PERTENGAHAN MARET 2014, orang
nomor satu di Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang kerap disapa SBY,
menginjakkan kakinya di Riau. Ia langsung pimpin rapat penanggulangan bencana
yang kerap hadir di Riau. Bencana tahunan dikala kemarau menjelang. Asap.
Kala itu SBY keluarkan unek-uneknya bahwa banyak
laporan yang ia terima dimedia sosial. Banyak masyarakat yang marah dan
melaporkan asap yang sudah melanda Riau. Ia katakan sampai 9000 laporan soal
ini.
Dari nationalgeographic.co.id dijelaskan bahwa
dua alat pendeteksi polusi di kota Pekanbaru menunjukkan status berbahaya. Angka
yang ditunjukkan ialah 305 da 402 PSI (Pollutant Standart Index). Dimana
jika angka yang ditunjukkan sudah melebihi 300 Psi, maka pencemaran yang
terjadi sudah berbahaya bagi manusia, tumbuhan dan hewan.
Tingginya kadar pencemaran tersebut disebabkan hutan
yang terbakar di Provinsi Riau. Dari data yang dihimpun oleh Satgas Tanggap
Darurat Asap Riau, sekitar 7972 hektar lahan dan hutan di Riau terbakar.
Kebakaran ini menyebabkan lumpuhnya berbagai kegiatan,
baik sosial, ekonomi dan pendidkan. Paling parah kesehatan masyarakat jadi
tumbalnya. Lebih dari 10 ribu masyarakat Riau menderita Infeksi Saluran
Pernapasan Akut atau ISPA. Sekolah diliburkan lebih dari satu minggu. Penerbangan
banyak yang tertunda.
Menanggulangi persoalan ini, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana menjelaskan telah melakukan operasi pemadaman. Dimulai dari
status tanggap darurat oleh Gubernur Riau pada 26 Februari 2014 hingga 4 Maret
2014. Dan tak tanggung-tanggung, dana APBN yang dugunakan mencapai 164 Miliar. Baik
untuk penyewaan alat hingga logistik.
Saat itu ditetapkan bahwa bencana asap yang terjadi
pada 2014 adalah bencana asap terparah dalam kurun waktu 17 tahun terakhir. Hingga
membuat SBY harus meminta maaf kepada negara tetangga karena turut merasakan
dampak asap tersebut.
Saat itu, bencana berhasil diatasi SBY. Tentunya SBY
berpesan agar ini tidak terjadi lagi.
Apakah bencana benar tak terulang kembali?
Sayangnya itu hanya tinggal khayalan. Berganti dari era
SBY ke Jokowi, masalah yang sama timbul kembali. Asap tetap menggangu aktivitas
warga.
Jelang akhir November 2014, orang nomor satu di
Indonesia kembali menginjakkan kaki di Riau. Tepatnya di daerah Sungai Tohor
Kabupaten Kepulauan Meranti. Kali ini Presiden RI juga dibawa ke Riau melalui
media sosial.
Penyebabnya Abdul Manan, warga dari Sungai Tohor
membuat petisi pada Jokowi melalui change.org. Petisi yang ia buat
meminta Jokowi untuk blusukan ke daerah langganan asap tersebut. Abdul Manan
menuliskan agar Jokowi datang dan bisa merasakan bagaimana kehidupan
sehari-hari masyarakat di sana.
Gayung bersambut, Jokowi datang pada 26 November 2014
bersama menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya. Ia melihat
langsung kondisi lahan gambut yang terbakar di area tersebut.
PESIMISTIS WARGA DISAMPAIKAN
terhadap minimnya peran pemerintah dalam penanggulangan bencana kebakaran di
Riau ini. Setiap elemen masyarakat mulai mendorong pemerintah untuk lebih
berperan aktif dalam penanggulangan bencana ini.
Salah satunya dari Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana
Lingkungan Hidup Nasional. Walhi melaporkan 117 perusahaan terindikasi terlibat
dalam pembakaran lahan. Dari mongabay.co.id, Muhnur Stayahaprabu,
Manajer Advokasi Hukum dan kebijakan Walhi Nasional menjelaskan ada 33
perusahaan disektor perkebunan dan 84 dari sektor Hutan Tanaman Industri atau
HTI.
Mereka mensomasi pemerintah untuk segera menindaklanjuti
agar pemerintah membuat kebijakan yang melindungi warga negaranya dari ancaman
kadar udara yang berbahaya bagi kesehatan, serta meminta agar seluruh izin
perusahaan tersebut dievaluasi.
