Minggu, 22 Desember 2013

Wajah Palsu Sang Dosen

Oleh Suryadi



Pertama saya ingin ucapkan selamat datang pada adik-adik mahasiswa baru, di kampus yang semoga benar-benar merupakan pilihan adik-adik semua. Jika tidak seratus persen pilihan adik-adik semoga sembari menimba ilmu diperkuliahan ini semakin mencintai kampus ini.

Ada yang perlu adik-adik ketahui, nanti tiba saatnya anda akan mulai bergejolak dengan dosen yang mengajar anda. Pasalnya hanya satu, dizaman perkuliahan yang semakin modern ini anda lebih banyak terlibat konflik dengan dosen itu hanya soal nilai. Sifatnya, anda tidak akan pernah puas memperoleh nilai yang menurut anda tidak mungkin segitu.

Sudah barang pasti anda akan mulai mengutarakan komentar. Kenapa nilai saya begini? Padahal saya kuliah begini.


Komentar seperti ini percuma anda lontarkan pada sang dosen, karena anda akan malah dijatuhkan kembali oleh sang dosen. Teman-teman saya sering mengalami ini. Mereka tidak diberi kebebasan berbicara menyikapi kewenangan sang dosen yang merasa selalu benar itu. Kalaupun mereka bicara panjang lebar menjelaskan keberatannya terhadap sang dosen, hanya akan ada satu jawaban, tetap tidak akan berubah dari kewenangan sang dosen semula.

Ok, itu celoteh saya sedikit terkait kewengan dosen terhadap nilai mahasiswa.

Ada sisi wajah palsu sang dosen yang jika kita hayal sangat memalukan. Mungkin kening anda akan berkerut tanpa sadar membayangkan wajah palsunya. Alasan yang sering  saya dengar dari teman-teman jika mereka menyampaikan keberatannya pada sang dosen, mereka selalu dibilang jarang masuk, terkadang anda menitip tanda tangan kehadiran pada teman anda. Ada benarnya juga apa yang dikatan sang dosen mulia ini, sebagian teman-teman terkadang juga sering melakukan hal yang tak disiplin ini. Tapi saya pikir, dosen yang mulia ini juga mencoreng kemuliaannya dengan kemunafikan.

Meminjam kalimat Soe Hok Gie, dosen bukan dewa yang selalu benar. Sedikit saya ubah kata dosen, Soe Hok Gie pakai kata guru. Benar memang, ada 16 pertemuan dalam tiap semester, tak pernah pertemuan ini benar-benar dipenuhi oleh sang dosen. Egonya lagi, jika sang dosen tak bisa masuk hari itu, dia minta pada mahasiswa tetap menanda tangani daftar hadir. Bukankah ini juga menitip daftar hadir pada mahasiswa? munafik bukan dosen macam ini?

Selanjutnya, saya ingin komentar kemampuan sang dosen untuk mengajar mahasiswa calon intelektual muda, generasi bangsa, generasi perubahan, calon pemimpin masa depan.
Dosen dizaman perkuliahan modern sekarang tak ubahnya seperti musik yang berisik dalam sebuah ruangan. Ini sedikit gambaran dosen ketika mengajar di kelas. Antara dosen dan mahasiswa bak manusia yang lagi marahan, tak ada tegur sapa, senyap tanpa perbincangan antara satu sama lain. Dosen sibuk dengan bahan perkuliahannya, menggonta-ganti slide yang sudah disiapkan sejak beberapa tahun yang lalu, mungkin senior-senior kita juga itu yang didapatkannya saat duduk dibangku perkuliahan. Padahal dunia ini semakin berubah, manalah mungkin sama dengan zaman atuk adam dulu. Mulutnya pun tak henti-henti berceloteh, sombong sekali, tak memberi mahasiswa-mahasiswa yang  duduk itu berbicara.

Mahasiswa pun begitu, sibuk dengan buku dan pulpen yang belasan tahun terus menemaninya. Mencatat apa yang ditampilkan oleh dosen lewat slide, padahal jika ditanya apa maksud yang disampaikan dosen dia pun tak tahu. Apa mata anda tidak capek hanya terfokus pada dua hal, buku dan slide yang ditampilkan dosen anda?

“Ok, waktu kita habis.” Sang dosen pun  keluar. Beginilah kemampun dosen yang memberi perkuliahan. Tak pandai berdiskusi, takut memberi kesempatan pada mahasiswa untuk bicara karena takut dikritik, takut lama-lama dalam ruangan karena takut semakin banyak pertanyaan yang diajukan oleh mahsiswa. Jika dipotong pembicaraannya ngambek, dia tak pernah ngerti mahasiswa pada ngantuk mendengar omongannya yang semakin lama semakin tak nyambung.

Ada lagi wajah-wajah muda yang mengawali profesinya sebagai dosen. Hem... apatisnya minta ampun. Tidak respect dengan kegiatan mahasiswa apalagi pergerakan mahasiswa. Hanya ada satu kalimat yang menurut saya pas dengan dosen seperti ini, ini dosen semasa jadi mahasiswa tahunya hanya belajar di kelas selesai itu pulang. Mungkin kalau ditanya Tri Darma Perguruan Tinggi pun dia tak tahu. Fungsi mahasiswa diluar hal yang berbaur akademis pun mungkin tak paham. Ikut demo pun  tak pernah mungkin, bahkan dia malahan benci dengan demo atau akasi-aksi demonstrasi. Dia selalu lupa bahwa pemimpin-pemimpin jahat di negeri ini dicampakkan oleh mahasiswa lewat aksi.

Tutuplah muka mu dengan topeng wahai sang dosen, agar engkau tahu malu dan jangan buat malu lagi. Ini untuk dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universiitas Riau. Semoga ada yang tersinggung.
Dibelakang rumah,
empat hari jelang masuk perkuliahan semester ganjil. 9.30 WIB, 2013

0 komentar:

Posting Komentar