Mengenang kembali
kiprah sang guru besar. Dikeluarga, kampus dan bersama teman sejawat.
Suryadi
“TEMAN MU BAGAIMANA NASIB SKRIPSINYA?” Pertanyaan itu
dilontarkan seorang pria sembari menandatangani bundelan kertas yang disebut
skripsi. Ia tengah berbicara dengan salah satu mahasiswanya. Duduk di atas
kursi roda, ia kembali bertanya pada Hotmaida Flora—mahasiswa yang datang
mengunjunginya untuk meminta tanda tangan.
“Kok tidak ada yang meminta tanda tangan
saya?” ujar Flora menirukan ucapan lelaki tersebut.
Flora dalah mahasiswa bimbingan dari Walder
Elfrianus Tinambunan, dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi. Saat itu Flora
mendatangi Rumah Sakit Eka Hospital, sebab sang pembimbing tengah terbaring
sakit. Tinambunan harus mendapatkan perawatan intensif. Ia tidak dapat
menajalankan aktivitas mengajar seperti biasa. Sehingga ia tak bisa datang ke
kampus.
“Setelah itu, ia minta saya untuk
memberitahu teman-teman untuk datang kapan saja jika butuh tanda tangannya,”
kenang Flora.
WE TINAMBUNAN, IA KERAP DISAPA. Mengabdikan dirinya
sebagai salah satu pengajar di Universitas Riau, Jurusan Ilmu Komunikasi. Sebagai dosen di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atau FISIP ini, ia memiliki andil besar. Ia ikut
serta dalam lahirnya jurusan tempat ia mengabdi.
Program studi yang lahir pada 13 tahun lalu
itu disetujui dikala kepemimpinan Dekan almarhum Alfian dan Rektor Muchtar
Ahmad. Namun saat itu Ilmu Komunikasi masih berbentuk program studi di bawah
Jurusan Administrasi. Pada 2010 barulah ia berbentuk jurusan.
Tinambunan memiliki konsentrasi ilmu
dibidang komunikasi. Hal inilah yang membuat ia menjadi Guru Besar bidang
komunikasi pertama di Riau.
“Beliau juga berperan dalam meningkatnya
akreditasi jurusan,” ujar Rusmadi Awza, mantan Kepala Jurusan Ilmu Komunikasi.
Ia katakan bahwa Tinambunan berperan
meningkatkan akreditasi dan mengembangkan jurusan. Saat ini akreditasi jurusan
adalah B dan telah memiliki laboratorium. Jumlah dosen dan mahasiswa juga terus
bertambah.
Tak hanya lahirnya jurusan. Saat ia masih
menjadi mahasiswa di UR, Tinambunan juga memiliki peran lahirnya organisasi
pers mahasiswa. Kala itu Rektor pertama UR, Muchtar Lutfi hendak membuat media
mahasiswa milik universtas. Ia beri nama Bahana Mahasiswa.
Lahir ditengah orde baru pada 1983, setiap
media pers harus memiliki izin terbit. Jadilah Tinambunan beserta Pembantu
Rektor III, almarhum Anwar Syair pergi ke Jakarta. Mereka mengurus izin terbit
ke Menteri Penerangan Republik Indonesia. Mereka juga membawa rekomendasi yang
telah didapatkan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Penerangan Propinsi
Riau. Hasilnya terbitlah STT untuk Bahana Mahasiswa pada 30 Mei 1983.
SEPERTINYA HAL DI KAMPUS, dikeluarga pun
Tinambunan memiliki peran yang penting.
Setelah menikah ia memiliki lima anak.
Empat diantaranya telah berumah tangga, sedangkan sibungsu tengah studi
Doktoral bidang hukum di Universitas Padjajaran. Anak dari Tinambunan mulai
dari sulung ialah Rosdiana Berliana, Eviana Darnawati, Reswandi Stepanus, Harle
dan Wahyu Donri.
Menurut istri, Tinambunan merupakan orang
yang bertanggungjawab terhadap tugas-tugasnya. “Tidak mau istirahat sebelum
selesai, walaupun sudah lelah,” ujarnya. Ia memiliki kenangan tersendiri jika
berkaitan dengan tugas yang dilakukan Tinambunan.
Ketika mendapat tugas di luar kota,
Tinambunan kerap membawa istri. Ketika ia mengajar, terkadang istrinya akan
diajak jalan oleh rekan, atau membawaa istrinya ke dalam kelas.
“Saya memperhatikan beliau menyampaikan
materi, ketika perjalanan pulang, ia akan meminta komentar saya,” kenangnya.
Tinambunan meminta masukan dari istri jika ada yang kurang dari cara
penyampaian materinya, sehingga untuk selanjutnya akan lebih baik.
Tinambunan bertemu dengan istri saat
bekerja menjadi karyawan di perusahaan penggalian minyak di Aceh. Istrinya
bekerja di Medan sebagai perawat dan tinggal di asrama. Saat itu Tinambunan
menemani rekannya datang ke asrama tersebut. Temannya hendak berjumpa dengan si
pujaan hati. Di sanalah Tinambunan melihat istrinya.
Sempat berbincang-bincang, namun keduanya
harus berpisah. Tinambunan kembali ke Aceh dan istri tetap di Medan. Akhirnya
komunikasi lewat surat jadi pilihan. “Kalau lewat surat, hari ini dikirim, tiga
hari kemudian baru kita terima,” kenang istri Tinambunan.
