Tamu undangan satu persatu, ada yang berkelompok
serentak beranjak dari tempat duduk meninggalkan ruang acara. Sebelum menuruni
tangga, mereka ada yang berpose bergaya dengan bebas depan kamera handphone
mereka. Para tamu mengabadikan diri dengan pajangan yang dipamer oleh panitia
di teras gedung tempat acara.
Semua yang ada pada saat acara bernuansa Melayu.
Tradisi, makanan, tulisan mengenai tokoh Melayu, alat-alat tradisi pengobatan
dalam Melayu dipamer pada sisi-sisi teras Balai Adat Melayu, Lembaga Adat
Melayu Riau. Ini semua untuk mengingatkan kembali tamu yang hadir terutama yang
bersuku Melayu, tentang simbol-simbol yang jadi ciri masyarakat etnis ini.
Usai sudah tamu-tamu yang hadir menyaksikan ceremony
malam puncak tiga puluh tahun Bahana Mahasiswa.
Dalam ruangan hanya sibuk dengan satu persoalan, usai
tamu-tamu meninggalkan tempat acara. Pengurus Bahana Mahasiswa harus mendengarkan
nasihat-nasihat dari tetuanya.
Salam
hormat untuk tetua Bahana Mahasiswa Universitas Riau...
Di penghujung acara, malam peringatan ulang tahun
Bahana Mahasiswa Universitas Riau, pengurus Bahana duduk di depan tetua yang
hadir. Ini malam terasa dalam suasana keluarga besar yang sudah lama tak
bersue. Pasalnya, diusia yang memasuki tiga dekade ini tetua bahana semakin
banyak bertebaran, sibok dengan aktifitas masing-masing. Meski tak semua hadir
diacara yang telah direncanakan satu tahun yang lalu ini, penghormatan akan
tetap diberikan kepada seluruh tetua yang telah melekatkan sejarah pada pondok
kecil yang penuh karya ini—Bahana Mahasiswa Universitas Riau.
Fakhrunnas MA Jabbar, sosok pertama yang memulai
menghidupkan Bahana, T. Zulmizan Farinja Assegaf, sosok selanjutnya yang
mencatatkan nama di kop Bahana serta Lovina, Pemimpin Umum Bahana diusia tiga
puluh tahun. Mereka bertiga duduk di depan tetua-tetua yang turut hadir, Deni
Kurnia, Azmi, Ahmad Jamaan, Darul Huda, Misbah Ibrahim, Aldi Roza, Fadil Elang,
Yuslenita Muda, Fakhrurradzi dan Antoni. Pengurus Bahana diusia ini juga
menggabungkan diri dengan tetua-tetua ini.
Satu persatu tetua-tetua ini bicara. Berbagai kritik
dihaturkan pada pengurus Bahana sekarang. Emosi mendalam, yang telah lama
terpendam di hati akhirnya tumpah malam itu. Kritik campur emosi ini tak serta
merta terucap secara spontan. Kata demi kata yang dikeluarkkan merupakan
segumpalan kalimat yang memang diperuntukkan untuk Bahana diusia sekarang.
Mengapa tetua ini ngomong seperti ini dikarenakan
mereka menganggap ada yang berubah dengan gaya Bahana sekarang. Hal yang dianggap
berubah dari Bahana itu, mengenai pemberitaan Bahana yang terkesan
kekiri-kirian, liberal, membela kaum minoritas, Ahmadiyah misalnya. Alumni yang
terbawa dalam suasana garis Islam keras menentang ini. sebab Ahmadiyah
merupakan isu yang sensitif di tengah-tengah umat Islam. Sebagai kelompok yang
dianggap mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi menyebabkan Ahmadiyah dikecam
sebagai kelompok yang menodai Islam.
Pandangan ini yang membedakan kru Bahana sekarang
dengan kelompok Islam yang mengkecam Ahmadiyah, termasuk Alumni yang terbawa
arus pemikiran seperti ini. Bahana Mahasiswa sebagai pers yang berfungsi
mengkontrol proses kehidupan duniawi ini, mencoba mengambil posisi yang baik
dalam hal pemberitaan. Langkah ini merupakan acuan dalam hal kerja jurnalitik.
