Kamis, 27 Februari 2014

Keluarga


Oleh Suryadi



“Sampai dah...?”

“Koncang angin tadin?”
Itu suara Amnah. Amnah menanyakan anaknya yang baru tiba dari Pekanbaru. Adi yang baru menginjakkan kaki di teras rumah langsung menyalami ibu nya. Amnah duduk di kursi plastik sambil jaga kedai yang ditinggal Rita sedang tidur siang. Kedai ini dimodali Rita, uang dari hasil pekerjaannya sebagai guru. Kalau siang Amnah kadang yang jaga kedai atau kadang, Udin, Nining, adik Rita.


Amnah sangat perhatian pada anank-anaknya. Adi yang sudah lama tak pulang, rambutnya panjang menutup sebagian daun telinga, rambut depan hampir menutup mata, bahkan alis mata sudah tertutup rambutnya. Adi punya rambut yang lurus ke bawah dan tebal. Kepalanya pun terlihat besar karena rambutnya yang tebal itu.

Amnah mulai memprotes rambut Adi. Tak hanya itu, kurusnya badan Adi setelah meninggalkan rumah lima bulan menjadi kecemasan bagi Amnah. Adi dulunya lumayan gemuk, pipinya tembam, kini malah sebaliknya. Amnah terus memprotes Adi yang duduk di sebelah Rahman, anak Amnah yang nomor tiga. Rahman yang jemput Adi di pelabuhan. “Ngapain aja di sana sampai tak sempat makan begitu?,”

“Makannyo Mak.”

“Iyo.. tapi tak waktunyo, telat makan tous.”

Amnah marah sekali. Memang begini Amnah terhadap anak-anaknya, apalagi kalau sampai tak ingat makan. Sampai di kampung ini Adi harus menuruti semua apa yang diperintah ibunya. Terutama harus memangkas rambut agar lebih rapi. Tidak boleh memangkas rambut pada hari lahir, Adi lahir hari selasa. Konon sudah jadi tradisi pantangan memangkas rambut hari lahir bagi masyarakat Panipahan. Juga memotong kuku.

Sampai sekarang Adi tak tahu kenapa dilarang melakukan hal itu di hari kelahiran. Kalau ditanya ke ibu, hanya di jawab, pokoknya tidak boleh.
Usai Khatam Quran Pernikahan Rita, Anak ke Empat dari M Nur Amnah

Di Pekanbaru Adi selain kuliah juga sibuk dengan aktifitas lain. Aktif diorganisasi kampus ada juga yang luar kampus. Terkadang jarang pulang ke kos. Saat masih semester satu dan dua masih tinggal di rumah tante. Setahun kuliah tantenya pindah rumah daerah Kubang, daerah ini masuk wilayah Kabupaten Kampar. Perumahan BTN yang dibangun jauh dari pusat keramaian, becek jika hujan, belum banyak yang menghuni. Mungkin masih berjuang keras meyakinkan orang Bank agar dapat kredit rumah.

Om Jul, suami tante Nizar begitu waktu mendaftar kredit rumah dengan Bank BTN. Bolak balik dari bank ke rumah, kadang ke kantor pos. Membeli materai cukup banyak. Adi pernah di suruh membeli materai yang banyak, menghabiskan uang 200 ribu.

Parahnya lagi, orang bank mendatangi kantor tempat kerja Om Jul, mewawancarai orang-orang terdekat Om Jul di kantor, menanyakan gaji Om Jul. Mungkin ini bermaksud menilai kesanggupan ekonomi kreditur untuk mengkredit rumah. Om Jul sesekali kadang berkata kesal. “Sial orang bank tu.”

Semester tiga Adi mulai cari kos yang lebih dekat dengan kampus. Sempat juga malam-malam membantu mengangkat peralatan rumahan menggunakan truk bersama Om Jul. Adi duduk dalam badan truk bersama barang-barang rumahan, debu masuk ke dalam, jalan rusak banyak lubang, dalam badan truk Adi seperti goyang dangdut. Di belakang truk ada orang tua dan abang saudara paling tua yang baru tiba di Pekanbaru. Mereka terpakasa ikut ke rumah baru tante Adi.

