Aden Gultom, Kepala BPS Riau, beri keterangan pada salah satu televisi lokal usai menyampaikan laporan bulanan ekonomi Riau pada wartawan. |
Badan
Pusat Statistik (BPS) Riau memaparkan empat hal di atas di hadapan wartawan,
Rabu (2/1/2019). Aden Gultom memulai pemaparannya setelah mendengar terlebih
dahulu siaran pers BPS Pusat lewat video
conference.
Pada
Desember 2018, inflasi Riau sebesar 0,23 persen dengan indeks harga konsumen
atau IHK 136,69. Sementara, dari Januari sampai Desember 2018 atau tahun
kalender, inflasi Riau sebesar 2,45 persen, sama besarnya dari tahun ke tahun atau
year on year.
“Ini
bagus sekali. Kejutan untuk Riau karena di bawah nasional 3,13 persen,” kata
Aden Gultom, Kepala BPS Riau.
Tiga
kota di Riau juga terjadi inflasi selama Desember 2018. Pekanbaru 0,18 persen
dengan IHK 136,54 atau 2,54 persen sepanjang 2018. Diikuti Dumai 0,22 persen
dengan IHK 136,30 atau 1,85 persen selama 2018. Sementara, Tembilahan 0,70
persen dengan IHK 139,00 atau 2,64 persen dari Januari-Desember 2018.
Kata
Aden, inflasi di bawah 3 persen tergolong rendah. Lanjutnya, inflasi di
Indonesia termasuk Riau, sejak 2015 memang sangat terkendali. “Itu tidak
terlepas adanya tim inflasi yang bekerja di daerah.”
Beberapa
kelompok pengeluaran yang pengaruhi inflasi Riau pada Desember 2018, adalah kelompok
transportasi, komunikasi dan jasa komunikasi sebesar 0,56 persen. Diikuti
kelompok bahan makanan sebesar 0,48 persen, kelompok kesehatan 0,09 persen,
lalu kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar sebesar 0,06 persen
dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok serta tembakau sebesar 0,03 persen.
Selain
itu, beberapa kelompok dapat menahan inflasi atau mengalami deflasi. Kelompok
sandang sebesar 0,12 persen serta kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga
sebesar 0,03 persen.
Komoditas
yang menyumbang inflasi antara lain, angkutan udara, bawang merah, daging ayam
ras, tomat sayur, bayam, udang basah, buah anggur, ayam hidup dan lainnya.
Sementara, komoditas yang menyumbang deflasi adalah, kentang, ikan mujair,
petai, minyak goreng, telur ayam ras, emas, perhiasan, bawang putih dan
lainnya.
“Angkutan
udara jadi faktor utama karena akhir tahun banyak yang bepergian atau liburan,”
ujar Aden. Namun, lanjut Aden, rokok kretek filter adalah penyebab utama inflasi
di Riau selama 2018 dengan andil 0,29 persen, selain beras 0,25 persen dan
angkutan udara 0,16 persen.
Selanjutnya,
Aden menjelaskan nilai tukar petani (NTP) Riau pada Desember 2018. Informasi
ini, katanya, tidak mengenakkan bagi warga Riau. NTP Riau Desember 2018 sebesar
92,70 atau turun 0,22 dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 92,90. Dilihat dari
statistik yang ditampilkan Aden, penurunan ini terus terjadi sejak Februari
2018. “Pengaruhnya, penurunan harga sawit dan kelapa. Penerimaan lebih kecil
dari yang harus dibayar petani.”
Indeks
harga yang diterima petani pada Desember 2018 memang naik 0,16 persen dari
bulan sebelumnya. Tapi, indeks harga yang dibayar petani lebih besar 0,38
persen juga dibanding dengan bulan sebelumnya.
Secara
umum, petani Riau mengalami defisit. Itu terjadi pada petani subsektor tanaman
perkebunan rakyat dengan nilai tukar sebesar 86,89. Kemudian subsektor
peternakan dengan nilai tukar 95,62 dan subsektor holtikultura dengan nilai
tukar sebesar 99,55. Sebaliknya, petani pada subsektor perikanan dan tanaman
pangan mengalami surplus, masing masing dengan nilai tukar sebesar 113,84 dan
103,26.
