Minggu, 24 Januari 2016

Tambak: Desa Kecil Desa Beradat



Cerita kehidupan ala desa kecil yang berada di Kabupaten Pelalawan. Sungai dan aturan adat tak bisa jauh dari kehidupan masyarakatnya.

Oleh Suryadi

UJUNG DARI JALAN DESA TAMBAK ADALAH SUNGAI, Disebut Sungai Segati, tempat masyarakat mencari ikan. Nelayan desa mencari ikan di sungai ini menggunakan jala ataupun memancing. Rakit Dan perahu bertambat pada kayu yang dipancang dalam sungai hingga ke dasar. Rakit ini dibawa menyusuri sungai mencari lokasi yang akan disinggahi untuk mengambil ikan.

Kini, mencari ikan di sungai dilakukan masyarakat dengan menyentrum ikan. Diantara nelayan pencari ikan terkadang harus bercekak—beradu pendapat— satu sama lain karena tidak senang menangkap ikan dengan cara yang ekstrim. Cara lainnya terkadang gunakan racun ikan dalam sungai. Orang desa bilang ini tuba atau menuba.

Satu pagi saya pergi kantor Camat Langgam. Ada pengumuman dilarang menyentrum dan menuba ikan dalam sungai, bagi yang kedapatan melakukan itu akan ditangkap dan diproses secara hukum.

Jenis ikan di Sungai Segati beragam jenis. Masyarakat menamakan ikan-ikan ini, Toman, Baung, Gabus, Kopiek, Barau, Kalu, Singkek dan banyak jenis ikan lain. Ukuran dan berat ikan pun cukup besar bisa mencapai 8 kilogram satu ekornya.

Tidak sulit untuk mendapatkan ikan di sungai ini. Thamrin warga Desa Tambak katakan, dulu lebih gampang mendapat ikan di sungai. “Kalau mau makan ikan cukup bawa pancing di belakang rumah. Hanya beberapa menit sudah bisa pulang bawa ikan untuk di makan,” cerita Thamrin.

Selain tempat mencari ikan, sungai juga menjadi pusat kegiatan sehari-hari masyarakat Desa Tambak. Mencuci pakaian, mandi dan buang air. Masyarakat membuat jamban terapung di atas rakit. Terkadang ada yang buang air disaat yang lain sedang mencuci dan mandi di sekitar rakit. Warna air sungai kecokelatan dan terasa payau. Tepian sungai masih ditutupi dedaunan, ilalang dan pohon-pohon kayu.
Sungai Segati di ujung jalan Desa Tambak. Sungai yang dijadikan tempat mencuci, mandi dan buang air. Sungai ini juga terdapat banyak ikan.

Sungai ini memiliki adat dan pantang larangan. Ada anak-anak sungai yang tiap tahun dilelang oleh Ninik Mamak dan Tokoh Adat masyarakat Desa Tambak. Proses pelelangan dimulai pada bulan puasa. Pemenang lelang berhak mengambil ikan dalam sungai yang ia dapatkan dari lelang selama satu tahun.

Setelah masa lelang habis sungai dikembalikan pada Ninik Mamak. Bulan puasa tiba, lelang kembali dilakukan. Begitu Ninik Mamak menjaga sungai, sangat dilarang bagi mereka masyarakat menjual sungai.

Uang dari hasil pelelangan bisa mencapai belasan juta rupiah dari lima belas anak sungai yang ada. Uang dari hasil lelang dibagikan pada masjid, organisasi karang taruna dan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. “Tahun ini uang sungai dipegang Ketua Karang Taruan semua,” sindir Zulfikar, Bilal Masjid.

DESA TAMBAK MEMILIKI RUMAH IBADAH UNTUK YANG MUSLIM. Ada satu masjid tua, Masjid Istiqamah. Ada surau kecil dari papan dan berpanggung tepat di pinggir sungai. Sejarah berdiri surau ini pernah ada konflik antara Suku Maliling dan Melayu.

“Dulu ada sindir menyindir antar suku di sini,” kenang Zulfikar. Zulfikar dibilang miskin oleh almarhum Datuk Rajo Abdul Aziz, pernah jadi Kepala Desa Tambak. Zulfikar waktu itu jadi guru ngaji di surau suluk. Surau ini berada di belakang Taman Kanak-Kanak juga di pinggir sungai.
Sindir menyindir suku ini sampai pada rumah tangga warga lain yang kawin antara Melayu dan Maliling. Kata Zulfikar ada yang sampai cerai. Karena ada konflik ini mereka yang Melayu bangun surau baru dan tempat belajar mengaji pindah di surau itu.