Hanya beberapa hari sempat tinggal di rumah baru tantenya, Adi dapat kos di seberang kampus, agak jauh ke dalam jalan Taman Karya. Terkadang harus berjalan kilometer jauh nya dari kampus ke kos. Dari gerbang masuk ke dalam kampus saja berjarak hampir satu kilometer. Sebelum dapat kos Adi sempat tidur di mesjid, kehujanan karena pulang kuliah agak malam. Tak ada angkutan menuju rumah tantenya.

Tinggal di kos bersama kawan-kawan menambah kesibukan. Selesai kuliah harus rapat oraganisasi, mengurus acara yang akan dibuat. Tak pernah pulang kos, paling hanya cuci pakaian dan melepas lelah sesaat. “Sanak tak ponah nengok kami di rumah ni,” cela Iqbal, teman se kos Adi.

Karena sibuk mengurus organisasi terkadang tidak ada waktu pulang kampung bagi Adi, bahkan libur semester hanya tetap bertahan di Pekanbaru. Tidak seperti kawan-kawan yang sama kuliah di Pekanbaru, pulang kampung jika libur semester tiba. Adi hanya akan pulang jika bulan ramadhan dan lebaran fitri.

Tapi lebaran semster ganjil kali ini Adi harus pulang karena di rumah akan dilangsungkan pernikahan Rita, kakak perempuan kedua. Rita sudah berumur 26 tahun. Rita pernah mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Babul Ulum, Mail sebagai Kepala Sekolah. Sebulan saat akan dilangsungkan pernikahan, Rita memutuskan berhenti mengajar di sekolah. Alasannya karena terjadi ketidakberesan administrasi di sekolah oleh kepala sekolah yang ingin mencari keuntungan pribadi.

“Aku bonti ngaja dah.”

“Aliang?.”

“Duik gaji guru dipotongnyo, alasannyo untuk membaya utang.”

“Itu utang dio, kenapo guru-guru lo yang dilibatkannyo.”

“Kalau kau mau laporkan ajo. Aku kasi nomor orang Ombudsman.”

Begitu Rita dan Adi berbincang lewat telepon seluler. Kekesalan terlihat dari cara Rita bercerita pada Adiknya. Sekolah tempat ia mengajar hampir ditutup oleh dinas pendidikan karena murid disekolah tidak memadai alias tidak memenuhi kuantitas yang ditelah ditentukan oleh dinas pendidikan. Seperti sekolah lain di daerah Tanjung Rukam Darat yang ditutup juga karena muridnya tidak memadai. Berkat perjuangan guru di sekolah Babul Ulum dan murid-murid yang sekolahnya ditutup dimasukkan di sekolah Babul Ulum ini, sekolah ini tak jadi ditutup.

Rita sering bercerita, sudah lama ia memendam unek-unek disekolah tersebut. Mulai dari beberapa guru yang sok hebat dan tidak pernah ambil tau dengan nasib sekolah, soal gaji selalu mengeluh. Akhirnya Rita memutuskan untuk behenti dan keluar dari sekolah. Empat orang temannya juga ikut keputusan yang dibuat Rita termasuk Rinal calon suaminya. Rinal juga guru di sekolah yang sama dan memiliki peran penting di sekolah, sebagai wakil kepala sekolah.

Rita tidak menganggur. Waktunya dihabiskan mengurusi kedai yang dibagnun dua tahun yang lalu. Namun Amnah risau dengan keputusan yang diambil oleh Rita. Amnah tidak ingin anaknya berhenti menjadi guru. Amnah memang memiliki sifat prihatin, pembawaannya selalu sedih. Amnah juga seorang ibu yang keras kepala. Semua harus sesuai dengan keinginannya, apa yang disuruh harus dibuat dan harus dilakukan kapan ia mau.

Amnah seorang ibu yang tidak terlalu tergiur dengan kekayaan dan kemewahan. Bukan tidak mampu membeli tapi tidak mau terlalu bermegah-megahan menggunakan kemewahan yang dimilki. Padahal ia memilikinya. Di rumah Amnah memilki sepeda motor dan tak tak mau naik sepeda motor kalau berpergian. Sanggup menempuh perjalan sejauh apa pun. “Ini sudah terbiasa, orang-orang dulu sebelum ada sepeda motor juga jalan kaki kalau mau ke mana-mana,” Amnah menepis. Begitu lah Amnah dengan keras kepalanya.