Penurunan
NTP pada bidang peternakan sebesar 1,13 persen, perikanan 0,89 persen,
holtikultura 0,40 persen dan tanaman perkebunan rakyat 0,08 persen. Hanya NTP pada
sektor tanaman pangan yang naik sebesar 0,60 persen. Riau pun menduduki posisi
8 dari 10 provinsi di Sumatera atas NTP pada Desember 2018. “Tahun sebelumnya,
di bulan yang sama, Riau posisi 2,” jelas Aden.
Penurunan
NTP juga diikuti penurunan nilai tukar usaha rumah tangga petani atau NTUP
sebesar 0,04 persen. Sebesar 104,63 pada November, turun jadi 104,59 pada
Desember 2018. NTUP dihitung berdasarkan perbandingan harga yang diterima
petani dengan harga yang dibayar. Komponen harga yang dibayar hanya mencakup
biaya produksi dan penambahan barang modal.
Petani Kampung Buantan Lestari, Kecamatan Bungaraya, Siak panen cabai merah dan hijau. |
Nilai
Ekspor Riau pada November 2018 tercatat sebesar 1,27 miliar Dolar Amerika. Naik
2,01 persen dari Oktober. Bila dilihat sejak Januari hingga November 2018,
total nilai ekspor Riau sebesar 14,75 miliar Dolar Amerika atau meningkat 0,17
persen dibanding 2017.
Naiknya
nilai Ekspor Riau dikarenakan meningkatnya jumlah ekspor migas sebesar 14,21
persen. Hal itu disebabkan meningkatnya jumlah ekspor minyak mentah sebesar
15,00 persen, dan industri pengolahan hasil minyak senilai 19,45 persen. Meski ekspor
nonmigas turun 0,04 persen dari Oktober ke November 2018, sektor ini masih
mendominasi jumlah eskpor di Riau.
Terhitung,
ekspor nonmigas Riau pada November 2018, sebesar 1,06 miliar Dolar Amerika. Bila
dihitung sejak awal 2018, total nilai ekspor nonmigas Riau sebesar 12,25 miliar
Dolar Amerika atau turun 2,48 persen dari tahun sebelumnya. Ini disebabkan
eskpor industri turun 2,75 persen tapi ekspor pertanian naik 42,07 persen.
Kenaikan
ekspor nonmigas hanya terjadi pada beberapa produk kimia sebesar 21,56 juta
Dolar Amerika. Selanjutnya pada bubur kayu sebesar 4,72 juta Dolar Amerika
termasuk ampas dan sisa industri makanan sebesar 0,32 juta Dolar Amerika.
Beberapa yang turun adalah, lemak dan minyak hewan sebesar 15,76 juta Dolar
Amerika, bahan kimia organik sebesar 4,13 juta Dolar Amerika serta kertas dan
karton sebesar 3,41 juta Dolar Amerika.
“Ekspor
Riau tetap didominasi nonmigas. Migas hanya 16,13 persen,” ujar Aden. Total, Riau
berkontribusi sebesar 8,56 persen terhadap ekspor nasional.
Tujuan
utama ekspor nonmigas Riau tersebar di 10 negara. Separuhnya, yakni Tiongkok,
India, Belanda, Pakistan dan Malaysia berkontribusi 54,27 persen dari nilai
ekspor nonmigas. Sedangkan Spanyol, Amerika Serikat, Bangladesh, Singapura dan
Rusia sebesar 16,30 persen. Total nilai ekspor nonmigas ke negara-negara
tersebut telah memberikan kontribuasi sebesar 70,57 persen.
Selanjutnya,
nilai impor Riau pada November 2018 tercatat sebesar 147,68 juta Dolar Amerika.
Naik 17,18 persen dibanding Oktober tahun yang sama. Kenaikan ini juga karena
bertambahnya jumlah impor migas sebesar 864,27 persen, tapi impor nonmigas
turun 6,85 persen.
Secara
keseluruhan, mulai Januari hingga November 2018 total nilai impor Riau adalah
1,45 miliar Dolar Amerika. Jumlah ini naik 13,99 persen dibanding tahun
sebelumnya. Faktornya, impor migas naik 15,58 persen dan nonmigas naik 13,71
persen.
