Jumat, 27 November 2015

Selamat Jalan Guru Besar Komunikasi



Mengenang kembali kiprah sang guru besar. Dikeluarga, kampus dan bersama teman sejawat.

 Suryadi

“TEMAN MU BAGAIMANA NASIB SKRIPSINYA?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang pria sembari menandatangani bundelan kertas yang disebut skripsi. Ia tengah berbicara dengan salah satu mahasiswanya. Duduk di atas kursi roda, ia kembali bertanya pada Hotmaida Flora—mahasiswa yang datang mengunjunginya untuk meminta tanda tangan.


“Kok tidak ada yang meminta tanda tangan saya?” ujar Flora menirukan ucapan lelaki tersebut.

Flora dalah mahasiswa bimbingan dari Walder Elfrianus Tinambunan, dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi. Saat itu Flora mendatangi Rumah Sakit Eka Hospital, sebab sang pembimbing tengah terbaring sakit. Tinambunan harus mendapatkan perawatan intensif. Ia tidak dapat menajalankan aktivitas mengajar seperti biasa. Sehingga ia tak bisa datang ke kampus.

“Setelah itu, ia minta saya untuk memberitahu teman-teman untuk datang kapan saja jika butuh tanda tangannya,” kenang Flora.

WE TINAMBUNAN, IA KERAP DISAPA. Mengabdikan dirinya sebagai salah satu pengajar di Universitas Riau, Jurusan  Ilmu Komunikasi. Sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atau FISIP ini, ia memiliki andil besar. Ia ikut serta dalam lahirnya jurusan tempat ia mengabdi.

Program studi yang lahir pada 13 tahun lalu itu disetujui dikala kepemimpinan Dekan almarhum Alfian dan Rektor Muchtar Ahmad. Namun saat itu Ilmu Komunikasi masih berbentuk program studi di bawah Jurusan Administrasi. Pada 2010 barulah ia berbentuk jurusan.

Tinambunan memiliki konsentrasi ilmu dibidang komunikasi. Hal inilah yang membuat ia menjadi Guru Besar bidang komunikasi pertama di Riau.

“Beliau juga berperan dalam meningkatnya akreditasi jurusan,” ujar Rusmadi Awza, mantan Kepala Jurusan Ilmu Komunikasi.

Ia katakan bahwa Tinambunan berperan meningkatkan akreditasi dan mengembangkan jurusan. Saat ini akreditasi jurusan adalah B dan telah memiliki laboratorium. Jumlah dosen dan mahasiswa juga terus bertambah.

Tak hanya lahirnya jurusan. Saat ia masih menjadi mahasiswa di UR, Tinambunan juga memiliki peran lahirnya organisasi pers mahasiswa. Kala itu Rektor pertama UR, Muchtar Lutfi hendak membuat media mahasiswa milik universtas. Ia beri nama Bahana Mahasiswa.

Lahir ditengah orde baru pada 1983, setiap media pers harus memiliki izin terbit. Jadilah Tinambunan beserta Pembantu Rektor III, almarhum Anwar Syair pergi ke Jakarta. Mereka mengurus izin terbit ke Menteri Penerangan Republik Indonesia. Mereka juga membawa rekomendasi yang telah didapatkan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Penerangan Propinsi Riau. Hasilnya terbitlah STT untuk Bahana Mahasiswa pada 30 Mei 1983.

SEPERTINYA HAL DI KAMPUS, dikeluarga pun Tinambunan memiliki peran yang penting.

Setelah menikah ia memiliki lima anak. Empat diantaranya telah berumah tangga, sedangkan sibungsu tengah studi Doktoral bidang hukum di Universitas Padjajaran. Anak dari Tinambunan mulai dari sulung ialah Rosdiana Berliana, Eviana Darnawati, Reswandi Stepanus, Harle dan Wahyu Donri.

Menurut istri, Tinambunan merupakan orang yang bertanggungjawab terhadap tugas-tugasnya. “Tidak mau istirahat sebelum selesai, walaupun sudah lelah,” ujarnya. Ia memiliki kenangan tersendiri jika berkaitan dengan tugas yang dilakukan Tinambunan.

Ketika mendapat tugas di luar kota, Tinambunan kerap membawa istri. Ketika ia mengajar, terkadang istrinya akan diajak jalan oleh rekan, atau membawaa istrinya ke dalam kelas.

“Saya memperhatikan beliau menyampaikan materi, ketika perjalanan pulang, ia akan meminta komentar saya,” kenangnya. Tinambunan meminta masukan dari istri jika ada yang kurang dari cara penyampaian materinya, sehingga untuk selanjutnya akan lebih baik.

Tinambunan bertemu dengan istri saat bekerja menjadi karyawan di perusahaan penggalian minyak di Aceh. Istrinya bekerja di Medan sebagai perawat dan tinggal di asrama. Saat itu Tinambunan menemani rekannya datang ke asrama tersebut. Temannya hendak berjumpa dengan si pujaan hati. Di sanalah Tinambunan melihat istrinya.

Sempat berbincang-bincang, namun keduanya harus berpisah. Tinambunan kembali ke Aceh dan istri tetap di Medan. Akhirnya komunikasi lewat surat jadi pilihan. “Kalau lewat surat, hari ini dikirim, tiga hari kemudian baru kita terima,” kenang istri Tinambunan.

