Oleh Suryadi
SENIN
28 SEPTEMBER,
Trinata Pardede, Sekretaris Bahana Mahasiswa Universitas Riau, menyambangi
ruang Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Syafrial. Hajatnya hendak
menanyakan surat permohonan pencairan dana cetak. Sesuai prosedur, surat telah
dimasukkan kebagian tata usaha beberapa hari sebelumnya. Seorang petugas
mengatakan, surat Bahana sudah di ruangan Wakil Rektor.
Apa nak dikata, tiba di ruangan Syafrial,
Trinata Pardede justru dihadapkan pada pertanyaan soal majalah Bahana yang
terbit edisi Agustus lalu.
Majalah edisi ini memuat laporan soal
pencemaran nama baik yang pelaku dan korbannya sama-sama akademisi di Fakultas
Ekonomi, Universitas Riau. Marnis sebagai korban dan Sri Indarti sebagai
pelaku. Kasusnya sempat pada tahap penyidikan dan telah dinyatakan P21 oleh
Kejaksaan Tinggi Riau. Selangkah lagi hendak dilimpahkan ke pengadilan,
keduanya berdamai. Lalu keluarlah Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau
SP3 dari Penyidik Kepolisian Daerah Riau. (baca majalah Bahana Mahasiswa edisi Agustus
2015, Damai Sebelum Ke Meja Hijau).
Karena majalah inilah Syafrial melontarkan
kalimat pada Trinata Pardede, kalian
kalau tidak bisa dibina, dibinasakan! Alhasil, dana cetak pun tidak
dikeluarkan. Trinata keluar dengan tangan hampa. Usai pertemuan ini, Trinata
mengabari Pemimpin Umum Bahana, Ahlul Fadli. Malamnya, Badan Pengurus Harian
atau BPH Bahana bertemu. Semuanya sepakat untuk bertemu dengan Syafrial.
Rabu siang, saya, Jeffri, Trinata dan Eko
Permadi menghadap Syafrial di ruangannya. Kala itu Syafrial tengah sibuk menandatangani
proposal PKM yang menumpuk di meja kerjanya. Pertemuan ini sudah diagendakan
sebelumnya oleh Ahlul Fadli dan Syafrial. Namun Ahlul Fadli berhalangan hadir
dan mengutus saya beserta kru lain.
“Saya ditelpon oleh Wakil-wakil Dekan,
sampai Rektor juga menelpon saya, kenapa kalian masih mengangkat laporan itu? Itukan
sudah damai. Apa untungnya bagi kalian? Kalian tahu dampaknya apa?” Tanya Syafrial.
Perlu diketahui, saat kru Bahana mulai
liputan soal kasus ini, Sri Indarti dan Marnis belumlah berdamai. Bahkan saat
beberapa kali dijumpai, Marnis beserta pengacaranya ngotot sekali agar penyidik
segera melimpahkan berkas yang telah di P21 oleh Kejati Riau segera disidang di
Pengadilan. Namun keduanya menemui jalan kesepakatan damai.
Untuk menjalankan kerja jurnalisme yang
baik, informasi damai ini tentu tidak boleh Bahana lewatkan. Sehingga majalah
yang seharusnya cetak pada April lalu, kami perpanjang deadlinenya hingga
Agustus. Ini karena beberapa pertimbangan. Pertama, Bahana harus wawancara
kembali pihak-pihak terkait termasuk penyidik dan jaksa. Pertimbangan lain,
karena Juni dan Juli adalah masa Ramadhan dan mahasiswa mulai libur semester. Jikalau
Bahana mengabaikan informasi damai ini, tentulah laporan yang akan terbit ini
tidak berimbang dan kurang lengkap.
Persoalan Bahana dapat untung apa, Bahana
bukanlah lembaga komersil. Dana cetak Bahana bersumber dari seluruh mahasiswa. Tentu
majalah ini wajib diperoleh oleh mahasiswa kembali, karena ini adalah hak
mereka. Dan Bahana tidak pernah memungut biaya sepersen pun dari mahasiswa dan
dosen saat membagikan majalah.
Menjawab pertanyaan Syafrial soal dampak,
Bahana tidak punya hak untuk mengintervensi pembaca. Persoalan dampak itu
adalah hak pembaca setelah membaca laporan yang diterbitkan Bahana. Yang kita
inginkan saat menulis hal ini, supaya ada perbaikan ke depannya. Saya bertanya
pada Syafrial, dari laporan Bahana ini, mana hal-hal yang tidak sesuai dengan
fakta? Syafrial tidak menjawab pertanyaan ini.
Jika seandainya ada hal-hal yang tidak
sesuai dengan fakta, pembaca dan narasumber punya hak jawab. Hak untuk
mengklarifikasi. Diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan tanggapan
terhadap tulisan, terkait adakah yang tidak sesuai dengan fakta. Klarifikasi disertai
dengan pernyataan yang benar dan menggarisbawahi keterangan yang salah di media
yang diklompain oleh si pembaca. Namun tidak ada hak untuk menghentikan
penerbitan. (Baca undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 dan peraturan dewan pers
tentang hak jawab).
