Sabtu, 28 November 2015

Pusat Studi Bencana UR dan Hasilnya



PERTENGAHAN MARET 2014, orang nomor satu di Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang kerap disapa SBY, menginjakkan kakinya di Riau. Ia langsung pimpin rapat penanggulangan bencana yang kerap hadir di Riau. Bencana tahunan dikala kemarau menjelang. Asap.


Kala itu SBY keluarkan unek-uneknya bahwa banyak laporan yang ia terima dimedia sosial. Banyak masyarakat yang marah dan melaporkan asap yang sudah melanda Riau. Ia katakan sampai 9000 laporan soal ini.

Dari nationalgeographic.co.id dijelaskan bahwa dua alat pendeteksi polusi di kota Pekanbaru menunjukkan status berbahaya. Angka yang ditunjukkan ialah 305 da 402 PSI (Pollutant Standart Index). Dimana jika angka yang ditunjukkan sudah melebihi 300 Psi, maka pencemaran yang terjadi sudah berbahaya bagi manusia, tumbuhan dan hewan.

Tingginya kadar pencemaran tersebut disebabkan hutan yang terbakar di Provinsi Riau. Dari data yang dihimpun oleh Satgas Tanggap Darurat Asap Riau, sekitar 7972 hektar lahan dan hutan di Riau terbakar.

Kebakaran ini menyebabkan lumpuhnya berbagai kegiatan, baik sosial, ekonomi dan pendidkan. Paling parah kesehatan masyarakat jadi tumbalnya. Lebih dari 10 ribu masyarakat Riau menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA. Sekolah diliburkan lebih dari satu minggu. Penerbangan banyak yang tertunda.

Menanggulangi persoalan ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana menjelaskan telah melakukan operasi pemadaman. Dimulai dari status tanggap darurat oleh Gubernur Riau pada 26 Februari 2014 hingga 4 Maret 2014. Dan tak tanggung-tanggung, dana APBN yang dugunakan mencapai 164 Miliar. Baik untuk penyewaan alat hingga logistik.

Saat itu ditetapkan bahwa bencana asap yang terjadi pada 2014 adalah bencana asap terparah dalam kurun waktu 17 tahun terakhir. Hingga membuat SBY harus meminta maaf kepada negara tetangga karena turut merasakan dampak asap tersebut.

Saat itu, bencana berhasil diatasi SBY. Tentunya SBY berpesan agar ini tidak terjadi lagi.
Apakah bencana benar tak terulang kembali?

Sayangnya itu hanya tinggal khayalan. Berganti dari era SBY ke Jokowi, masalah yang sama timbul kembali. Asap tetap menggangu aktivitas warga.

Jelang akhir November 2014, orang nomor satu di Indonesia kembali menginjakkan kaki di Riau. Tepatnya di daerah Sungai Tohor Kabupaten Kepulauan Meranti. Kali ini Presiden RI juga dibawa ke Riau melalui media sosial.

Penyebabnya Abdul Manan, warga dari Sungai Tohor membuat petisi pada Jokowi melalui change.org. Petisi yang ia buat meminta Jokowi untuk blusukan ke daerah langganan asap tersebut. Abdul Manan menuliskan agar Jokowi datang dan bisa merasakan bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat di sana.

Gayung bersambut, Jokowi datang pada 26 November 2014 bersama menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya. Ia melihat langsung kondisi lahan gambut yang terbakar di area tersebut.

PESIMISTIS WARGA DISAMPAIKAN terhadap minimnya peran pemerintah dalam penanggulangan bencana kebakaran di Riau ini. Setiap elemen masyarakat mulai mendorong pemerintah untuk lebih berperan aktif dalam penanggulangan bencana ini.

Salah satunya dari Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Nasional. Walhi melaporkan 117 perusahaan terindikasi terlibat dalam pembakaran lahan. Dari mongabay.co.id, Muhnur Stayahaprabu, Manajer Advokasi Hukum dan kebijakan Walhi Nasional menjelaskan ada 33 perusahaan disektor perkebunan dan 84 dari sektor Hutan Tanaman Industri atau HTI.

Mereka mensomasi pemerintah untuk segera menindaklanjuti agar pemerintah membuat kebijakan yang melindungi warga negaranya dari ancaman kadar udara yang berbahaya bagi kesehatan, serta meminta agar seluruh izin perusahaan tersebut dievaluasi.

Menanggapi hal ini dilakukanlah evaluasi terhadap perizinan perusahaan oleh pemerintah. Dibentuk tim gabungan dari berbagai instansi pemerintah untuk melakukan audit kepatuhan. Diantaranya Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan atua UKP4, Kementerian Kehutanan, BP REDD+, Kementrian Pertanian dan Kementrian Lingkungan Hidup. Untuk Riau, tim ini bekerja sama dengan Pemerintah Daerah, Polda dan Kejaksaan.

Hasil dri audit ini ada 17 perusahaan yang bermasalah dengan perizinannya dan diminta untuk dievaluasi. Beberapa perusahaan tersebut saat ini sedang menjalani proses hukum.

Bagaimana dengan Universitas Riau?

Tak ketinggalan, melihat bencana kabut asap tersebut, pada 7 Maret 2014 Rektor kala itu Ashaluddin Jalil membentuk tim. Tim ini disebut Satuan Tugas Solusi Tuntas Bencan Asap. Tuga Satgas ini ialah mengerahkan akademisi untuk melakukan penelitian terhadap lahan gambut, menganalisa secara hukum lingkungan dan teknologi untuk pencegahan asap tersebut.

Ide pembentukan tim ini bermula dari diskusi lewat media sosial yang dilakukan oleh beberapa dosen dan akhirnya dibawa ke dalam rapat senat. Dari Satgas ini akhirnya dibentuk menjadi Pusat Studi Bencan UR. Tim yang dibentuk ditengah maraknya kebakaran hutan di 2014 ini pernah turun ke lokasi kebakaran hutan di Bengkalis.

Haris Gunawan dosen di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau, juga anggota tim pusat Studi Bencana. Suryadi dan Jeffri Novrizal Torade Sianturi, kru Bahana Mahasiswa UR berkesempatan untuk berbincang dengan Haris. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana tanggapan pusat studi bencana setelah melihat lokasi kebakaran?

Kita punya kesepakatan dengan universitas untuk bersikap lebih aktif. Bukannya hanya lebih responsif namun juga harus melakukan upaya-upaya preventif. Seperti melakukan pencegahan. Ini adalah langkah yang paling strategis.

Semua pihak harus kita yakinkan bahwa dengan melakukan upaya pencegahan, ini adalah kunci agar bencana asap tidak terjadi lagi.

Kalau dilihat dari lokasi kejadian, ketika sudah terjadi kebakaran, tidak ada apa-apa lagi yang bisa dilakukan. Api sudah menyala dan besar.

Pencegahan sepeti apa?

Banyak. Misalnya kita memperkuat dengan melakukan kajian deteksi dini di lapangan. Jika tidak ada hujan dalam satu minggu, maka masyarakat harus meningkatkan kewaspadaannya. 

Lakukan patroli, memeriksa ketersediaan air di kanal. Ini untuk persiapan jika ada kebakaran, masyarakat langsung bisa memadamkan.

Apa yang tim temukan dari lapangan?

Kita melihat lokasi kebakaran ini jauh dari akses publik. Lahan yang dibuka dengan cara bakar ini jauh di dalam perkebunan atau hutan. Tidak ada yang dipinggir jalan. Masalahnya  bukan di kebun sawit atau akasia, tapi jauh ke dalam. Masyarakat ini membuka kebun dan lalai dalam proses membersihkan lahannya.

Apakah itu temuan tim di lapangan soal penyebab kebakaran?

Yang kita temukan ada kelompok-kelompok masyarakat yang mengerjakan pembukaan lahan sambil merokok dan lupa mematikan apinya.

Bagaimana dengan pernyataan SBY, perusahaan di Riau harus bertanggung jawab atas kebakaran hutan ini?

Untuk ini sudah ada evaluasi independen yang dilakukan UKP4. Ada 17 perusahaan yang dinyatakan tak patuh dalam penanganan karhutla. Ini jadi tamparan dibidang usaha tentunya. Mereka dinilai tidak serius dalam penanganan karhutla, jadi mereka memang belum optimal.

Dari evaluasi ini juga ada tidak lanjut yang harus dilakukan oleh perusahaan. Ada format 8 kolom atau F8K namanya. Ini juga diperkuat dengan Pergub nomor 5 tahun 2015. Perusahaan harus menyiapkan alat-alat pencegahan dan penanggulangan karhutla diarea yang jadi tanggungjawab mereka.

Bagaimana dengan perusahaan yang tetap degil?

Mereka harus dievaluasi tentunya. Kalau mereka memang melanggar ketentuan bisa ada teguran administrasi atau izinnya dicabut.

Beberapa perusahaan terindikasi melakuka pembakaran, bagaimana menurut anda?

Saya tidak bisa secara detail menjawab apakah perusahaan ataupun oknum perusahaan yang membakar lahan. Sebab jika dilogikan, tidak mungkin mereka membakar lahan kebun sendiri. Bisa saja ada konflik internal dalam perusahaan itu sendiri.

Misalnya ada konflik antara karyawan dan bos atau dengan manajer lapangan. Karena kesal, bisa saja dibakar oleh mereka. Ya ini hanya hipotesis.

Tapi kalau menurut saya ini harus dikaji lebih mendalam lagi. bagaimana kajian akademiknya. Kita sebagai akademisi tidak bisa menebak perusahaan mebakar, tapi yang jelas kebakaran sudah terjadi.

Terkadang perusahaan sering berkonflik dengan masyarakat. Apa tanggapan anda?

Menurut saya masyarakat itu harus kita bedakan dua. Pertama masyarakat asli, kedua masyarakat teritorial atau desa-desa yang dibentuk. Masyarakat yang pertama sebenarnya disebabkan hak-hak mereka terampas. Tipe kedua dikarenakan tidak cepatnya perusahaan mengantisipasi.

Masyarakat tidak percaya lagi dengan perusahaan. Di situ dunia kampus masuk. Dari diskusi-diskusi, kita bisa katakan, tidak ada lagi konversi hutan alam, tidak ada lagi penanaman akasia, tidak ada lagi monokultur sagu. Kita harus duduk dan pemerintah harus memfasilitasi dan ini bisa diselesaikan.

Setujukah anda dengan pelarangan membuka lahan dengan membakar?

Sangat setuju. Tapi aturan ini bukan suatu barang yang mudah dipegang dan dibentuk. Kenyataannya sudah 18 tahun persoalan ini selalu terjadi. Banyak pemain, kepentingan dan pembiaran yang dilakukan.

Pemain?

Misalnya kita identifikasi pemain ini dari hulu ke hilir. Pada 1980 an sampai 2000, terjadi konversi hutan rawa gambut secara masif. Kalau ditanya siapa pemainnya kita lihat saja sendiri. Kalangan menengah atau bawah bisa leluasa membuka lahan. Memanfaatkan gambut tapi tak dikelola dengan serius. Anda bisa terjemahkanlah siapa pelakunya. Entah kalangan bisnis besar, kecil, kelompok masyarakat atau bisa ada suasana politiknya. Ini jadi kempleks.

Yang jelas kita sebagai akademisi jangan terjebak di sana. Kita harus mengidentifikasi dan melakukan eksekusi yang tepat.

Dengan cara apa?

Saya diminta langsung oleh Presiden sebagai tim pengurus persoalan asap. Kita lihat dari 2014 dan sekarang 2015 kebakaran tak terlalu banyak. Kita bisa mengontrol orang-orang di lapangan untuk lebih waspada.

Setelah turun ke lapangan, apa langkah selanjutnya dari tim Pusat Studi Bencana?

Kita melakukan upaya penguatan penelitian, aspek pencegahan. Terus mendesain penelitian terkait bagaimana penguatan pencegahan dini. Penguatan koeasi masyarakat, bagaimana mereka lebih berdaya mengahadapi karhutla.

Dari aspek geofisik kita diberi kepercayaan pemerintah untuk merumuskan pembahasan gambut kembali. Kita juga dilibatkan pemerintah pusat untuk mencari format bagaimana mengelola gambut sekaligus tidak terjadi kebakaran.

Kita juga menyiapkan Kuliah Kerja  Nyata—Kukerta—Kebangsaan dengan tema bencana asap. Mengadakan seminar dan workshop. Menerbitkan buku Jerebu Di Negeri Kami dan kumpulan puisi puisi Anak Jerebu.

Terkait hukum lingkungan bagaimana?

Untuk ini kita memang belum maksimal karena tim kita studi Doktor di Jakarta. Dari aspek legal itu kita ingin memperjuangkan Inpres khusus tentang Riau menyelesaikan asap. Kita sudah menyelesaikan draft Inpresnya.

Anda katakan ingin menghentikan konversi hutan gambut ke HTI, bagaimana perusahaan yang bergerak dibidang itu?

Saya pikir sudah cukup itu konversi sawit, sudah cukup itu konversi HTI. Kita cari alternatif lainlah.
Seperti apa?

Seperti konsep Palus Sompi Kultur atau budaya berbasis raawa. Tanaman-tanaman yang cocok dengan air, sagu misalnya.

Apa yang dilakukan dalam waktu dekat?

Kita akan buat workshop tentang Karhutla di Bengkalis. Kukerta kebangsaan. Kita harap semua komponen saling bergandeng agar apa yang kita lakukan menjadi rujukan.#

0 komentar:

Posting Komentar