Oleh Suryadi
“Sampai dah...?”
“Koncang angin tadin?”
Itu suara Amnah. Amnah menanyakan anaknya yang baru
tiba dari Pekanbaru. Adi yang baru menginjakkan kaki di teras rumah langsung
menyalami ibu nya. Amnah duduk di kursi plastik sambil jaga kedai yang
ditinggal Rita sedang tidur siang. Kedai ini dimodali Rita, uang dari hasil
pekerjaannya sebagai guru. Kalau siang Amnah kadang yang jaga kedai atau
kadang, Udin, Nining, adik Rita.
Amnah sangat perhatian pada anank-anaknya. Adi yang
sudah lama tak pulang, rambutnya panjang menutup sebagian daun telinga, rambut
depan hampir menutup mata, bahkan alis mata sudah tertutup rambutnya. Adi punya
rambut yang lurus ke bawah dan tebal. Kepalanya pun terlihat besar karena
rambutnya yang tebal itu.
Amnah mulai memprotes rambut Adi. Tak hanya itu,
kurusnya badan Adi setelah meninggalkan rumah lima bulan menjadi kecemasan bagi
Amnah. Adi dulunya lumayan gemuk, pipinya tembam, kini malah sebaliknya. Amnah
terus memprotes Adi yang duduk di sebelah Rahman, anak Amnah yang nomor tiga.
Rahman yang jemput Adi di pelabuhan. “Ngapain aja di sana sampai tak sempat
makan begitu?,”
“Makannyo Mak.”
“Iyo.. tapi tak waktunyo, telat makan tous.”
Amnah marah sekali. Memang begini Amnah terhadap
anak-anaknya, apalagi kalau sampai tak ingat makan. Sampai di kampung ini Adi
harus menuruti semua apa yang diperintah ibunya. Terutama harus memangkas
rambut agar lebih rapi. Tidak boleh memangkas rambut pada hari lahir, Adi lahir
hari selasa. Konon sudah jadi tradisi pantangan memangkas rambut hari lahir
bagi masyarakat Panipahan. Juga memotong kuku.
Sampai sekarang Adi tak tahu kenapa dilarang melakukan
hal itu di hari kelahiran. Kalau ditanya ke ibu, hanya di jawab, pokoknya tidak
boleh.
Usai Khatam Quran Pernikahan Rita, Anak ke Empat dari M Nur Amnah |
Di Pekanbaru Adi selain kuliah juga sibuk dengan
aktifitas lain. Aktif diorganisasi kampus ada juga yang luar kampus. Terkadang
jarang pulang ke kos. Saat masih semester satu dan dua masih tinggal di rumah
tante. Setahun kuliah tantenya pindah rumah daerah Kubang, daerah ini masuk
wilayah Kabupaten Kampar. Perumahan BTN yang dibangun jauh dari pusat
keramaian, becek jika hujan, belum banyak yang menghuni. Mungkin masih berjuang
keras meyakinkan orang Bank agar dapat kredit rumah.
Om Jul, suami tante Nizar begitu waktu mendaftar kredit
rumah dengan Bank BTN. Bolak balik dari bank ke rumah, kadang ke kantor pos.
Membeli materai cukup banyak. Adi pernah di suruh membeli materai yang banyak,
menghabiskan uang 200 ribu.
Parahnya lagi, orang bank mendatangi kantor tempat
kerja Om Jul, mewawancarai orang-orang terdekat Om Jul di kantor, menanyakan
gaji Om Jul. Mungkin ini bermaksud menilai kesanggupan ekonomi kreditur untuk
mengkredit rumah. Om Jul sesekali kadang berkata kesal. “Sial orang bank tu.”
Semester tiga Adi mulai cari kos yang lebih dekat
dengan kampus. Sempat juga malam-malam membantu mengangkat peralatan rumahan
menggunakan truk bersama Om Jul. Adi duduk dalam badan truk bersama
barang-barang rumahan, debu masuk ke dalam, jalan rusak banyak lubang, dalam
badan truk Adi seperti goyang dangdut. Di belakang truk ada orang tua dan abang
saudara paling tua yang baru tiba di Pekanbaru. Mereka terpakasa ikut ke rumah
baru tante Adi.
Hanya beberapa hari sempat tinggal di rumah baru
tantenya, Adi dapat kos di seberang kampus, agak jauh ke dalam jalan Taman Karya.