Menanggapi hal ini dilakukanlah evaluasi terhadap
perizinan perusahaan oleh pemerintah. Dibentuk tim gabungan dari berbagai
instansi pemerintah untuk melakukan audit kepatuhan. Diantaranya Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan atua UKP4, Kementerian
Kehutanan, BP REDD+, Kementrian Pertanian dan Kementrian Lingkungan Hidup. Untuk
Riau, tim ini bekerja sama dengan Pemerintah Daerah, Polda dan Kejaksaan.
Hasil dri audit ini ada 17 perusahaan yang bermasalah
dengan perizinannya dan diminta untuk dievaluasi. Beberapa perusahaan tersebut
saat ini sedang menjalani proses hukum.
Bagaimana dengan Universitas Riau?
Tak ketinggalan, melihat bencana kabut asap tersebut,
pada 7 Maret 2014 Rektor kala itu Ashaluddin Jalil membentuk tim. Tim ini
disebut Satuan Tugas Solusi Tuntas Bencan Asap. Tuga Satgas ini ialah
mengerahkan akademisi untuk melakukan penelitian terhadap lahan gambut,
menganalisa secara hukum lingkungan dan teknologi untuk pencegahan asap
tersebut.
Ide pembentukan tim ini bermula dari diskusi lewat
media sosial yang dilakukan oleh beberapa dosen dan akhirnya dibawa ke dalam
rapat senat. Dari Satgas ini akhirnya dibentuk menjadi Pusat Studi Bencan UR. Tim
yang dibentuk ditengah maraknya kebakaran hutan di 2014 ini pernah turun ke
lokasi kebakaran hutan di Bengkalis.
Haris Gunawan dosen di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Riau, juga anggota tim pusat Studi Bencana. Suryadi
dan Jeffri Novrizal Torade Sianturi, kru Bahana Mahasiswa UR berkesempatan
untuk berbincang dengan Haris. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana tanggapan pusat studi bencana
setelah melihat lokasi kebakaran?
Kita punya kesepakatan dengan universitas untuk bersikap
lebih aktif. Bukannya hanya lebih responsif namun juga harus melakukan
upaya-upaya preventif. Seperti melakukan pencegahan. Ini adalah langkah yang
paling strategis.
Semua pihak harus kita yakinkan bahwa dengan melakukan
upaya pencegahan, ini adalah kunci agar bencana asap tidak terjadi lagi.
Kalau dilihat dari lokasi kejadian, ketika sudah
terjadi kebakaran, tidak ada apa-apa lagi yang bisa dilakukan. Api sudah
menyala dan besar.
Pencegahan sepeti apa?
Banyak. Misalnya kita memperkuat dengan melakukan
kajian deteksi dini di lapangan. Jika tidak ada hujan dalam satu minggu, maka
masyarakat harus meningkatkan kewaspadaannya.
Lakukan patroli, memeriksa
ketersediaan air di kanal. Ini untuk persiapan jika ada kebakaran, masyarakat
langsung bisa memadamkan.
Apa yang tim temukan dari lapangan?
Kita melihat lokasi kebakaran ini jauh dari akses
publik. Lahan yang dibuka dengan cara bakar ini jauh di dalam perkebunan atau
hutan. Tidak ada yang dipinggir jalan. Masalahnya bukan di kebun sawit atau akasia, tapi jauh ke
dalam. Masyarakat ini membuka kebun dan lalai dalam proses membersihkan
lahannya.
Apakah itu temuan tim di lapangan soal
penyebab kebakaran?
Yang kita temukan ada kelompok-kelompok masyarakat yang
mengerjakan pembukaan lahan sambil merokok dan lupa mematikan apinya.
Bagaimana dengan pernyataan SBY, perusahaan
di Riau harus bertanggung jawab atas kebakaran hutan ini?
Untuk ini sudah ada evaluasi independen yang dilakukan
UKP4. Ada 17 perusahaan yang dinyatakan tak patuh dalam penanganan karhutla. Ini
jadi tamparan dibidang usaha tentunya. Mereka dinilai tidak serius dalam
penanganan karhutla, jadi mereka memang belum optimal.
Dari evaluasi ini juga ada tidak lanjut yang harus
dilakukan oleh perusahaan. Ada format 8 kolom atau F8K namanya. Ini juga
diperkuat dengan Pergub nomor 5 tahun 2015. Perusahaan harus menyiapkan
alat-alat pencegahan dan penanggulangan karhutla diarea yang jadi tanggungjawab
mereka.
Bagaimana dengan perusahaan yang tetap
degil?
Mereka harus dievaluasi tentunya. Kalau mereka memang melanggar
ketentuan bisa ada teguran administrasi atau izinnya dicabut.
Beberapa perusahaan terindikasi melakuka
pembakaran, bagaimana menurut anda?