Bahana mencoba tidak larut dalam hal perdebatan
teologi. Sebab dari proses riset lewat literatur, diskusi dan pengamatan di
media massa persoalan konflik agama ini disebabkan oleh perbedaan tafsir yang
muncul dikalangan ulama muslim di dunia. Jika Bahana larut dalam perdebatan
ini, akan terjadi bias dalam hal pemberitaan. Yang terjadi adalah, Bahana akan
ikut mengkecam kelompok Ahmadiyah sebagai kelompok keagamaan yang sesat.
Sisi penting yang diangkat adalah, bagaimana kekerasaan
terjadi pada kelompok Ahmadiyah. Kekerasaan tentu merupakan suatu tindakan yang
menciderai demokrasi. Karena konsep ini memegang teguh perbedaan sebagai simbol
kebebasan dalam segala hal termasuk dalam berkeyakinan. Singkat cerita, untuk
hal ini saya berpesan pada Alumni, pahamilah benar-benar suatu persoalan,
jangan ikut terseret oleh arus pemikiran yang bias tanpa mengedepankan sifat
toleransi.
Hal lain yang jadi kekacauan dalam hati Alumni yang tak
menentu ini adalah, persoalan siapa yang mengajar Bahana soal jurnalisme selama
ini. Bahana dituduh telah dimasuki “arwah jahat.” Nama Andreas Harsono
disebut-sebut sebagai orang yang telah memutar otak anak-anak Bahana sekarang.
Untuk hal ini saya pribadi akan menjawab secara singkat saja. Sejauh mana
alumni ini mengenal Andreaas Harsono? Sudahkah pernah berjumpa? Atas dasar apa
menuduh Andreas seperti itu? Ini tak ada dipaparkan sama sekali ketika
mendeskriditkan Andreas termasuk anak-anak Bahana malam itu.
Hampir semua alumni angkat bicara malam itu. Dari
sekian yang bicara, semua mendeskreditkan anak-anak Bahana yang sedang menimba
ilmu jurnalistik di pers mahasiswa Universitas Riau. Kritikan beragam, mulai
dari hal yang mendasar sekali di Bahana sampai pada hal yang tak substansi
lagi. Ini sangat memperkeruh keadaan malam itu.
Dua orang kru Bahana diberi kesempatan untuk bicara.
Ini sudah bisa ditebak, jawaban yang coba diberikan oleh kru bahana ini sudah
pasti dianggapa sebuah perlawanan kepada alumni. Tetua-tetua ini tentulah
merasa direndahkan apalagi merasa tak dihargai. Penjelasan yang coba diberikan
oleh dua orang kru Bahana, Lovina dan Suryadi dianggap suatu tindakan mengajari
mereka. Saya sendiri menganggap mereka memang pantas diajarkan terkait apa yang
mereka ributkan padahal mereka tak tahu banyaak tenatng itu. Kalimat perintah
yang ingin aku sampaikan pada mereka yang tua-tua itu adalah, jangan berdialog
dengan emosi.
Akhir dari dialog malam itu adalah, anak-anak Bahana
diminta untuk mengakui kesalahan dan harus bertaubat atas apa yang dilakukan
selama ini. Saya pikir ini sensitif sekali, mereka seperti Tuhan yang maha
mengampuni. Mereka bukanlah dewa yang selalu benar. Ini bukan pengadilan Tuhan.
Cerita
ini ditulis usai memperingati usia Bahana yang ke tiga puluh. Di Balai Adat
Melayu Lembaga Adat melayu Riau (LAM) Riau, tempat ceremony berlangsung. Tulisan ini ditulis sedikit demi
sedikti, dari Pekanbaru sampai saya berada di Panipahan kampung kelahiran saya.
Panipahan, 23 Juli
2013
Di teras rumah,
marah dengan alumni bahana.
0 komentar:
Posting Komentar