Padahal anak-anaknya kadang merasa malu dengan orang lain.

“Kenapa dibiarkan ibunya jalan kaki, padahal anaknya punya motor,” Rahman berkata dalam hati. Begitulah Amnah. Beda dengan M Nur, suami yang tak mau marah. Kalau marah pun paling tak meledak yang terlalu, mengeluarkan kata-kata yang menegaskan kemarahannya saja. Suami istri ini pun kadang sering ribut mulut, saling manyalahkan satu sama lain, protes atas perilaku masing-masing.

Amnah kadang yang sering buat suaminya marah. Amnah tak pernah mengerti dengan kondisi suaminya yang tak terlalu sehat. M Mnur sudah sepuluh tahun tak bisa bekerja karena sakit struk yang dideritanya. Bahkan dokter mendiagnosa M Nur juga mengalami sakit jantung, asam urat dan tekanan darah tinggi. Karena sakit ini Amnah selalu marah-marah dengan suaminya. Entah kenapa Amnah bersikap seperti itu. Terlepas mulutnya terucap, Amnah muak mengobati suaminya yang juga tak kunjung-kunjung sembuh. Menyumpah, mengutuk penyakit.

“Celako bona penyakik ko.”

“Kalu aku sehat tak giko susah aku buek tuan ndak.”

M Nur menjawab dengan kesal. Amnah tetap tak mempedulikan. Menyindir suaminya, kadang tak mau memasak. M Nur ada pantangan dalam memakan sesuatu. Tak boleh makan daun ubi, nangka. Yang beginian juga bikin Amnah cerewet. Tak mempedulikan makanan yang baik untuk suaminya. Tapi Amnah tidak selalu begitu, perhatian selalu ditunjukkan jika suaminya kambuh lagi. Tapi cukup juga dengan segala omelannya.

Rahman terkadang sering marah dengan sikap ibunya. Selalu saja apa yang dikerjakan dibarenagi dengan keluhan. Pergi jauh berjalan kaki, pulangnya mengeluh.

“Kalian tak tahu capek orang.” “Aku sejauh apa pun akan tempuh jalan tu, tak aku banggakan kakayaan yang aku punya, biarlah aku gerakkan kaki ni.” Begitu lah Amnah ngomel tak karuan padahal dia sendiri yang minta melakukan itu sendiri. Tapi dia pula yang mengeluh, diantar anaknya pakai motor tak mau. Bekerja pun begitu, semuanya harus sesuai dengan keinginan dia.

Di suruh memperbaiki dapur yang rusak kayu sudah lapuk harus sesuai dengan keinginan dia. Papannya harus begini, begitu. Jangan di sini, ini ditukar di situ. Orang pun malas mau melakukan pekerjaan itu. Ini juga yang buat bertengkar dengan suaminya. Rahman pun kadang memilih diam dari pada bicara. Karena kalau bicara percuma, Amnah tak pernah mau mengalah kalau bicara, ada saja yang dijawabnya. Omongan orang tak pernah di dengar.

Adi dan Rita pun begitu. Lebih memilih diam dari pada bicara memprotes ibunya. Karena kalau bicara nanti malahan tambah panjang omelannya bahkan dibilang durhaka.

Serba salah jadinya anak-anak Amnah di rumah. Kasian dengan ibu kadang kesal juga dengan ibu, dengan omongannya, omelannya dan keluhannya tak kunjung sudah-sudah. Padahal tak perlu ada yang dikeluhkan, anak-anak semuanya sukes dan memperoleh pekerjaan yang layak dan bisa membantu orang tuanya. Usman bekerja di PT Suka Fajar sebagai Supervisor, Mira Pegawai Negeri Sipil di sekolah dasar, Rahman honorer di Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Pasir Limau Kapas. Rita meski berhenti menjadi seorang guru kini memiliki usaha kedai, Adi mahasiswa, Timah bekerja sebagai kasir di toko bangunan dan dua lagi masih sekolah, Udin dan Nining.
 

0 komentar:

Posting Komentar