Selasa, 23 Agustus 2016

Bung Karno, di Buku dan Televisi


Gambar ini diambil dari www.tokopedia.com



Tiga hari lalu, aku menceritakan satu peristiwa kecil pada Fadli. Peristiwa itu terjadi secara kebetulan. Setelah menceritakan peristiwa singkat itu, Fadli meminta ku untuk menulisnya.

Aku baru sempat menulis, sore menjelang magrib ini. Selasa 23 Agustus 2016.

Ceritanya begini. Satu hari jelang hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 71, stasiun televis SCTV menayangkan cerita dengan latar belakang kemerdekaan. Siang itu, giliran Film Jenderal Sudirman yang tayang.

Aku menonton dengan posisi berbaring dan memegang buku Bung Karno karya Cindy Adams. Jika jeda iklan, aku melanjutkan bacaan. Jika film kembali tayang, aku menghentikan sejenak bacaan. Begitu terus sampai film selesai.


Ada satu momen yang membuat aku bertanya. Ketika film tersebut menayangkan adegan Sudirman mengajak Sukarno untuk begerilya di hutan, terjadi percakapan singkat antara mereka. Lebih kurang kalimatnya begini.

Sudirman: “Saya berencana meninggalkan kota dan masuk ke hutan. Saya harap Bung Karno ikut dengan saya.”

Sukarno: “Medan pertempuran itu adalah tempat mu dan prajurit mu. Saya tidak mungkin meninggalkan kota ini. saya tidak takut mati.”

Setelah ajakan Sudirman ditolak oleh Sukarno, kembali jeda iklan.

Aku menlanjutkan bacaan kembali. Tak terkira, bagian yang aku baca kali ini persis seperti film yang barusan tayang. Percakapannya tidak jauh berbeda. Saya sempat termenung dan berpikir, apa maksud dari peristiwa yang kebetulan ini?

Entahlah. Aku terus saja melanjutkan bacaan.

Sedikit mengulas peristiwa di atas. Keputusan Sudirman untuk begerilya di hutan Jawa bersama prajuritnya disebabkan Belanda menyerang Yogyakarta. Saat itu, untuk sementara, Ibu Kota Republik Indonesia dipindahkan ke daerah kekuasaan Sultan Hamengkubuwono. Penyerangan ini bertepatan peringatan Natal bagi umat Kristiani, Desember 1948.

Belanda berhasil mengepung dan menduduki Yogyakarta. Sukarno lalu diasingkan ke Brastagi bersama Agus Salim dan Syahrir. Tak lama kemudian, mereka diangkut lagi ke Parapat. Di sini, terjadi perdebatan kecil antar Sukarno dan  Syahrir.

Akhir Januari 1949, Sukarno dan Agus Salim dipindahkan ke Pulau Bangka. Di sini mereka dikumpulkan dengan tokoh lainnya. Ada Hatta, Ali Sastroamijoyo dan Laksamana Udara Suryadarma. Juga beberapa tokoh lainnya.

Di pulau ini pula disepakati perjanjian Rum-Royen. Muhammad Rum mewakili Indonesia dan Van Royen mewakili Belanda. Belanda setuju mengembalikan para Pemimpin Republik dan Indonesia menyetujui penarikan pasukan gerilya.

Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia setelahnya dibahas dalam satu pertemuan yang dinamai Konferensi Meja Bundar, di Den Haag Belanda. Hatta mewakili Indonesia.* Suryadi

0 komentar:

Posting Komentar