Terkadang harus berjalan kilometer jauh nya dari kampus ke kos. Dari gerbang
masuk ke dalam kampus saja berjarak hampir satu kilometer. Sebelum dapat kos
Adi sempat tidur di mesjid, kehujanan karena pulang kuliah agak malam. Tak ada
angkutan menuju rumah tantenya.
Tinggal di kos bersama kawan-kawan menambah kesibukan.
Selesai kuliah harus rapat oraganisasi, mengurus acara yang akan dibuat. Tak
pernah pulang kos, paling hanya cuci pakaian dan melepas lelah sesaat. “Sanak
tak ponah nengok kami di rumah ni,” cela Iqbal, teman se kos Adi.
Karena sibuk mengurus organisasi terkadang tidak ada
waktu pulang kampung bagi Adi, bahkan libur semester hanya tetap bertahan di
Pekanbaru. Tidak seperti kawan-kawan yang sama kuliah di Pekanbaru, pulang
kampung jika libur semester tiba. Adi hanya akan pulang jika bulan ramadhan dan
lebaran fitri.
Tapi lebaran semster ganjil kali ini Adi harus pulang
karena di rumah akan dilangsungkan pernikahan Rita, kakak perempuan kedua. Rita
sudah berumur 26 tahun. Rita pernah mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Babul Ulum,
Mail sebagai Kepala Sekolah. Sebulan saat akan dilangsungkan pernikahan, Rita
memutuskan berhenti mengajar di sekolah. Alasannya karena terjadi
ketidakberesan administrasi di sekolah oleh kepala sekolah yang ingin mencari
keuntungan pribadi.
“Aku bonti ngaja dah.”
“Aliang?.”
“Duik gaji guru dipotongnyo, alasannyo untuk membaya
utang.”
“Itu utang dio, kenapo guru-guru lo yang
dilibatkannyo.”
“Kalau kau mau laporkan ajo. Aku kasi nomor orang
Ombudsman.”
Begitu Rita dan Adi berbincang lewat telepon seluler.
Kekesalan terlihat dari cara Rita bercerita pada Adiknya. Sekolah tempat ia
mengajar hampir ditutup oleh dinas pendidikan karena murid disekolah tidak
memadai alias tidak memenuhi kuantitas yang ditelah ditentukan oleh dinas
pendidikan. Seperti sekolah lain di daerah Tanjung Rukam Darat yang ditutup
juga karena muridnya tidak memadai. Berkat perjuangan guru di sekolah Babul
Ulum dan murid-murid yang sekolahnya ditutup dimasukkan di sekolah Babul Ulum
ini, sekolah ini tak jadi ditutup.
Rita sering bercerita, sudah lama ia memendam unek-unek
disekolah tersebut. Mulai dari beberapa guru yang sok hebat dan tidak pernah
ambil tau dengan nasib sekolah, soal gaji selalu mengeluh. Akhirnya Rita
memutuskan untuk behenti dan keluar dari sekolah. Empat orang temannya juga
ikut keputusan yang dibuat Rita termasuk Rinal calon suaminya. Rinal juga guru
di sekolah yang sama dan memiliki peran penting di sekolah, sebagai wakil
kepala sekolah.
Rita tidak menganggur. Waktunya dihabiskan mengurusi
kedai yang dibagnun dua tahun yang lalu. Namun Amnah risau dengan keputusan
yang diambil oleh Rita. Amnah tidak ingin anaknya berhenti menjadi guru. Amnah
memang memiliki sifat prihatin, pembawaannya selalu sedih. Amnah juga seorang
ibu yang keras kepala. Semua harus sesuai dengan keinginannya, apa yang disuruh
harus dibuat dan harus dilakukan kapan ia mau.
Amnah seorang ibu yang tidak terlalu tergiur dengan
kekayaan dan kemewahan. Bukan tidak mampu membeli tapi tidak mau terlalu
bermegah-megahan menggunakan kemewahan yang dimilki. Padahal ia memilikinya. Di
rumah Amnah memilki sepeda motor dan tak tak mau naik sepeda motor kalau
berpergian. Sanggup menempuh perjalan sejauh apa pun. “Ini sudah terbiasa,
orang-orang dulu sebelum ada sepeda motor juga jalan kaki kalau mau ke
mana-mana,” Amnah menepis. Begitu lah Amnah dengan keras kepalanya.