Syafrial justru menganjurkan Bahana agar
menyerahkan liputan-liputan Bahana pada Rektor sebelum diterbitkan. Dengan kata
lain, ini seperti penyensoran. Arahannya ini tidak sesuai dengan asas dunia
pers yang bebas dan demokratis. Ia mengaku pernah menjadi wartawan pada masa
orde baru. Dan pernah merasakan bagaimana pada masa itu liputannya tidak
dinaikkan. Syafrial tentulah tahu bagaimana susahnya hidup pers pada masa
kepemimpinan Soeharto.
“Ini perintah Rektor. Apa yang saya
sampaikan ini sesuai dengan perintah Rektor,” terang Syafrial kala itu.
Perdebatan sore itu pun tidak menemukan
hasil. Syafrial tetap bersikeras menahan uang cetak Bahana jika Bahana tidak
menurut perintah Rektor.
Senin 2 November, Bahana coba surati
Rektor. Isinya permohonan audiensi. Sesuai agenda, Rabu 4 November diadakan
pertemuan. Rektor berhalangan hadir dan menyerahkan surat tersebut ke Wakil
Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni. Syafrial yang dijumpai pagi itu di
ruangannya tetap enggan berbicara. “Kalau Bahana masih tetap ngotot dengan
gayanya dan tidak mau dibina, kita tidak usah bicara,” kata Syafrial.
Sambil berdiri, tanpa mempersilakan duduk,
perdebatan kembali terjadi. Alhasil uang cetak Bahana tetap tidak dikeluarkan.
KEJADIAN
INI TIDAK PERTAMA TERJADI DI BAHANA. Masa-masa sulit Bahana sudah terjadi pada
awal terbit. Dikarenakan liputan Bahana yang kritis. Misal pada masa Abu Bakar.
Kala itu ia sebagai Pemimpin Redaksi Bahana. Gara-gara mengkritik perhelatan
Budaya Melayu pada 1990, Abu Bakar dipecat dari kepengurusan Bahana oleh
almarhum Bosman Saleh, Rektor UR kala itu. Sedangkan Zulmizan, Sekretaris Redaksi
Bahana pada masa itu diturunkan jadi reporter.
Setelah itu jabatan Pemimpin Redaksi
diembankan pada Riva Muzamri. Generasi ini dikenal patuh pada Rektor. Sebab Rektor
melakukan penyensoran terhadap liputan-liputan Bahana sebelum diterbitkan. Saat
Zulmizan menjadi Pemimpin Redaksi, Bahana kembali kritis. Tidak ada lagi
penyensoran. Pemimpin Umum Bahana yang semula ditampuk oleh Pembantu Rektor
III, diambil alih oleh Zulmizan. Itulah awal mulanya Pemimpin Umum Bahana
dipimpin langsung oleh kru Bahana.
“Kita melakukan kudeta tak berdarah,” kata
Zulmizan saat mengenang masa itu. Almarhum M. Diah yang menjabat sebagai Rektor
kala itu juga memberi ruang kebebasan pada Bahana. Masa inilah, motto Bahana
yang semula mengawali almamater nusantara
menjadi mengembangkan tradisi akademis
yang kritis.
Perjalanan Bahana mengawali kebijakan
kampus tidak selamanya mulus. Masa-masa sulit itu kembali menimpa Bahana. Saat itu,
Rahmat selaku Pembantu Rektor III kembali menyusahkan Bahana dalam hal
pencairan dana cetak. Alasan utamanya soal SK Bahana. Padahal sejak Bahana
dibentuk, Rektor almarhum Muchtar Lutfi telah mensahkan Bahana lewat sepucuk
Surat Keputusan (SK) Rektor Unri
No.368/PT.22/0.1982. Tentang penerbitan Surat Kabar Kampus Mahasiswa, tanggal 9 September 1982.
Karena pada saat itu pada masa orde baru,
segala penerbitan pers harus mendapat izin dari pemerintah. Maka keluarlah STT
dari Mentri Penerangan RI dengan No 1013/SK/Ditjen PPG/STT/1983 tanggal 30 Mei
2983.
Perdebatan Bahana dengan Rahmat kala itu
sangat panjang. Alumni turun tangan. Niat hendak membubarkan Bahana pun muncul.
Tak tanggung-tanggung, Rahmat gelar pertemuan di hotel Pangeran. Kala itu hadir
beberapa Alumni, Wakil Dekan selingkungan Universitas Riau, BEM dan Presidium
BLM. Namun sebagian yang hadir malam itu tidak sepakat Bahana dibubarkan.
Kini, Syafrial sepertinya mengulang masa-masa
kelam Bahana. Syafrial telah menciderai kebebasan pers bagi Bahana Mahasiswa. Pantaskah
Bahana dibubarkan? Pantaskan Bahana mengalami penyensoran? Pantaskah Bahana
tidak didanai lagi cetaknya? Atau Bahkan dibinasakan?#
0 komentar:
Posting Komentar