Lama berkomunikasi dan akhirnya mereka memutuskan menikah dan menetap di Pekanbaru. Di sini istri Tinambunan bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Bhayangkara. Setelah berkeluarga, Tinambunan kembali ke ranah akademis dan mengabdi sebagai dosen.

MENGABDI LAMA DIPENDIDIKAN, peran Tinambunan semakin kuat. Sayang tubuhnya lambat laun melemah. Kondisi kesehatannya mulai bermasalah.

Saat itu tengah mendapat tugas mengajar di kampus Universitas Sari Mutiara Indonesia di Medan. Ia juga medapat jabatan tambahan sebagai Dekan di Fakultas Ilmu Komunikasi dan Perpustakaan di sana.

Tinambunan kala itu coba hubungi istri dan mengabari bahwa badannya terasa sakit. Mendengar hal itu, istri meminta agar ia segera kembali ke Pekabaru dan beristirahat. “Dia sudah merasa tidak sehat, tapi terlalu sayang untuk tinggalkan pekerjaan,” keluh istrinya.

Juli 2014 Tinambunan dibawa ke Rumah Sakit Eka Hospital oleh istri dan anak bungsunya, Donri. Saat itu sedang libur semester dan Donri memang memiliki rencana kembali ke Pekanbaru. Ditambah mendengar kabar bahwa ayahnya tengah sakit, ia segera berangkat dari Bandung.

Kedatangan pertama, ia hanya diperiksa dan segera kembali ke rumah. Namun dimalam hari ia terus merasa gelisah dan tak bisa istirahat. Keesokan harinya ia kembali dibawa ke Eka Hospital. Saat hendak turun dari mobil, Tinambunan katakan kakinya tak bisa digerakkan.

Dari hasil pemeriksaan dokter, Tinambunan mengalami penyempitan saraf dan pengeroposan tulang. Inilah yang membuat Tinambunan lumpuh. Segala aktifitasnya dibantu kursi roda. “Itu tidak bisa dioperasi,” ujar istri Tinambunan, mengingat kembali yang dikatakan dokter.

Minggu awal Agustus, ia dibawa berobat ke salah satu rumah sakit di Malaka, Malaysia. Istri Tinambunan bersama Donri, anaknya yang mendampingi ketika itu. Di sana Tinambunan dirawat selama lima hari dan penjelasan dokter yang memeriksanya sama seperti dokter di Pekanbaru. Operasi tetap tak bisa dilakukan.

Tinambunan langsung dibawa pulang ke Pekanbaru dan terus menjalani perawatan, mulai perawatan medis sampai alternatif. Sampai pada November kesehatannya terus menurun.

Keluarga selalu mengupayakan pengobatan untuk penyembuhan Tinambunan. Dari acara adat untuk menggalang doa demi kesembuhan Tinambunan sudah dibuat. Istri mengundang keluarga terdekat untuk datang ke rumah, jamuan adat sudah disediakan seperti ikan mas dan boras si pir ni tondi. Beras yang ditaburkan di atas kepala, untuk kesembuhan dan keselamatan.

Ditengah keluarga yang hadir, Tinambunan berpesan, agar Donri tetap melanjutkan pendidikan sampai selesai. “Biaya untuk mu sudah Bapak siapkan,” kata istri Tinambunan meniru perkataan almarhum sambil menyapu air mata yang mengalir di pipinya.

Selama sakit, Tinambunan tetap melakukan pekerjaan rutin di rumah meski duduk di atas kursi roda. Menulis dan membaca tetaap ia lakukan sambil menahan sakit yang bersarang ditubuhnya. Sebagai seorang dosen, ia tetap menerima kunjungan mahasiswa yang hendak bimbingan skripsi. “Sampai kami harus membuat jadwal mulai pukul 10 hingga 11 pagi, bagi mahasiswa yang mau konsultasi,” kenang istri Tinambunan.

Elita Boru Pandiangan juga pernah bimbingan dengan almarhum. Elita juga alumni Jurusan Ilmu Komunikasi. Menurut Elita, Tinambunan sosok dosen yang dekat dengan mahasiswa. Elita diminta untuk menitipkan saja skripsi miliknya dan akan dibaca dulu sama Tinambunan. “Padahal waktu itu ia sedang sakit dan duduk di atas kuris roda,” kenang Elita.

KONDISI TINAMBUNAN TERUS MENURUN. Keluarga segera membawanya ke RS Bhayangkara Pekanbaru. Setelah dirawat satu malam, keesokannya ia dipindahkan ke RS Santa Maria.

Saat tengah hari, Tinambunan tiba-tiba dibawa ke ruangan Intensive Care Unit atau ICU. Selang beberapa saat, dokter meminta keluarga untuk masuk dalam ruangan. Tetangga, sanak saudara, istri dan anak-anaknya langsung ke dalam. Pukul satu siang 25 November tahun lalu Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Riau itu menghembuskan nafas terakhir. Dan sorenya, pukul 5 ia dibawa ke rumah untuk dilakukan acara keluarga dan adat sebelum dikuburkaan.
“Semua rumah sakit sudah aku jalani, malas sebenarnya aku.”

Istri Tinambunan mengingat kembali perkataan almarhum selama ia merawat suaminya tersebut.#

0 komentar:

Posting Komentar