Diskusi Bersama di Sekretariat DPM Universitas Riau. Foto ini diambil Oleh Okto Yugo Staff Kampanye Jikalahari. |
AWAL September lalu,
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau menghelat satu diskusi.
Beberapa organisasi mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat turut hadir dalam
diskusi yang berlangsung di Sekretariat Dewan Perwakilan Mahasiswa Univeristas
Riau ini.
Diantaranya: LPM Bahana Mahasiswa, BEM
fakultas se-Universitas Riau, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau
Fitra Riau, Riau Riset Center, Walhi Riau, Jikalahari, Lembaga Bantuan Hukum
Pekanbaru dan seorang akademisi lingkungan, Elviriadi.
Diskusi ini mendedah persoalan bencana
kebakaran hutan dan lahan yang berujung munculnya asap di Riau. Mulai dari
persoalan hilir hingga hulu penyebab kebakaran, jadi materi diskusi pagi hingga
siang itu. Seorang peserta diskusi menyebutkan, persoalan izin konsesi yang
dikeluarkan pemerintah menyebabkan kebakaran hutan dan lahan terus terjadi.
Seorang lagi menguatkan statemant ini, “Pemadaman yang dilakukan
pemerintah hanya bersifat sementara. Jika musim kemarau datang kebakaran akan
terjadi kembali. Yang harus dilakukan pemerintah adalah, mencabut semua izin
konsesi dan tidak memberikannya lagi pada korporasi agar hutan alam tidak
dibuka dengan semena-mena.”
Pernyataan ini sangat masuk akal. Riau
terkenal dengan luasan lahan gambutnya. Hutan alam yang dibabat dan ditebang
secara tidak normal dan berlebihan akan menyebabkan kekeringan di lahan gambut
tersebut. Air tidak dapat diserap dengan baik lagi. Hal ini lah yang memicu
rentannya terjadi kebakaran. Belum lagi pembuatan kanal yang marak dilakukan
oleh perusahaan.
Pemerintah sebenarnya secara tegas sudah
mengeluarkan regulasi berupa PP No 71 tahun 2014, tentang perlindungan dan
pengelolaan ekosistem gambut. Peraturan ini menegaskan larangan membuka lahan
gambut terlebih lagi gambut dengan ke dalaman 3 meter ke bawah.
Tidak hanya itu. Soal Surat Perintah
Penghentian Penyidikan atau SP3 yang dikeluarkan Polda Riau awal tahun lalu,
juga jadi kecaman bersama dalam diskusi ini.
Sebab, 15 perusahaan yang diduga membakar
hutan dan lahan tahun 2015 lalu, lepas begitu saja dengan keluarnya SP3
tersebut. Tentunya ini menjadi kesedihan bagi masyarakat Riau, terutama bagi
para korban yang terpapar asap. Belum lagi bagi keluarga korban yang salah satu
anggota keluarganya meninggal akibat mengirup asap setengah tahun lamanya.
Yang paling menyakitkan masyarakat banyak,
Polda Riau tidak transparan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan hingga
mengeluarkan SP3. Sejak dihentikannya penyidikan awal tahun lalu, publik baru
mengetahui hal ini dipertengahan tahun. Itu pun karena adanya desakan dari
aktivis lingkungan.
Tiga perusahaan lainnya yang bergerak dibidang perkebunan, PT Parawira, PT Alam Sari Lestari dan PT Riau Jaya Utama.
DISKUSI dilanjutkan
setelah peserta melaksanakan shalat zuhur berjamaah di sekretariat BEM. Dipenghujung
diskusi, dibuat satu pernyataan sikap bersama. Secara umum, pernyataan ini
berisi penolakan terhadap SP3 yang dikeluarkan oleh Polda Riau dan mendesak
Pemerintah Pusat segera mencopot penegak hukum yang tidak pro dalam memberantas
kejahatan lingkungan.
Sebelum peserta diskusi meninggalkan
tempat, Abdul Khair, Presiden Mahasiswa Universitas Riau menyampaikan satu
informasi penting. Dari satu akun media sosial milikinya, Khair menemukan foto
beberapa perwira menengah kepolisian dengan pengusaha dan pengelola sebuah
hotel di Pekanbaru.
Beberapa polisi berfoto dengan seorang pengusaha diduga pemilik PT APSL. Foto diambil dari gagasanriau.com |
Dua nama dari beberapa yang ada dalam foto
tersebut adalah Polisi dari Polda Riau. Kombes Pol Surawan Direktur Kriminal
Umum dan Kombes Rivai Sinambela Direktur Kriminal Khusus. Dua lagi, Tony
Hermawan Kapolresta Pekanbaru dan Kombes Hendra dari Divisi Propam Mabes Polri.