Saya tidak bisa secara detail menjawab apakah
perusahaan ataupun oknum perusahaan yang membakar lahan. Sebab jika dilogikan,
tidak mungkin mereka membakar lahan kebun sendiri. Bisa saja ada konflik
internal dalam perusahaan itu sendiri.
Misalnya ada konflik antara karyawan dan bos atau
dengan manajer lapangan. Karena kesal, bisa saja dibakar oleh mereka. Ya ini
hanya hipotesis.
Tapi kalau menurut saya ini harus dikaji lebih mendalam
lagi. bagaimana kajian akademiknya. Kita sebagai akademisi tidak bisa menebak
perusahaan mebakar, tapi yang jelas kebakaran sudah terjadi.
Terkadang perusahaan sering berkonflik
dengan masyarakat. Apa tanggapan anda?
Menurut saya masyarakat itu harus kita bedakan dua. Pertama
masyarakat asli, kedua masyarakat teritorial atau desa-desa yang dibentuk. Masyarakat
yang pertama sebenarnya disebabkan hak-hak mereka terampas. Tipe kedua
dikarenakan tidak cepatnya perusahaan mengantisipasi.
Masyarakat tidak percaya lagi dengan perusahaan. Di situ
dunia kampus masuk. Dari diskusi-diskusi, kita bisa katakan, tidak ada lagi
konversi hutan alam, tidak ada lagi penanaman akasia, tidak ada lagi monokultur
sagu. Kita harus duduk dan pemerintah harus memfasilitasi dan ini bisa
diselesaikan.
Setujukah anda dengan pelarangan membuka
lahan dengan membakar?
Sangat setuju. Tapi aturan ini bukan suatu barang yang
mudah dipegang dan dibentuk. Kenyataannya sudah 18 tahun persoalan ini selalu
terjadi. Banyak pemain, kepentingan dan pembiaran yang dilakukan.
Pemain?
Misalnya kita identifikasi pemain ini dari hulu ke
hilir. Pada 1980 an sampai 2000, terjadi konversi hutan rawa gambut secara
masif. Kalau ditanya siapa pemainnya kita lihat saja sendiri. Kalangan menengah
atau bawah bisa leluasa membuka lahan. Memanfaatkan gambut tapi tak dikelola
dengan serius. Anda bisa terjemahkanlah siapa pelakunya. Entah kalangan bisnis
besar, kecil, kelompok masyarakat atau bisa ada suasana politiknya. Ini jadi
kempleks.
Yang jelas kita sebagai akademisi jangan terjebak di sana.
Kita harus mengidentifikasi dan melakukan eksekusi yang tepat.
Dengan cara apa?
Saya diminta langsung oleh Presiden sebagai tim
pengurus persoalan asap. Kita lihat dari 2014 dan sekarang 2015 kebakaran tak
terlalu banyak. Kita bisa mengontrol orang-orang di lapangan untuk lebih
waspada.
Setelah turun ke lapangan, apa langkah
selanjutnya dari tim Pusat Studi Bencana?
Kita melakukan upaya penguatan penelitian, aspek
pencegahan. Terus mendesain penelitian terkait bagaimana penguatan pencegahan
dini. Penguatan koeasi masyarakat, bagaimana mereka lebih berdaya mengahadapi
karhutla.
Dari aspek geofisik kita diberi kepercayaan pemerintah
untuk merumuskan pembahasan gambut kembali. Kita juga dilibatkan pemerintah
pusat untuk mencari format bagaimana mengelola gambut sekaligus tidak terjadi
kebakaran.
Kita juga menyiapkan Kuliah Kerja Nyata—Kukerta—Kebangsaan dengan tema bencana
asap. Mengadakan seminar dan workshop. Menerbitkan buku Jerebu Di
Negeri Kami dan kumpulan puisi puisi Anak Jerebu.
Terkait hukum lingkungan bagaimana?
Untuk ini kita memang belum maksimal karena tim kita
studi Doktor di Jakarta. Dari aspek legal itu kita ingin memperjuangkan Inpres
khusus tentang Riau menyelesaikan asap. Kita sudah menyelesaikan draft Inpresnya.
Anda katakan ingin menghentikan konversi
hutan gambut ke HTI, bagaimana perusahaan yang bergerak dibidang itu?
Saya pikir sudah cukup itu konversi sawit, sudah cukup
itu konversi HTI. Kita cari alternatif lainlah.
Seperti apa?
Seperti konsep Palus Sompi Kultur atau
budaya berbasis raawa. Tanaman-tanaman yang cocok dengan air, sagu misalnya.
Apa yang dilakukan dalam waktu dekat?
Kita akan buat workshop tentang Karhutla di Bengkalis.
Kukerta kebangsaan. Kita harap semua komponen saling bergandeng agar apa yang
kita lakukan menjadi rujukan.#
0 komentar:
Posting Komentar