Oleh Suryadi
Mencari orang yang tahu sejarah dibangunnya Masjid Kubro. Saya dan Agus berangkat ke Bangkinang pagi-pagi.
PUKUL 06.00, saya
terbangun dari tidur, lalu bergegas ke kamar mandi lantas berwudhu untuk
menunaikan shalat subuh. Setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat saya
langsung mandi. Pagi itu saya terlambat melaksanakan shalat.
Usai membersihkan diri dan berpakaian, saya
menghidupkan sepeda motor dan menuju Jalan HR Subrantas. Hawa dingin terasa di kulit
selama perjalanan. Saya tiba depan kos Wilingga dan menghubungi Agus
menggunakan telepon seluler. Ia masih dalam perjalanan.
Pagi itu, Jumat 29 Juli 2016, kami pergi ke
Bangkinang untuk mewawancara beberapa narasumber. Tujuan utamanya Kepala Dinas
Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Kampar. Agus, Reporter
Bahana Mahasiswa Unri hendak menulis tentang Masjid Kubro di Koto Perambahan.
Masjid ini dibangun pada masa Kerajaan Kampar.
Pukul 8 lewat beberapa menit kami tiba di
Bangkinang. Agus mengajak sarapan di persimpangan lampu merah yang mengarah
kantor Bupati. Kami pesan lontong pecal. Bakwan ikut menambah porsi sarapan.
Tak lama, kami langsung mendatangi alamat
kantor yang dituju. Beruntung sekali, setelah mengisi buku tamu kami langsung
diterima oleh Syamsul Bahri, Kepala Disparpora. Wawancara berlangsung setengah
jam. Tak banyak informasi yang kami dapatkan mengenai Masjid Kubro. “Lain kali
sebelum datang beritahu dulu biar saya persiapkan semuanya,” kata Syamsul
Bahri.
Diakhir pertemuan, Syamsul Bahri memberikan
buku tentang sejarah Kampar. Kami juga memberikan buku Melongok 99 Kisah Mengabadi—kumpulan tulisan kilas balik di Koran
dan Majalah Bahana Mahasiswa. Untuk menambah informasi, Syamsul Bahri
memerintahkan kami menjumpai A. Latif Hasyim. Ia dikenal sebagai sejarawan di
Kampar yang ikut menulis buku yang baru saja kami terima. Juga sebagai guru di
sekolah menengah atas.
Kediaman A. Latih Hasyim di Jalan Kartini,
tak jauh dari kantor Disparpora. Depan rumahnya ada kolam ikan. Ia sedang
melukis di teras rumah saat kami tiba. Setelah berjabat tangan dan
memperkenalkan diri, kami diajak masuk ke ruang tamu. Tempe dan pisang goreng serta
secangkir kopi menemani obrolan kami.
Latif—sapaan A. Latih Hasyim—lebih banyak
bercerita soal sejarah Kerajaan Kampar. Hanya beberapa kali menyinggung soal
Masjid Kubro. Apa yang diceritakan tertuang dalam buku yang kami terima dari
Syamsul Bahri. Selain menulis buku tersebut, Latif juga mengumpulkan beberapa
benda bersejarah.
Rumahnya ia jadikan museum yang telah
terdaftar dengan nama, A. Latif Malay
Museum. Kami diberi kesempatan untuk melihat beberapa koleksi benda
sejarah. Ia menyimpan patung-patung Hindu Budha seperti: Sidharta Gautama, Dewi
Sinta, Ganesha dan Saraswati. Ada juga peninggalan Kerajaan Kampar, seperti:
Dulang kaki tiga, tempat menyajikan makanan untuk tamu. Ada juga tongkat
kerajaan yang dipakai pada saat sidang dalam istana, tombak dan lelo atau
meriam.
Di lantai dua rumah Latif dibuat khusus
tempat benda-benda sejarah lainnya,
namun kami tak dikenankan untuk meninjau ke atas. “Di atas kotor,” katanya.
Kami diajak ke satu kamar yang isinya penuh
dengan pernak-pernik orang dahulu. Piring, guci, mangkok dan banyak lain. Latif
menunjukkan kami dua keris. Keris dengan
gambar naga, adalah keris yang dulu dipakai oleh Prabu Siliwangi. “Dia tak
tajam dan bukan untuk menikam. Tapi dulu bisa keluar cahaya dari ujung keris
itu.” jelas Latif.
Satu lagi keris Kerajaan Banten. Kami
diminta Latif untuk berhati-hati ketika membuka keris tersebut dari sarungnya.
“Awas jatuh,” ujar Latif.
WAKTU menunjukkan hampIr
pukul 12.00. Kami izin pamit dari rumah Latif karena hendak shalat Jumat di
Masjid Kubro. Sebelum mengakhiri obrolan, Latif memberikan kami nomor kontak
Datuk Maleno. Ia dianggap Latif memahami soal adat istiadat Kerajaan Kampar.
Kami tiba di Masjid Kubro saat Khatib naik
mimbar. Masjid ini belum berubah bentuk dari aslinya. Namun beberapa material
bangunan sudah diganti dengan beton. Pada masa Kerajaan Kampar, tiap jamaah
yang datang dari luar kampung untuk shalat Jumat di masjid ini disediakan
makanan oleh pengurus masjid. Jamaah sekitar masjid diminta untuk
menyediakannya.
Sekarang, kebiasaan tersebut tak ditemukan
lagi. Suasana shalat berlalu seperti biasanya. Setelah kami melaksanakan shalat
dan mendeskripsikan tiap bagian masjid, Darun Nafis seorang Gharim dan Hasim
Imam masjid menghampiri kami. Dari mereka kami mendapatkan sedikit informasi
terkait pembangunan dan renovasi masjid.
Perjalanan ke Bangkinang hari itu berakhir
di Masjid Kubro. Kami belum sempat mendatangi Datuk Maleno. “Lain waktu kita ke
sana. Saya penasaran dengan Datuk tu,” ujar Agus.#
0 komentar:
Posting Komentar