Minggu, 22 Desember 2013

Ahmadyah Bicara

Oleh Suryadi



Bicara tentang Ahmadyah, mungkin ini agak sensitif jika terdengar oleh telinga. Bagi yang Kontra dengan kelompok ini, pasti langsung menghujam bahwa Ahmadyah sesat. Bagi yang pro, langsung menyangkal bahwa anggapan itu salah.

Selama ini kita hanya dihadapkan pada media yang memberitakan tentang orang-orang yang kontra dengan Ahmadyah. Kita mendengar Ahmadyah sesat, Ahmadyah memiliki Nabi selain Muhammad dan ditambah lagi Fatwa Mejelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan Ahmadyah. Mungkin mendengar ini, orang yang terlalu fanatik atau sok fanatik dengan islamnya merasa agamanya dilecehkan. Muncullah statement tentang penistaan agama. Sungguh, ini suatu cara berpikir yang sempit.


Saya menganggap, pola pikir bangsa kita mengenai Ahmadyah ini telah dipropokasi oleh media. Pernahkah kita melihat atau mendengar pembelaan dari kelompok Ahmadyah tentang tuduhan yang tak benar itu? Jawabannya mungkin tidak pernah. Mata kita hanya disuguhkan tentang pembantaian kelompok yang tak bersalah itu. Mesjid mereka disegel bahkan dihancurkan seperti yang terjadi di Mahato, Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir. Rumah-rumah mereka dibakar. Penganut kelompok ini dibunuh seperti yang terjadi di cikeisik. Apakah ini yang disebut umat islam? Apakah ini yang diajarkan Nabi Muhammad?

Jujur secara pribadi, saya juga sempat terpropokasi oleh pemberitaan media yang tak benar itu. Bahkan kalau saya ada pada saat pembantain itu, mungkin tangan ini ikut dikotori oleh perbuatan keji seperti itu. Namun setelah Ahmadyah menjadi bahan yang sering didiskusikan, ada beberapa hal yang membuat saya penasaran mengenai kelompok ini. Untuk menjawab penasaran itu, saya coba untuk baca literatur-literaturnya. Tak cukup dengan itu, rasanya ingin bertemu dengan orangnya langsung yang jadi korban.

Momen itu akhirnya terwujud. September, saya dapat Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) di Parapat Sumatera Utara. Kegiatan ini diadakan oleh Suara USU, Pers Mahasiswa Universitas Sumatera. Saya dan teman saya Herman diutus oleh Bahana Mahasiswa. Bahana Mahasiswa, Pers Mahasiswa Universitas Riau. Di lembaga Pers ini saya belajar jurnalistik. Tema kegiatan ini sebenarnya tentang Jurnalisme Narasi atau narative reporting. Tapi banyak waktu-waktu diskusinya.

Malam kedua kegiatan ini diisi dengan diskusi tentang kebebasan beragama. Murtiyono dari Ahmadyah Sumatera Utara jadi pembicara. Diskusi diprediksi akan sangat hangat, sebab Ahmadyah  adalah isu yang sangat sensitif di telinga. Saya ingin mengulang lagi apa yang disampaikan Murtiyono saat diskusi.

Ahmadyah adalah sebuah organisasi islam. Pemimpin tertinggi mereka disebut Khalifah.

Ahmadyah lahir di Qadian. Didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadyah yang selama ini kita anggap sesat, punya Nabi selain Muhammad adalah suatu fitnah. Ahmadyah bukanlah agama baru. Ahmadyah penganut islam sebagaimana mestinya. Mereka meyakini adanya rasul, Muhammad Saw. Alquran adalah kitab suci mereka. Mereka meyakini rukun iman dan rukun islam sebagaimana yang diyakini umat islam dari kelompok lainnya.

Perdebatan muncul ketika, organisasi Ahmadyah meyakini  Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi yang sudah diturunkan Allah. Sementara organisasi Islam lainnya belum meyakini itu.
Setelah berdiri beberapa lama, organisasi ini pecah jadi dua. Penyebabnya saat pemilihan Khalifah kedua. Muhammad Ali kalah dalam pemilihan tersebut. Hazrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad anak dari Ghulam Ahmad terpilih jadi khalifah. Muhammad Ali tak terima dengan hasil itu. Ia merasa anak Ghulam Ahmad tak pantas jadi khalifah, sebab saat itu masih berusia belasan tahun. Muhammad Ali sendiri adalah intelektualnya Ahmadyah saat itu. Ia juga pernah jadi sekretaris anjungan Ahmadyah.

Setelah kalah dalam pemilihan Khalifah ia pindah ke Lahore, membawa harta benda Ahmadyah dan beberapa pengikutnya. Di sini ia dirikan Ahmadyah menurut versinya. Maka terbentuklah Ahmadyah Qadian versi Basyirudin sebagaimana awalnya dan Ahmadyah Lahore versi Muhammad Ali.

Tak ada perbedaan juga diantara kedua kelompok yang terpecah ini. Masing-masing masih meyakini islam sebagai agama mereka. Tanpa sedikitpun melecehkan islam, sebagaimana yang tersiar di media. Namun, Ahmadyah Lahore versi Muhammad Ali ingkar terhadap keyakinannya yang semula mengakui Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi. Ia dan pengikutnya tak meyakini Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi lagi. Namun, keyakinan mereka masih pada islam sebagai agama mereka. Artinya, baik Qadian maupun Lahore tetap berkeyakinan islam.

Bicara Ahmadyah di Indonesia. Ahmadyah pertamakali masuk di Tapak Tuan sekarang Aceh. Jauh sebelum negara ini merdeka. Bahkan organisasi ini ikut dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Tak hanya itu, Wage Rudolf Supratman pencipta lagu kebangsaan Indonesia adalah seorang Ahmadyah. Sekali lagi, bagaimana kita masih mengatakan Ahmadyah sesat?

Negara ini merdeka. Semakin bertambah umur negara ini, semakin sering terjadi penyiksaan terhadap orang-orang yang tergabung dalam organisasi ini. Mereka dibantai. Rumah-rumah mereka dihancurkan bahkan mesjid tempat peribadatan mereka juga hancur.

Cobalah kita berfikir tentang kebenaran. Jangan berfikir karena hasutan. Apa yang kita lihat belum tentu benar. Tapi apa yang kita verifikasi akan tercipta sebuah kebenaran.

Saya sangat benci dengan yang namanya membunuh. Bukan membunuh nyamuk. Tapi membunuh manusia yang ingin menikmati kehidupannya. Marilah kita nikmati keberagaman dalam hidup ini. Karena kita makhluk sosial yang memiliki berbagai macam kreatifitas. Dan kreatifitas itu akan terasa sangat indah jika kita nikmati. Ingatlah, bahwa tak ada yang kuat di atas dunia ini. Karena manusia bukan Tuhan.

0 komentar:

Posting Komentar