Mereka bilang ini Surau Dagang karena dibuat oleh pedagang. Depan surau ini ada pemakaman warga, diantara makam ada makam keramat yang selalu dikunjungi orang dari berbagai daerah, kabupaten di Provinsi Riau. Makam keramat Tuan Syekh H Imam Syafii, Tuan Guru daripada persulukan Tariqat Naqsabandiyah. Tiap hari kedua dibulan Syawal orang-orang mengunjungi makam ini.
Surau Istiqamah. Pertama berdiri bernama Surau dagang.

Desa Tambak akan ramai dipadati oleh orang dari berbagai daerah, mereka memarkir kendaraan sepanjang jalan agar bisa menuju makam keramat. Orang yang datang disambut dengan silat pangean, silat yang dikenal berasal dari Kuantan Singingi. Pendekar desa siap berpakaian, memencak, beradu jurus, beradu kemapuan.

Silat pangean Desa Tambak berada dibawah perguruan Pendekar Malin Kuning, sekarang gurunya Saidi Marjohan. Belajar silat dibuka tiap bulan ramadhan. Selesai tarawih dan sebulan lamanya perserta belajar bela diri silat ini. Sekarang peminat silat sudah jauh berkurang. Ramadhan tahun ini hanya satu orang yang belajar. “Sudah sedikit peminat silat ini sekarang,” keluh Romansyah. Romansyah yang mengatur persilatan Desa Tambak sebelum Saidi Marjohan datang dan menurunkan ilmu silat.

Jumat malam, 29 Agustus 2014 dilaksanakan Musyawarah Besar ketiga Silat Pangean. Semua pendekar dari sepuluh laman datang ke Desa Tambak. Panggung, gelanggang, tenda dan celempong disiapkan depan rumah guru menyambut kedatangan pendekar. Seyogyanya musyawarah, pendekar membahas sebab kemunduran silat pangean dalam generasinya.

“Kita sudah undang semua pendekar dan malam ini kita bahas bagaimana perguruan ini semakin baik ke depannya,” ujar Saidi Marjohan. Berbagai masukan datang dari pendekar. “Saya usulkan kita sebagai pendekar atau guru-guru silat turun langsung ke laman-laman agar lebih mengetahui persoalan yang terjadi,” kata Datuk Rajo Bilang Bungsu, Abdul Wahid.

Jadi, selesai ziarah tadi pengunjung makam shalat zuhur dan makan bersama yang telah disediakan panitia. Begini tradisi masyarakat Desa Tambak mengisi bulan Syawal.

HARI-HARI DI BULAN SYAWAL BAGI MASYARAKAT TAMBAK LEBIH BANYAK DIHABISKAN UNTUK BERZIARAH DARI MAKAM SATU KE MAKAM YANG LAIN, dari daerah satu ke daerah yang lain. Ini dilakukan mulai lepas Idul Fitri. Untuk silaturrahmi pada sesama saudara dan kerabat dilakukan pada malam penyambutan idul fitri. Usai shalat isya dilakukan takbiran dari rumah ke rumah tanpa ada satu rumah pun yang terlewatkan. Tiap rumah yang disinggahi disediakan makanan. “Sampai tak tolok lai makan tu,” kata Hendri masyarakat Desa Tambak.

Satu hari, saya dan teman Kuliah Kerja Nyata namanya Arjinal diajak Zulfikar untuk makan siang di rumahnya. Lauknya asam pedas ikan barau, rending ayam, ada racikan mentimun sebagai tambahan. Makan bersama itu cukup membuat basah baju dan muka berkeringat, karena makanan yang disajikan baru saja masak dan masih hangat.

Selesai menyantap makanan kami dihidang seceret air kopi hangat. Sambil minum Zulfikar bercerita tentang petugas masjid yang dibagi-bagi berdasarkan latar belakang suku. Mayoritas Suku Melayu menjadi penghuni Desa Tambak. Yang lain, Maliling dan Piliang yang kini sudah berbaur dan sulit diketahui keaslian sukunya karena menggunakan bahasa Melayu setempat.

Jadi dalam cerita Zulkfikar, yang memegang kekuasaan sebagai Imam Masjid mereka yang berlatar belakang suku Maliling. Sebagai Bilal dan Siak mereka yang bersuku Melayu. Siak sama dengan Ghorim. Ini tradisi yang turun temurun. Jika Imam wafat, mereka yang Maliling rapat memilih Imam berikutnya. “Tidak boleh orang di luar Maliling ikut dalam rapat itu, kalaupun dibolehkan tidak berhak memberi keputusan,” jelas Zulfikar. Begitu juga dengan Bilal dan Siak.#

0 komentar:

Posting Komentar