Lama berkomunikasi dan akhirnya mereka
memutuskan menikah dan menetap di Pekanbaru. Di sini istri Tinambunan bekerja
sebagai perawat di Rumah Sakit Bhayangkara. Setelah berkeluarga, Tinambunan
kembali ke ranah akademis dan mengabdi sebagai dosen.
MENGABDI LAMA DIPENDIDIKAN, peran Tinambunan
semakin kuat. Sayang tubuhnya lambat laun melemah. Kondisi kesehatannya mulai
bermasalah.
Saat itu tengah mendapat tugas mengajar di
kampus Universitas Sari Mutiara Indonesia di Medan. Ia juga medapat jabatan
tambahan sebagai Dekan di Fakultas Ilmu Komunikasi dan Perpustakaan di sana.
Tinambunan kala itu coba hubungi istri dan
mengabari bahwa badannya terasa sakit. Mendengar hal itu, istri meminta agar ia
segera kembali ke Pekabaru dan beristirahat. “Dia sudah merasa tidak sehat,
tapi terlalu sayang untuk tinggalkan pekerjaan,” keluh istrinya.
Juli 2014 Tinambunan dibawa ke Rumah Sakit
Eka Hospital oleh istri dan anak bungsunya, Donri. Saat itu sedang libur
semester dan Donri memang memiliki rencana kembali ke Pekanbaru. Ditambah
mendengar kabar bahwa ayahnya tengah sakit, ia segera berangkat dari Bandung.
Kedatangan pertama, ia hanya diperiksa dan
segera kembali ke rumah. Namun dimalam hari ia terus merasa gelisah dan tak
bisa istirahat. Keesokan harinya ia kembali dibawa ke Eka Hospital. Saat hendak
turun dari mobil, Tinambunan katakan kakinya tak bisa digerakkan.
Dari hasil pemeriksaan dokter, Tinambunan
mengalami penyempitan saraf dan pengeroposan tulang. Inilah yang membuat
Tinambunan lumpuh. Segala aktifitasnya dibantu kursi roda. “Itu tidak bisa
dioperasi,” ujar istri Tinambunan, mengingat kembali yang dikatakan dokter.
Minggu awal Agustus, ia dibawa berobat ke
salah satu rumah sakit di Malaka, Malaysia. Istri Tinambunan bersama Donri,
anaknya yang mendampingi ketika itu. Di sana Tinambunan dirawat selama lima
hari dan penjelasan dokter yang memeriksanya sama seperti dokter di Pekanbaru.
Operasi tetap tak bisa dilakukan.
Tinambunan langsung dibawa pulang ke
Pekanbaru dan terus menjalani perawatan, mulai perawatan medis sampai alternatif.
Sampai pada November kesehatannya terus menurun.
Keluarga selalu mengupayakan pengobatan
untuk penyembuhan Tinambunan. Dari acara adat untuk menggalang doa demi
kesembuhan Tinambunan sudah dibuat. Istri mengundang keluarga terdekat untuk
datang ke rumah, jamuan adat sudah disediakan seperti ikan mas dan boras si
pir ni tondi. Beras yang ditaburkan di atas kepala, untuk kesembuhan dan
keselamatan.
Ditengah keluarga yang hadir, Tinambunan
berpesan, agar Donri tetap melanjutkan pendidikan sampai selesai. “Biaya untuk
mu sudah Bapak siapkan,” kata istri Tinambunan meniru perkataan almarhum sambil
menyapu air mata yang mengalir di pipinya.
Selama sakit, Tinambunan tetap melakukan
pekerjaan rutin di rumah meski duduk di atas kursi roda. Menulis dan membaca tetaap
ia lakukan sambil menahan sakit yang bersarang ditubuhnya. Sebagai seorang
dosen, ia tetap menerima kunjungan mahasiswa yang hendak bimbingan skripsi.
“Sampai kami harus membuat jadwal mulai pukul 10 hingga 11 pagi, bagi mahasiswa
yang mau konsultasi,” kenang istri Tinambunan.
Elita Boru Pandiangan juga pernah bimbingan
dengan almarhum. Elita juga alumni Jurusan Ilmu Komunikasi. Menurut Elita,
Tinambunan sosok dosen yang dekat dengan mahasiswa. Elita diminta untuk
menitipkan saja skripsi miliknya dan akan dibaca dulu sama Tinambunan. “Padahal
waktu itu ia sedang sakit dan duduk di atas kuris roda,” kenang Elita.
KONDISI TINAMBUNAN TERUS MENURUN. Keluarga segera
membawanya ke RS Bhayangkara Pekanbaru. Setelah dirawat satu malam, keesokannya
ia dipindahkan ke RS Santa Maria.
Saat tengah hari, Tinambunan tiba-tiba
dibawa ke ruangan Intensive Care Unit atau ICU. Selang beberapa saat,
dokter meminta keluarga untuk masuk dalam ruangan. Tetangga, sanak saudara,
istri dan anak-anaknya langsung ke dalam. Pukul satu siang 25 November tahun
lalu Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Riau itu menghembuskan nafas
terakhir. Dan sorenya, pukul 5 ia dibawa ke rumah untuk dilakukan acara
keluarga dan adat sebelum dikuburkaan.
“Semua rumah sakit sudah aku jalani, malas
sebenarnya aku.”
Istri Tinambunan mengingat kembali
perkataan almarhum selama ia merawat suaminya tersebut.#
0 komentar:
Posting Komentar