Falalini Halawa jelang putusan majelis hakim. @suryadi |
Tidak
terpikir sebelumnya akan bermalam di Teluk Kuantan, pusat Kabupaten Kuantan
Singingi atau Kuansing. Saya, bersama Anggi Romadhoni wartawan Antara Riau dan tiga orang teman-teman WWF Riau, hendak menghadiri sidang
pembelaan penasihat hukum terdakwa Falalini Halawa.
Dua
minggu sebelumnya, Falalini dituntut 4,6 tahun penjara oleh Kejaksaan Negeri Kuansing
karena, pasang jerat dan akhirnya melilit harimau betina tengah mengandung
sepasang bayi. Hasil pemeriksaan dokter hewan BBKSDA Riau, harimau dan
anak-anaknya itu meninggal sekitar pukul dua dinihari, 26 September 2018 atau
sehari saat mulai terjerat.
Falalini
membela dirinya depan majelis hakim bahwa tidak berniat menjerat harimau. Dia
tinggal di pondok dan menjaga kebun sawit milik Musadik sambil tanam ubi buat
kebutuhan sehari-hari. Jerat itu untuk menghadang hama babi yang kerap merusak
tanamannya.
Selama
jerat dipasang, babi yang dimaksud Falalini justru tak pernah kena. Yang terjerat
malahan beberapa ekor landak yang dia konsumsi dan bulunya dijadikan hiasan.
Sampai akhirnya jerat itu menelan korban seekor harimau. Padahal, orang-orang
beberapa kali mengingatkan lokasi itu sering dilewati hewan buas tersebut.
Suaranya pun didengar orang-orang.
Kami
pikir, setelah pembelaan itu disampaikan, majelis hakim akan baca putusan hari
itu juga. Rupanya tidak. Mungkin karena sudah kemalaman dan barang tentu tidak
bisa buru-buru menyelesaikan berkas putusan. Ketua majelis hakim melanjutkan
sidang putusan esok harinya.
PN
Teluk Kuantan diresmikan Mahkamah Agung pada 22 Oktober tahun lalu. Ketua dan
Wakil beserta jajarannya dilantik empat hari kemudian di Pengadilan Tinggi
Pekanbaru. Sebelumnya, kasus-kasus yang ada di Kuansing diselesaikan di
Pengadilan Negeri Rengat.
Sampai
saat ini, hanya ada tiga majelis hakim. Reza Himawan Pratama, Rina Lestari Br.
Sembiring dan Duanu Aghaka. Mereka memimpin sidang dari pagi hingga malam.
Hanya
ada satu ruang sidang. Luasnya lebih kecil dibanding ruang sidang pengadilan
yang pernah saya datangi seperti, Bengkalis, Rokan Hilir, Pelalawan, Dumai,
Rengat, Siak dan Pekanbaru tentunya.
Pun,
tak ada ruang tunggu. Ruang sidang kadang tak cukup menampung pengunjung.
Mereka kadang menunggu di luar yang telah disediakan bangku panjang. Bila
hujan, mereka berteduh di rumah kosong sebelah pengadilan atau di kantin
belakang. Bahkan menempel di dinding pengadilan sekedar menghindari hujan dari
cucuran atap.
Selama
dua hari mengikuti persidangan di sana, selain perkara Falalini, saya sempat
menyaksikan perkara pencurian, penipuan, pembunuhan dan paling banyak narkoba.
Untuk perkara terkahir ini, saya melihat tidak ada pelaku utama, pemilik barang
atau pemodal kelas kakap yang jadi terdakwa. Terdakwa yang ada justru mereka
yang diperintah mengantar barang, menjualnya dan yang mencicipi.
Saya
tertarik mendengar keterangan salah satu terdakwa yang menyebut nama pemodal.
Tapi keterangan itu tidak digali atau digubris lebih dalam oleh pihak-pihak
yang berperkara. Padahal, pengakuan terdakwa, ketika dia ditangkap di rumahnya,
rumah pemilik modal itu hanya beberapa meter.
Oh
ya. Hari itu juga ada satu sidang vonis terdakwa pembunuhan. Kasus ini sempat
jadi perbincangan di Kuansing. Sebab, terdakwa yang baru berusia 17 tahun adalah
sepupu korban yang masih di bawah umur. Cerita dari orang-orang yang menunggu
vonis itu, terdakwa ini bahkan disekolahkan oleh orangtua korban.
Kejadiannya
memang sudah direncanakan bersama seseorang yang jauh lebih tua dari terdakwa,
sekitar 30-an. Terdakwa diperintah mengambil sepeda motor korban. Jika ada
perlawanan, terdakwa harus siap-siap dengan parang yang dibawanya.
Peristiwa
nahas itu benar-benar terjadi di semak-semak tepi sungai. Terdakwa mengayunkan
parangnya ke leher korban hingga nyawanya tak tertolong. Setelah mengganti
bajunya yang bersimbah darah, terdakwa melarikan sepeda motor korban dan
menjualnya bersama orang yang memerintahnya ke salah satu daerah di Indragiri
Hulu.
Uang
penjualan sepeda motor mereka belikan narkoba jenis sabu. Saya tidak habis
pikir, untuk mendapatkan barang itu mereka sanggup menghilangkan nyawa orang
sekalipun keluarga sendiri. Atau karena narkobalah mereka tidak dapat berpikir
waras lagi.
Oh
ya. Falalini dihukum 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Dia minta maaf.
Istrinya meninggal beberapa hari setelah tuntutan jaksa. Dia juga tak tahu di
mana anak-anaknya sekarang.
Hukuman
atas Falalini seharusnya semakin menyadarkan kita tentang penghilangan habitat
satwa, karena perusakan hutan terutama untuk perkebunan sawit. Kita tidak akan
dapat menghindari konflik manusia dengan satwa bila habitatnya tidak dijaga.
0 komentar:
Posting Komentar