Aktivitas
impor di Riau juga didominasi sektor nonmigas. Pada November 2018 tercatat
sebesar 114,15 juta Dolar Amerika meski turun 6,85 persen dari bulan
sebelumnya. Total impor nonmigas sejak Januari sampai November 2018, sebesar
1,22 miliar Dolar Amerika dan meningkat sebesar 13,71 persen. Dengan catatan
ini menunjukkan, kontribusi impor Riau terhadap nasional sebesar 0,87 persen.
“Sebenarnya
sangat mengkhawatirkan. Banyak barang konsumsi dari luar negeri yang masuk ke
Riau bila dibanding tahun sebelumnya,” sebut Aden. Tapi, secara keseluruhan
neraca perdagangan Riau surplus 1,12 miliar Dolar Amerika atau totalnya 13,30
miliar Dolar Amerika sepanjang 2018.
Tiongkok
masih jadi utama dalam hubungan ekspor dan impor di Riau. Diikuti Kanada,
Malaysia dan Singapura. Selain Thailand, Saudi Arabia, Australia, India, Oman
dan Jerman.
Sebelum
menutup pertemuan, Aden Gultom menjelaskan potensi desa di Riau pada 2018. Penghitungan
ini dilakukan 3 kali dalam 10 tahun untuk membentuk indeks pembangunan desa (IPD)
dan menentukan klasifikasi desa. “Sejak 2011, jumlah desa dan kecataman bertambah.”
Ada
1.607 desa ditambah 268 kelurahan dari 169 kecamatan dan 12 kabupaten/kota di
Riau. Sebanyak 88 desa masih tergolong tertinggal. Sedangkan desa yang
berkembang ada 1.405 dan desa mandiri berjumlah 114. Kata Aden, sejak 2014,
terus terjadi perbaikan kualitas desa dengan semakin berkurangnya jumlah desa
tertinggal. Perbaikan ini dihitung dari IPD Riau 2018 sebesar 63,54 yang
meningkat 4,50 dibanding 4 tahun ke belakang.
IPD
Riau dihitung berdasarkan lima aspek. Pertama, pelayanan dasar. Selanjutnya
kondisi infrastruktur, transportasi, pelayanan umum dan penyelenggaraan
pemerintah desa. Seluruhnya meningkat selama 2018 dibanding sejak 2014.
Peningkatan tertinggi terjadi pada penyelenggaran pemerintah desa dengan 11,06
poin. Sedangkan kenaikan terendah terjadi pada pelayanan umum dengan poin 0,70.
Salah
satu potensi desa atau kelurahan dilihat dari ketersediaan wisatanya. Riau,
pada 2014, memiliki 23 desa wisata dan hanya bertambah satu desa wisata pada
2018.
Selain
itu, mayoritas desa di Riau juga menghadapai berbagai tantangan. Pertama,
tantangan bencana alam. Ada 584 desa dan kelurahan terdampak banjir, 468
terdampak kebakaran hutan dan lahan serta 208 terdampak kekeringan. Selanjutnya
ada yang terdampak angin puting beliung, gelombang pasang laut, longsor, banjir
bandang dan gempa bumi.
Tantangan
selanjutnya adalah pencemaran. Sekitar 454 desa terdampak pencemaran air. Yang
terdampak pencemaran udara 248 desa dan 32 desa terdampak pencemaran tanah. Tantangan
terakhir adalah soal keamanan. Dari sekian tindak kejahatan, kata Aden,
penyalahgunaan atau peredaran narkoba dan perkelahian massal adalah yang paling
mencuat selama 2018.
Sebelum
benar-benar menyudahi pertemuan, Aden menyinggung pemberitaan yang terbit
sebelum konferensi pers dimulai mengenai kemiskinan di Riau. Sejumlah media
memberitakan bahwa, jumlah masyarakat miskin di Riau terus bertambah. Aden
membenarkan itu, apabila penghitungannya dari Maret ke September 2018
sebagaimana rentang waktu yang lazim menghitung angka kemiskinan.
“Tapi, kalau dilihat dari September 2017 ke bulan yang sama pada 2018, jumlahnya justru berkurang,” tegasnya. Detail angka kemiskinan di Riau akan disampaikan BPS bulan depan.
0 komentar:
Posting Komentar