Sabtu, 23 Januari 2016

Kru Bahana Dibinasakan?



Oleh Suryadi

SENIN 28 SEPTEMBER, Trinata Pardede, Sekretaris Bahana Mahasiswa Universitas Riau, menyambangi ruang Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Syafrial. Hajatnya hendak menanyakan surat permohonan pencairan dana cetak. Sesuai prosedur, surat telah dimasukkan kebagian tata usaha beberapa hari sebelumnya. Seorang petugas mengatakan, surat Bahana sudah di ruangan Wakil Rektor.

Apa nak dikata, tiba di ruangan Syafrial, Trinata Pardede justru dihadapkan pada pertanyaan soal majalah Bahana yang terbit edisi Agustus lalu.


Majalah edisi ini memuat laporan soal pencemaran nama baik yang pelaku dan korbannya sama-sama akademisi di Fakultas Ekonomi, Universitas Riau. Marnis sebagai korban dan Sri Indarti sebagai pelaku. Kasusnya sempat pada tahap penyidikan dan telah dinyatakan P21 oleh Kejaksaan Tinggi Riau. Selangkah lagi hendak dilimpahkan ke pengadilan, keduanya berdamai. Lalu keluarlah Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 dari Penyidik Kepolisian Daerah Riau. (baca majalah Bahana Mahasiswa edisi Agustus 2015, Damai Sebelum Ke Meja Hijau).

Karena majalah inilah Syafrial melontarkan kalimat pada Trinata Pardede, kalian kalau tidak bisa dibina, dibinasakan! Alhasil, dana cetak pun tidak dikeluarkan. Trinata keluar dengan tangan hampa. Usai pertemuan ini, Trinata mengabari Pemimpin Umum Bahana, Ahlul Fadli. Malamnya, Badan Pengurus Harian atau BPH Bahana bertemu. Semuanya sepakat untuk bertemu dengan Syafrial.

Rabu siang, saya, Jeffri, Trinata dan Eko Permadi menghadap Syafrial di ruangannya. Kala itu Syafrial tengah sibuk menandatangani proposal PKM yang menumpuk di meja kerjanya. Pertemuan ini sudah diagendakan sebelumnya oleh Ahlul Fadli dan Syafrial. Namun Ahlul Fadli berhalangan hadir dan mengutus saya beserta kru lain.

“Saya ditelpon oleh Wakil-wakil Dekan, sampai Rektor juga menelpon saya, kenapa kalian masih mengangkat laporan itu? Itukan sudah damai. Apa untungnya bagi kalian? Kalian tahu dampaknya apa?” Tanya Syafrial.

Perlu diketahui, saat kru Bahana mulai liputan soal kasus ini, Sri Indarti dan Marnis belumlah berdamai. Bahkan saat beberapa kali dijumpai, Marnis beserta pengacaranya ngotot sekali agar penyidik segera melimpahkan berkas yang telah di P21 oleh Kejati Riau segera disidang di Pengadilan. Namun keduanya menemui jalan kesepakatan damai.

Untuk menjalankan kerja jurnalisme yang baik, informasi damai ini tentu tidak boleh Bahana lewatkan. Sehingga majalah yang seharusnya cetak pada April lalu, kami perpanjang deadlinenya hingga Agustus. Ini karena beberapa pertimbangan. Pertama, Bahana harus wawancara kembali pihak-pihak terkait termasuk penyidik dan jaksa. Pertimbangan lain, karena Juni dan Juli adalah masa Ramadhan dan mahasiswa mulai libur semester. Jikalau Bahana mengabaikan informasi damai ini, tentulah laporan yang akan terbit ini tidak berimbang dan kurang lengkap.

Persoalan Bahana dapat untung apa, Bahana bukanlah lembaga komersil. Dana cetak Bahana bersumber dari seluruh mahasiswa. Tentu majalah ini wajib diperoleh oleh mahasiswa kembali, karena ini adalah hak mereka. Dan Bahana tidak pernah memungut biaya sepersen pun dari mahasiswa dan dosen saat membagikan majalah.

Menjawab pertanyaan Syafrial soal dampak, Bahana tidak punya hak untuk mengintervensi pembaca. Persoalan dampak itu adalah hak pembaca setelah membaca laporan yang diterbitkan Bahana. Yang kita inginkan saat menulis hal ini, supaya ada perbaikan ke depannya. Saya bertanya pada Syafrial, dari laporan Bahana ini, mana hal-hal yang tidak sesuai dengan fakta? Syafrial tidak menjawab pertanyaan ini.

Jika seandainya ada hal-hal yang tidak sesuai dengan fakta, pembaca dan narasumber punya hak jawab. Hak untuk mengklarifikasi. Diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan tanggapan terhadap tulisan, terkait adakah yang tidak sesuai dengan fakta. Klarifikasi disertai dengan pernyataan yang benar dan menggarisbawahi keterangan yang salah di media yang diklompain oleh si pembaca. Namun tidak ada hak untuk menghentikan penerbitan. (Baca undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 dan peraturan dewan pers tentang hak jawab).

