spring.
Ada juga film tentang wartawan yang memuat
laporan bohong. Mengandai-andai dan membuat skenario sendiri seolah peristiwa itu
benar-benar terjadi. Ia Sthepen Glass, wartawan majalah New Republic. Filmnya dikasih judul Shattered Glass.
Di Indonesia mesti bikin film serupa. Bisa tentang
pemberedelan media pada masa orde baru, penangkapan dan penculikan wartawan,
atau tentang wartawan yang suka terima amplop alias duit tiap kali liputan.
Saya kira, film seperti itu dapat mendidik calon
jurnalis, tentunya untuk jurnalisme Indonesia lebih baik kelak.*
0 komentar:
Posting Komentar