Satu fakultas disalah satu perguruan tinggi di
Pekanbaru, hendak membangun kelas baru untuk menampung mahasiswa yang tiap
tahun bertambah jumlahnya. Sayang, pembangunan itu terbengkalai.
Oleh Suryadi
SATU siang tahun 2014,
saya mengumpulkan beberapa media online
yang menerbitkan berita, terkait pembangunan gedung di salah satu kampus di
Pekanbaru. Ada 14 media yang terkumpul. Secara umum, isi berita tersebut hampir
sama. Intinya, seorang pejabat kampus diduga terlibat penyelewengan dana.
Pembangunan yang dimaksud adalah, ruang
kelas baru untuk mahasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama di Riau.
Saya tidak langsung meyakini begitu saja
isi berita tersebut. Penyebabnya ada dua hal. Pertama, isi berita baik kalimat
dan paragraf hampir sama. Kedua, kurangnya narasumber dalam liputan tersebut.
Sebagai wartawan mahasiswa, saya mesti
mencari informasi yang benar. Saya pun mengusulkan kasus ini pada rapat
proyeksi majalah. Semua peserta rapat termasuk Pemimpin Redaksi menyetujui
usulan ini.
Pertama sekali yang dilakukan adalah,
mendatangi beberapa media yang menerbitkan laporan terkait. Ada satu media
tidak mengakui laporan yang pernah ia terbitkan. Editor tersebut mengaku belum
bekerja saat laporan itu dimuat. Seorang reporter di media itu justru berkata
sebaliknya.
“Penulis aslinya sudah pindah ke media
lain. Tapi kalau dilihat dari kode diakhir tulisan ini, memang abang tu yang
editornya,” ujar reporter tersebut.
Malamnya, setelah mendapat kontak penulis
berita, saya membuat janji untuk bertemu. Usaha ini berhasil. Reporter itu
mengaku pernah menulis berita yang dimaksud. Hanya saja, dia tidak mengetahui
kelanjutan dari kasus yang ditulis. Dia hanya memberitahu, kasus itu ditangani
oleh satu lembaga penegak hukum di Pekanbaru.
Usaha untuk mencari kebenaran informasi pun
berlanjut ke lembaga penegak hukum ini. Saya mencatat, ada belasan kali
bolak-balik guna menjumpai penegak hukum di lembaga ini. Saya hendak meminta
data dan wawancara. Namun permintaan ini tidak langsung ditanggapi.
Seorang staf meminta saya untuk memasukkan
surat terlebih dahulu. Termasuk surat permohonan wawancara. Permintaan ini pun
saya penuhi. Hasilnya tetap sama. Tiga kali memasukkan surat, tak ada informasi
yang diperoleh. Bertemu dengan orang yang menangani kasus ini pun tak kunjung
tercapai.
“Data apa yang kalian minta? Kami tak
pernah menangani kasus yang kamu maksud,” ujar seorang staf.
Keesokan harinya, saya kembali mendatangi
penulis berita. Saya ingin mengetahui nama penegak hukum yang menangani kasus
ini. Tanpa berat hati, ia memberitahu nama tersebut. “Tapi dia sudah pindah
tugas,” ujarnya.
Orang yang dimaksud, pindah tugas di Pusat
Pelaporan dan Analiss Transaksi Keuangan atau PPATK. Melalui nomor telepon dan
email yang saya peroleh dari website lembaga
ini, saya mengkonfirmasi keberadaan nama yang hendak dicari.
“Iya benar. Dia pernah bekerja di
Pekanbaru. Silakan kirim pertanyaan lewat email saja,” ujar seorang perempuan
lewat sambungan telepon.
Dari sini saya dapat informasi, bahwa orang
tersebut telah pindah tugas sebelum kasus itu selesai. Dia mengatakan, kasus
itu diserahkan pada orang yang menggantikan posisinya. Namun, pertanyaan yang
saya kirim melalui email tak dijawab sepenuhnya.
Satu minggu kemudian, saya kembali datang.
Segala informasi, mulai dari nama dan status kasus yang diperoleh, saya
sampaikan pada staf yang semula mengaku tidak mengetahui kasus ini.
Dia sempat terdiam. “Oke. Baiklah. Saya cek
dulu berkasnya. Dua hari lagi kamu ke sini,” jawabnya kemudian.
Sesuai janji, hampir pukul 9, saya kembali
datang dan langsung menuju ruangan staf tersebut. Dia sudah menunggu di meja
kerjanya. Sambil bercerita, ia beranjak mendekati satu lemari dan mengeluarkan
sebuah map merah. Isinya beberapa hvs.
Dia memberikan saya satu lembar hvs berisi
pemberitahuan, bahwa kasus yang dimaksud telah dihentikan penyelidikannya.
“Kerugian negara sudah dikembalikan,” katanya, saat ditanya alasan dihentikan
penyelidikan.
Dalam laporan itu juga tercantum nama-nama
pejabat kampus dan perusahaan yang menangani proyek pembangunan berikut alamat
perusahaan.