Pengusaha yang diduga ikut berfoto adalah
pemilik PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL). Perusahaan ini tengah
diselidiki oleh pihak kepolisian karena lahannya terbakar di Kabupaten Rokan Hulu.
Tak lama, setelah diskusi itu, sekitar
pukul 4 sore, foto yang ditunjukkan oleh Abdul Khair tadi langsung menjadi
pemberitaan hangat di media, terutama media dotcom.
Semua media memberitakan peristiwa yang ada dalam foto tersebut. Judulnya bermacam-macam.
Tribunnews.com memberi judul, HEBOH! Foto Petinggi Polda Riau Kongkow
Bareng Bos Perusahaan Pembakar Lahan yang di SP3-kan. Kaskus.co.id memberi
judul, Foto Kongkow Petinggi Polisi
dengan Perusahaan Pembakar Lahan Lukai Hati Rakyat. Inddit.com dengan judul,
Foto Kongkow Perwira Menengan Polda Riau
dan Bos PT APSL Viral di Medsos. Gagasanriau.com dengan judul, Beredar Foto Petinggi Polisi Riau Kongkow
Bersama Bos Perusahaan Terduga Pembakar Lahan.
Banyak media lainnya terutama media di Riau
memberitakan hal serupa. Namun yang disayangkan, tidak satu media pun melakukan
verifikasi terlebih dahulu terhadap orang-orang yang ada dalam foto tersebut. Kebenaran
tentang judul dan isi berita tentunya menjadi tanda tanya bagi pembaca. Di sini
pembaca mulai tidak puas dan menunggu kelanjutan informasinya.
Kepolisian Daerah Riau baru menanggapi hal
ini keesokan harinya. Di kantor Polda Riau, Guntur Aryo Tejo selaku Humas yang
diikuti oleh tiga nama yang disebutkan di atas, melakukan konferensi pers. Mereka
mengklarifikasi pemberitaan oleh media.
Mereka menyanggah, pertemuan dengan pengusaha
yang terjadi di lantai tujuh Hotel Grand Central Pekanbaru itu bukan membahas
kebakaran di lahan PT APSL. Mereka sedang membahas persoalan kerusuhan di
Meranti, beberapa minggu yang lalu dengan utusan Divisi Propam Mabes Polri.
Foto bersama itu terjadi secara tidak
sengaja. Ketika sedang berdiskusi mereka bertemu pengelola hotel yang mereka
kenal. “Setelah berfoto sebentar, kami kembali di meja masing-masing,” ujar
Surawan. Surawan beserta teman-temannya tidak menyanggah tentang keberadaan
mereka dalam foto tersebut.
Meski begitu, beredarnya foto ini menjadi
perbincangan ditingkat nasional. bahkan Divisi Propam Mabes Polri memanggil
ketiga polisi tersebut.
Hampir satu minggu lamanya persitiwa ini
mewarnai pemberitaan di media, baik lokal maupun nasional. Namun tak ada satu
media pun yang berhasil memverifikasi hal ini hingga ke pengelola hotel dan
pengusaha yang mereka sebut. Verifikasi hanya sampai dipihak kepolisian. Padahal,
nama-nama lainnya penting untuk diminta keterangan. Terlebih lagi lahan PT APSL
yang jelas-jelas terbakar di Rokan Hulu.
Kalau sudah begini, pembaca menjadi semakin
tidak puas oleh pemberitaan media. Wartawan yang menulis berita ini juga kurang
memahami etika dan cara kerja wartawan yang baik. Verifikasi merupakan hal yang
sangat penting dalam menemukan kebenaran. Kebenaran tidak akan pernah ditemukan
jika verifikasi yang dilakukan setengah hati.
Bahaya juga akan mengancam wartawan jika
informasi yang disampaikan tidak benar. Hal ini sudah kelihatan ketika media online tempo memberitakan tentang, pesan singkat dari oknum Polda Riau
pada wartawan terkait pemberitaan yang mereka terbitkan. Guntur Aryo Tejo
mengatakan, pesan itu hanya berupa peringatan pada wartawan karena sebelumnya
telah duduk bersama mencari solusi terbik atas pemberitaan tersebut.
Wartawan sebenarnya tidak perlu takut dan
bisa aman jika terus melakukan verifikasi dan mencari kebenarannya. Jika hanya
berhenti di situ, wallahualam. Apalagi
sekarang ini penegak hukum pantang tersudutkan. Pantang dikritik. Macam Tuhan
yang tak boleh salah. Kalau sudah begitu, kriminalisasi mulai bermain. Lihat saja
kasus Haris Azhar, Koordinator Kontras yang membeberkan percakapannya dengan
Fredy Budiman sebelum dieksekusi mati di nusakambangan.
Semoga wartawan melakukan pekerjaannya
dengan lebih baik!*Suryadi
0 komentar:
Posting Komentar