Minggu, 31 Juli 2016

Pagi-pagi ke Bangkinang


Oleh Suryadi
Mencari orang yang tahu sejarah dibangunnya Masjid Kubro. Saya dan Agus berangkat ke Bangkinang pagi-pagi.
 
PUKUL 06.00, saya terbangun dari tidur, lalu bergegas ke kamar mandi lantas berwudhu untuk menunaikan shalat subuh. Setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat saya langsung mandi. Pagi itu saya terlambat melaksanakan shalat.


Usai membersihkan diri dan berpakaian, saya menghidupkan sepeda motor dan menuju Jalan HR Subrantas. Hawa dingin terasa di kulit selama perjalanan. Saya tiba depan kos Wilingga dan menghubungi Agus menggunakan telepon seluler. Ia masih dalam perjalanan.

Pagi itu, Jumat 29 Juli 2016, kami pergi ke Bangkinang untuk mewawancara beberapa narasumber. Tujuan utamanya Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Kampar. Agus, Reporter Bahana Mahasiswa Unri hendak menulis tentang Masjid Kubro di Koto Perambahan. Masjid ini dibangun pada masa Kerajaan Kampar.

Saya dan Agus shalat Jumat di Masjid Kubro, Koto Perambahan

Pukul 8 lewat beberapa menit kami tiba di Bangkinang. Agus mengajak sarapan di persimpangan lampu merah yang mengarah kantor Bupati. Kami pesan lontong pecal. Bakwan ikut menambah porsi sarapan.

Tak lama, kami langsung mendatangi alamat kantor yang dituju. Beruntung sekali, setelah mengisi buku tamu kami langsung diterima oleh Syamsul Bahri, Kepala Disparpora. Wawancara berlangsung setengah jam. Tak banyak informasi yang kami dapatkan mengenai Masjid Kubro. “Lain kali sebelum datang beritahu dulu biar saya persiapkan semuanya,” kata Syamsul Bahri.

Diakhir pertemuan, Syamsul Bahri memberikan buku tentang sejarah Kampar. Kami juga memberikan buku Melongok 99 Kisah Mengabadi—kumpulan tulisan kilas balik di Koran dan Majalah Bahana Mahasiswa. Untuk menambah informasi, Syamsul Bahri memerintahkan kami menjumpai A. Latif Hasyim. Ia dikenal sebagai sejarawan di Kampar yang ikut menulis buku yang baru saja kami terima. Juga sebagai guru di sekolah menengah atas.

Kediaman A. Latih Hasyim di Jalan Kartini, tak jauh dari kantor Disparpora. Depan rumahnya ada kolam ikan. Ia sedang melukis di teras rumah saat kami tiba. Setelah berjabat tangan dan memperkenalkan diri, kami diajak masuk ke ruang tamu. Tempe dan pisang goreng serta secangkir kopi menemani obrolan kami.

Latif—sapaan A. Latih Hasyim—lebih banyak bercerita soal sejarah Kerajaan Kampar. Hanya beberapa kali menyinggung soal Masjid Kubro. Apa yang diceritakan tertuang dalam buku yang kami terima dari Syamsul Bahri. Selain menulis buku tersebut, Latif juga mengumpulkan beberapa benda bersejarah.

Rumahnya ia jadikan museum yang telah terdaftar dengan nama, A. Latif Malay Museum. Kami diberi kesempatan untuk melihat beberapa koleksi benda sejarah. Ia menyimpan patung-patung Hindu Budha seperti: Sidharta Gautama, Dewi Sinta, Ganesha dan Saraswati. Ada juga peninggalan Kerajaan Kampar, seperti: Dulang kaki tiga, tempat menyajikan makanan untuk tamu. Ada juga tongkat kerajaan yang dipakai pada saat sidang dalam istana, tombak dan lelo atau meriam.

Di lantai dua rumah Latif dibuat khusus tempat  benda-benda sejarah lainnya, namun kami tak dikenankan untuk meninjau ke atas. “Di atas kotor,” katanya. 

Kami diajak ke satu kamar yang isinya penuh dengan pernak-pernik orang dahulu. Piring, guci, mangkok dan banyak lain. Latif menunjukkan kami dua  keris. Keris dengan gambar naga, adalah keris yang dulu dipakai oleh Prabu Siliwangi. “Dia tak tajam dan bukan untuk menikam. Tapi dulu bisa keluar cahaya dari ujung keris itu.” jelas Latif. 

Satu lagi keris Kerajaan Banten. Kami diminta Latif untuk berhati-hati ketika membuka keris tersebut dari sarungnya. “Awas jatuh,” ujar Latif.

WAKTU menunjukkan hampIr pukul 12.00. Kami izin pamit dari rumah Latif karena hendak shalat Jumat di Masjid Kubro. Sebelum mengakhiri obrolan, Latif memberikan kami nomor kontak Datuk Maleno. Ia dianggap Latif memahami soal adat istiadat Kerajaan Kampar.

Kami tiba di Masjid Kubro saat Khatib naik mimbar. Masjid ini belum berubah bentuk dari aslinya. Namun beberapa material bangunan sudah diganti dengan beton. Pada masa Kerajaan Kampar, tiap jamaah yang datang dari luar kampung untuk shalat Jumat di masjid ini disediakan makanan oleh pengurus masjid. Jamaah sekitar masjid diminta untuk menyediakannya.

Sekarang, kebiasaan tersebut tak ditemukan lagi. Suasana shalat berlalu seperti biasanya. Setelah kami melaksanakan shalat dan mendeskripsikan tiap bagian masjid, Darun Nafis seorang Gharim dan Hasim Imam masjid menghampiri kami. Dari mereka kami mendapatkan sedikit informasi terkait pembangunan dan renovasi masjid.

Perjalanan ke Bangkinang hari itu berakhir di Masjid Kubro. Kami belum sempat mendatangi Datuk Maleno. “Lain waktu kita ke sana. Saya penasaran dengan Datuk tu,” ujar Agus.#

0 komentar:

Posting Komentar