Padahal anak-anaknya kadang merasa malu dengan orang
lain.
“Kenapa dibiarkan ibunya jalan kaki, padahal anaknya
punya motor,” Rahman berkata dalam hati. Begitulah Amnah. Beda dengan M Nur,
suami yang tak mau marah. Kalau marah pun paling tak meledak yang terlalu,
mengeluarkan kata-kata yang menegaskan kemarahannya saja. Suami istri ini pun
kadang sering ribut mulut, saling manyalahkan satu sama lain, protes atas
perilaku masing-masing.
Amnah kadang yang sering buat suaminya marah. Amnah tak
pernah mengerti dengan kondisi suaminya yang tak terlalu sehat. M Mnur sudah
sepuluh tahun tak bisa bekerja karena sakit struk yang dideritanya. Bahkan
dokter mendiagnosa M Nur juga mengalami sakit jantung, asam urat dan tekanan
darah tinggi. Karena sakit ini Amnah selalu marah-marah dengan suaminya. Entah
kenapa Amnah bersikap seperti itu. Terlepas mulutnya terucap, Amnah muak mengobati
suaminya yang juga tak kunjung-kunjung sembuh. Menyumpah, mengutuk penyakit.
“Celako bona penyakik ko.”
“Kalu aku sehat tak giko susah aku buek tuan ndak.”
M Nur menjawab dengan kesal. Amnah tetap tak
mempedulikan. Menyindir suaminya, kadang tak mau memasak. M Nur ada pantangan
dalam memakan sesuatu. Tak boleh makan daun ubi, nangka. Yang beginian juga
bikin Amnah cerewet. Tak mempedulikan makanan yang baik untuk suaminya. Tapi
Amnah tidak selalu begitu, perhatian selalu ditunjukkan jika suaminya kambuh
lagi. Tapi cukup juga dengan segala omelannya.
Rahman terkadang sering marah dengan sikap ibunya.
Selalu saja apa yang dikerjakan dibarenagi dengan keluhan. Pergi jauh berjalan
kaki, pulangnya mengeluh.
“Kalian tak tahu capek orang.” “Aku sejauh apa pun akan
tempuh jalan tu, tak aku banggakan kakayaan yang aku punya, biarlah aku
gerakkan kaki ni.” Begitu lah Amnah ngomel tak karuan padahal dia sendiri yang
minta melakukan itu sendiri. Tapi dia pula yang mengeluh, diantar anaknya pakai
motor tak mau. Bekerja pun begitu, semuanya harus sesuai dengan keinginan dia.
Di suruh memperbaiki dapur yang rusak kayu sudah lapuk
harus sesuai dengan keinginan dia. Papannya harus begini, begitu. Jangan di
sini, ini ditukar di situ. Orang pun malas mau melakukan pekerjaan itu. Ini
juga yang buat bertengkar dengan suaminya. Rahman pun kadang memilih diam dari
pada bicara. Karena kalau bicara percuma, Amnah tak pernah mau mengalah kalau
bicara, ada saja yang dijawabnya. Omongan orang tak pernah di dengar.
Adi dan Rita pun begitu. Lebih memilih diam dari pada
bicara memprotes ibunya. Karena kalau bicara nanti malahan tambah panjang
omelannya bahkan dibilang durhaka.
Serba salah jadinya anak-anak Amnah di rumah. Kasian
dengan ibu kadang kesal juga dengan ibu, dengan omongannya, omelannya dan
keluhannya tak kunjung sudah-sudah. Padahal tak perlu ada yang dikeluhkan,
anak-anak semuanya sukes dan memperoleh pekerjaan yang layak dan bisa membantu
orang tuanya. Usman bekerja di PT Suka Fajar sebagai Supervisor, Mira Pegawai
Negeri Sipil di sekolah dasar, Rahman honorer di Kantor Cabang Dinas Pendidikan
Kecamatan Pasir Limau Kapas. Rita meski berhenti menjadi seorang guru kini
memiliki usaha kedai, Adi mahasiswa, Timah bekerja sebagai kasir di toko
bangunan dan dua lagi masih sekolah, Udin dan Nining.
0 komentar:
Posting Komentar