Syafrial justru menganjurkan Bahana agar menyerahkan liputan-liputan Bahana pada Rektor sebelum diterbitkan. Dengan kata lain, ini seperti penyensoran. Arahannya ini tidak sesuai dengan asas dunia pers yang bebas dan demokratis. Ia mengaku pernah menjadi wartawan pada masa orde baru. Dan pernah merasakan bagaimana pada masa itu liputannya tidak dinaikkan. Syafrial tentulah tahu bagaimana susahnya hidup pers pada masa kepemimpinan Soeharto.

“Ini perintah Rektor. Apa yang saya sampaikan ini sesuai dengan perintah Rektor,” terang Syafrial kala itu.

Perdebatan sore itu pun tidak menemukan hasil. Syafrial tetap bersikeras menahan uang cetak Bahana jika Bahana tidak menurut perintah Rektor.

Senin 2 November, Bahana coba surati Rektor. Isinya permohonan audiensi. Sesuai agenda, Rabu 4 November diadakan pertemuan. Rektor berhalangan hadir dan menyerahkan surat tersebut ke Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni. Syafrial yang dijumpai pagi itu di ruangannya tetap enggan berbicara. “Kalau Bahana masih tetap ngotot dengan gayanya dan tidak mau dibina, kita tidak usah bicara,” kata Syafrial.

Sambil berdiri, tanpa mempersilakan duduk, perdebatan kembali terjadi. Alhasil uang cetak Bahana tetap tidak dikeluarkan.

KEJADIAN INI TIDAK PERTAMA TERJADI DI BAHANA. Masa-masa sulit Bahana sudah terjadi pada awal terbit. Dikarenakan liputan Bahana yang kritis. Misal pada masa Abu Bakar. Kala itu ia sebagai Pemimpin Redaksi Bahana. Gara-gara mengkritik perhelatan Budaya Melayu pada 1990, Abu Bakar dipecat dari kepengurusan Bahana oleh almarhum Bosman Saleh, Rektor UR kala itu. Sedangkan Zulmizan, Sekretaris Redaksi Bahana pada masa itu diturunkan jadi reporter.

Setelah itu jabatan Pemimpin Redaksi diembankan pada Riva Muzamri. Generasi ini dikenal patuh pada Rektor. Sebab Rektor melakukan penyensoran terhadap liputan-liputan Bahana sebelum diterbitkan. Saat Zulmizan menjadi Pemimpin Redaksi, Bahana kembali kritis. Tidak ada lagi penyensoran. Pemimpin Umum Bahana yang semula ditampuk oleh Pembantu Rektor III, diambil alih oleh Zulmizan. Itulah awal mulanya Pemimpin Umum Bahana dipimpin langsung oleh kru Bahana.

“Kita melakukan kudeta tak berdarah,” kata Zulmizan saat mengenang masa itu. Almarhum M. Diah yang menjabat sebagai Rektor kala itu juga memberi ruang kebebasan pada Bahana. Masa inilah, motto Bahana yang semula mengawali almamater nusantara menjadi mengembangkan tradisi akademis yang kritis.

Perjalanan Bahana mengawali kebijakan kampus tidak selamanya mulus. Masa-masa sulit itu kembali menimpa Bahana. Saat itu, Rahmat selaku Pembantu Rektor III kembali menyusahkan Bahana dalam hal pencairan dana cetak. Alasan utamanya soal SK Bahana. Padahal sejak Bahana dibentuk, Rektor almarhum Muchtar Lutfi telah mensahkan Bahana lewat sepucuk Surat Keputusan (SK) Rektor  Unri No.368/PT.22/0.1982. Tentang penerbitan Surat Kabar Kampus  Mahasiswa, tanggal 9 September 1982.

Karena pada saat itu pada masa orde baru, segala penerbitan pers harus mendapat izin dari pemerintah. Maka keluarlah STT dari Mentri Penerangan RI dengan No 1013/SK/Ditjen PPG/STT/1983 tanggal 30 Mei 2983.

Perdebatan Bahana dengan Rahmat kala itu sangat panjang. Alumni turun tangan. Niat hendak membubarkan Bahana pun muncul. Tak tanggung-tanggung, Rahmat gelar pertemuan di hotel Pangeran. Kala itu hadir beberapa Alumni, Wakil Dekan selingkungan Universitas Riau, BEM dan Presidium BLM. Namun sebagian yang hadir malam itu tidak sepakat Bahana dibubarkan.

Kini, Syafrial sepertinya mengulang masa-masa kelam Bahana. Syafrial telah menciderai kebebasan pers bagi Bahana Mahasiswa. Pantaskah Bahana dibubarkan? Pantaskan Bahana mengalami penyensoran? Pantaskah Bahana tidak didanai lagi cetaknya? Atau Bahkan dibinasakan?#

0 komentar:

Posting Komentar