Bicara tentang Ahmadyah, mungkin ini agak sensitif jika
terdengar oleh telinga. Bagi yang Kontra dengan kelompok ini, pasti langsung
menghujam bahwa Ahmadyah sesat. Bagi yang pro, langsung menyangkal bahwa
anggapan itu salah.
Selama ini kita hanya dihadapkan pada media yang
memberitakan tentang orang-orang yang kontra dengan Ahmadyah. Kita mendengar
Ahmadyah sesat, Ahmadyah memiliki Nabi selain Muhammad dan ditambah lagi Fatwa
Mejelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan Ahmadyah. Mungkin mendengar
ini, orang yang terlalu fanatik atau sok
fanatik dengan islamnya merasa agamanya dilecehkan. Muncullah statement tentang penistaan agama.
Sungguh, ini suatu cara berpikir yang sempit.
Saya menganggap, pola pikir bangsa kita mengenai
Ahmadyah ini telah dipropokasi oleh media. Pernahkah kita melihat atau
mendengar pembelaan dari kelompok Ahmadyah tentang tuduhan yang tak benar itu?
Jawabannya mungkin tidak pernah. Mata kita hanya disuguhkan tentang pembantaian
kelompok yang tak bersalah itu. Mesjid mereka disegel bahkan dihancurkan
seperti yang terjadi di Mahato, Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir.
Rumah-rumah mereka dibakar. Penganut kelompok ini dibunuh seperti yang terjadi
di cikeisik. Apakah ini yang disebut umat islam? Apakah ini yang diajarkan Nabi
Muhammad?
Jujur secara pribadi, saya juga sempat terpropokasi
oleh pemberitaan media yang tak benar itu. Bahkan kalau saya ada pada saat
pembantain itu, mungkin tangan ini ikut dikotori oleh perbuatan keji seperti
itu. Namun setelah Ahmadyah menjadi bahan yang sering didiskusikan, ada
beberapa hal yang membuat saya penasaran mengenai kelompok ini. Untuk menjawab
penasaran itu, saya coba untuk baca literatur-literaturnya. Tak cukup dengan
itu, rasanya ingin bertemu dengan orangnya langsung yang jadi korban.
Momen itu akhirnya terwujud. September, saya dapat
Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) di Parapat Sumatera Utara. Kegiatan
ini diadakan oleh Suara USU, Pers Mahasiswa Universitas Sumatera. Saya dan
teman saya Herman diutus oleh Bahana Mahasiswa. Bahana Mahasiswa, Pers
Mahasiswa Universitas Riau. Di lembaga Pers ini saya belajar jurnalistik. Tema
kegiatan ini sebenarnya tentang Jurnalisme Narasi atau narative reporting. Tapi banyak waktu-waktu diskusinya.
Malam kedua kegiatan ini diisi dengan diskusi tentang
kebebasan beragama. Murtiyono dari Ahmadyah Sumatera Utara jadi pembicara.
Diskusi diprediksi akan sangat hangat, sebab Ahmadyah adalah isu yang sangat sensitif di telinga.
Saya ingin mengulang lagi apa yang disampaikan Murtiyono saat diskusi.
Ahmadyah adalah sebuah organisasi islam. Pemimpin
tertinggi mereka disebut Khalifah.
Ahmadyah lahir di Qadian. Didirikan oleh Hazrat Mirza
Ghulam Ahmad. Ahmadyah yang selama ini kita anggap sesat, punya Nabi selain
Muhammad adalah suatu fitnah. Ahmadyah bukanlah agama baru. Ahmadyah penganut
islam sebagaimana mestinya. Mereka meyakini adanya rasul, Muhammad Saw. Alquran
adalah kitab suci mereka. Mereka meyakini rukun iman dan rukun islam
sebagaimana yang diyakini umat islam dari kelompok lainnya.
Perdebatan muncul ketika, organisasi Ahmadyah
meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam
Mahdi yang sudah diturunkan Allah. Sementara organisasi Islam lainnya belum
meyakini itu.
Setelah berdiri beberapa lama, organisasi ini pecah
jadi dua. Penyebabnya saat pemilihan Khalifah kedua. Muhammad Ali kalah dalam
pemilihan tersebut. Hazrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad anak dari Ghulam Ahmad
terpilih jadi khalifah. Muhammad Ali tak terima dengan hasil itu. Ia merasa
anak Ghulam Ahmad tak pantas jadi khalifah, sebab saat itu masih berusia
belasan tahun. Muhammad Ali sendiri adalah intelektualnya Ahmadyah saat itu. Ia
juga pernah jadi sekretaris anjungan Ahmadyah.
Setelah kalah dalam pemilihan Khalifah ia pindah ke
Lahore, membawa harta benda Ahmadyah dan beberapa pengikutnya. Di sini ia
dirikan Ahmadyah menurut versinya. Maka terbentuklah Ahmadyah Qadian versi Basyirudin
sebagaimana awalnya dan Ahmadyah Lahore versi Muhammad Ali.
Tak ada perbedaan juga diantara kedua kelompok yang
terpecah ini. Masing-masing masih meyakini islam sebagai agama mereka. Tanpa
sedikitpun melecehkan islam, sebagaimana yang tersiar di media. Namun, Ahmadyah
Lahore versi Muhammad Ali ingkar terhadap keyakinannya yang semula mengakui
Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi. Ia dan pengikutnya tak meyakini Ghulam Ahmad
sebagai Imam Mahdi lagi. Namun, keyakinan mereka masih pada islam sebagai agama
mereka. Artinya, baik Qadian maupun Lahore tetap berkeyakinan islam.
Bicara Ahmadyah di Indonesia. Ahmadyah pertamakali
masuk di Tapak Tuan sekarang Aceh. Jauh sebelum negara ini merdeka. Bahkan
organisasi ini ikut dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Tak hanya itu,
Wage Rudolf Supratman pencipta lagu kebangsaan Indonesia adalah seorang
Ahmadyah. Sekali lagi, bagaimana kita masih mengatakan Ahmadyah sesat?
Negara ini merdeka. Semakin bertambah umur negara ini,
semakin sering terjadi penyiksaan terhadap orang-orang yang tergabung dalam
organisasi ini. Mereka dibantai. Rumah-rumah mereka dihancurkan bahkan mesjid
tempat peribadatan mereka juga hancur.
Cobalah kita berfikir tentang kebenaran. Jangan
berfikir karena hasutan. Apa yang kita lihat belum tentu benar. Tapi apa yang
kita verifikasi akan tercipta sebuah kebenaran.
Saya sangat benci dengan yang namanya membunuh. Bukan
membunuh nyamuk. Tapi membunuh manusia yang ingin menikmati kehidupannya.
Marilah kita nikmati keberagaman dalam hidup ini. Karena kita makhluk sosial
yang memiliki berbagai macam kreatifitas. Dan kreatifitas itu akan terasa
sangat indah jika kita nikmati. Ingatlah, bahwa tak ada yang kuat di atas dunia
ini. Karena manusia bukan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar