Selasa, 05 Maret 2019

Falalini Halawa dan PN Teluk Kuantan

Falalini Halawa jelang putusan majelis hakim. @suryadi

Tidak terpikir sebelumnya akan bermalam di Teluk Kuantan, pusat Kabupaten Kuantan Singingi atau Kuansing. Saya, bersama Anggi Romadhoni wartawan Antara Riau dan tiga orang teman-teman WWF Riau, hendak menghadiri sidang pembelaan penasihat hukum terdakwa Falalini Halawa.


Dua minggu sebelumnya, Falalini dituntut 4,6 tahun penjara oleh Kejaksaan Negeri Kuansing karena, pasang jerat dan akhirnya melilit harimau betina tengah mengandung sepasang bayi. Hasil pemeriksaan dokter hewan BBKSDA Riau, harimau dan anak-anaknya itu meninggal sekitar pukul dua dinihari, 26 September 2018 atau sehari saat mulai terjerat.

Falalini membela dirinya depan majelis hakim bahwa tidak berniat menjerat harimau. Dia tinggal di pondok dan menjaga kebun sawit milik Musadik sambil tanam ubi buat kebutuhan sehari-hari. Jerat itu untuk menghadang hama babi yang kerap merusak tanamannya.

Selama jerat dipasang, babi yang dimaksud Falalini justru tak pernah kena. Yang terjerat malahan beberapa ekor landak yang dia konsumsi dan bulunya dijadikan hiasan. Sampai akhirnya jerat itu menelan korban seekor harimau. Padahal, orang-orang beberapa kali mengingatkan lokasi itu sering dilewati hewan buas tersebut. Suaranya pun didengar orang-orang.

Kami pikir, setelah pembelaan itu disampaikan, majelis hakim akan baca putusan hari itu juga. Rupanya tidak. Mungkin karena sudah kemalaman dan barang tentu tidak bisa buru-buru menyelesaikan berkas putusan. Ketua majelis hakim melanjutkan sidang putusan esok harinya.

PN Teluk Kuantan diresmikan Mahkamah Agung pada 22 Oktober tahun lalu. Ketua dan Wakil beserta jajarannya dilantik empat hari kemudian di Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Sebelumnya, kasus-kasus yang ada di Kuansing diselesaikan di Pengadilan Negeri Rengat.

Sampai saat ini, hanya ada tiga majelis hakim. Reza Himawan Pratama, Rina Lestari Br. Sembiring dan Duanu Aghaka. Mereka memimpin sidang dari pagi hingga malam.

Hanya ada satu ruang sidang. Luasnya lebih kecil dibanding ruang sidang pengadilan yang pernah saya datangi seperti, Bengkalis, Rokan Hilir, Pelalawan, Dumai, Rengat, Siak dan Pekanbaru tentunya.

Pun, tak ada ruang tunggu. Ruang sidang kadang tak cukup menampung pengunjung. Mereka kadang menunggu di luar yang telah disediakan bangku panjang. Bila hujan, mereka berteduh di rumah kosong sebelah pengadilan atau di kantin belakang. Bahkan menempel di dinding pengadilan sekedar menghindari hujan dari cucuran atap.

Selama dua hari mengikuti persidangan di sana, selain perkara Falalini, saya sempat menyaksikan perkara pencurian, penipuan, pembunuhan dan paling banyak narkoba. Untuk perkara terkahir ini, saya melihat tidak ada pelaku utama, pemilik barang atau pemodal kelas kakap yang jadi terdakwa. Terdakwa yang ada justru mereka yang diperintah mengantar barang, menjualnya dan yang mencicipi.

Saya tertarik mendengar keterangan salah satu terdakwa yang menyebut nama pemodal. Tapi keterangan itu tidak digali atau digubris lebih dalam oleh pihak-pihak yang berperkara. Padahal, pengakuan terdakwa, ketika dia ditangkap di rumahnya, rumah pemilik modal itu hanya beberapa meter.

Oh ya. Hari itu juga ada satu sidang vonis terdakwa pembunuhan. Kasus ini sempat jadi perbincangan di Kuansing. Sebab, terdakwa yang baru berusia 17 tahun adalah sepupu korban yang masih di bawah umur. Cerita dari orang-orang yang menunggu vonis itu, terdakwa ini bahkan disekolahkan oleh orangtua korban.

Kejadiannya memang sudah direncanakan bersama seseorang yang jauh lebih tua dari terdakwa, sekitar 30-an. Terdakwa diperintah mengambil sepeda motor korban. Jika ada perlawanan, terdakwa harus siap-siap dengan parang yang dibawanya.

Peristiwa nahas itu benar-benar terjadi di semak-semak tepi sungai. Terdakwa mengayunkan parangnya ke leher korban hingga nyawanya tak tertolong. Setelah mengganti bajunya yang bersimbah darah, terdakwa melarikan sepeda motor korban dan menjualnya bersama orang yang memerintahnya ke salah satu daerah di Indragiri Hulu.

Uang penjualan sepeda motor mereka belikan narkoba jenis sabu. Saya tidak habis pikir, untuk mendapatkan barang itu mereka sanggup menghilangkan nyawa orang sekalipun keluarga sendiri. Atau karena narkobalah mereka tidak dapat berpikir waras lagi.

Oh ya. Falalini dihukum 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Dia minta maaf. Istrinya meninggal beberapa hari setelah tuntutan jaksa. Dia juga tak tahu di mana anak-anaknya sekarang.

Hukuman atas Falalini seharusnya semakin menyadarkan kita tentang penghilangan habitat satwa, karena perusakan hutan terutama untuk perkebunan sawit. Kita tidak akan dapat menghindari konflik manusia dengan satwa bila habitatnya tidak dijaga.

0 komentar:

Posting Komentar