Saya masih bertanya-tanya. Kerugian negara
seperti apa yang dimaksud? Kenapa ada kerugian? Bagaimana itu bisa terjadi?
Setelah beberapa bulan liputan, saya buat
laporan singkat dan terbit di bahanamahasiswa.co.
Website Lembaga Pers Mahasiswa Bahana
Mahasiswa Universitas Riau, tempat saya beraktivitas di kampus.
Keesokan harinya, berita ini dapat
tanggapan dari seorang staf rektorat. Saya bersama Pemimpin Umum Bahana
dipanggil untuk mengahadap di ruangannya. Sore itu, dengan secarik kertas
berisi tulisan saya yang diprint, staf tersebut marah dan akan melaporkan saya.
Setelah beberapa jam berdebat, saya
memintanya untuk membuat pernyataan keberataan dengan menyertakan informasi
yang sebenarnya. Ia pun menyetujui. Malamnya, keberatan dari yang bersangkutan langsung
terbit di website Bahana. Ini
mekanisme kerja dunia pers.
Setelah mendapat komentar, liputan soal
kasus ini kembali saya diskusikan bersama Pemimpin Redaksi saat itu. Kami
memutuskan untuk mendatangi alamat perusahaan yang menangani proyek pembangunan
ruang kelas baru itu.
Berbekal informasi dari Layanan Pengadaan
Secara Elektronik atau LPSE, kami mengunjungi salah satu kabupaten di Provinsi
Riau. Saya bersama seorang teman mendatangi alamat perusahaan di jalan Suak
Lanjut, Kabupaten Siak. Kami sempat nyasar dan tidak menemukan nomor rumah yang
dicari.
Setelah bertanya dengan warga setempat,
kami langsung menuju rumah yang ditunjuk. Rumah kayu berbentuk panggung, dengan
alamat dan nomor rumah yang sama pun ditemui. Sayangnya, pemilik rumah berkata
lain. “Ini rumah saya. Bukan kantor perusahaan.”
Kami kembali menyusuri alamat yang dituju
sambil mencari warga yang mengenal pemilik perusahaan. Beruntung, beberapa pria
dewasa yang sedang duduk santai sambil ngobrol di warung mengenal orang yang
kami cari.
“Oh. Rumahnya di Jalan Sutomo. Tanya saja
orang sana. Semuanya kenal dengan dia,” ujar seorang pria tanpa baju sambil
menjepit rokok dengan dua jarinya.
Usaha kali ini berhasil. Usai shalat ashar,
orang yang kami cari akhirnya jumpa di satu masjid tak jauh dari rumahnya.
Setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan hendak bertemu, ia mengajak
kami ke rumah.
Ia sangat kooperatif. Dengan terbuka
menceritakan persoalan yang pernah dihadapinya.
Tahun 2011, perusahaan yang berkantor di
Kabupaten Siak ini memenangkan lelang pembangunan ruang kelas baru di salah
satu kampus di Pekanbaru. Perusahaannya diberi waktu dua bulan untuk
menyelesaikan proyek tersebut. Dana pembangunan kelas ini diperoleh dari
Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri atau BOPTN, senilai Rp 900 juta.
Namun, hampir satu bulan setelah
menandatangi kontrak, perusahaan tak kunjung melakukan pengerjaan terhadap
proyek tersebut. Pemilik perusahaan lalu dipanggil oleh seorang petinggi
fakultas. Di sana ia sampaikan bahwa, ia terkendala jarak dan sumberdaya
manusia untuk melakukan pekerjaan.
Seorang staf pejabat fakultas lalu
memperkenalkan pemilik perusahaan dengan seorang kontraktor. Bermaksud, agar ia
dibantu oleh orang tersebut untuk mengerjakan proyek di lapangan. Kesepakatan
diambil.
Pembangunan pun mulai dilakukan. Namun
kembali terhenti. Tenggat waktu pengerjaan pun habis. Pemilik perusahaan
kembali dipanggil. Kali ini oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru. Ia diminta
bertanggungjawab atas mangkraknya pembangunan kelas itu. dan harus mengganti
kerugian negara.
Kerugian diketahui setelah Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan atau BPKP perwakilan Riau, mengumumkan hasil audit
investigasi terhadap pembanguan kelas baru itu. Kerugian itu sebesar Rp 200
juta.
Pemilik perusahaan mengaku bersalah atas
kelalaiannya mengawasi pekerjaan di lapangan. Alasannya, jarak antara Siak dan
Pekanbaru. “Saya harus jual kebun dan mobil untuk ganti kerugian itu,” jelasnya
diakhir wawancara.
Sejak 2011 mulai dibangun, hingga kini,
ruang kelas baru yang dicita-citakan tak kunjung berdiri alias terbengkalai.
Tulisan lengkap terkait cerita di atas pernah dimuat dalam majalah LPM Bahana
Mahasiswa Universitas Riau, edisi Oktober-November 2015 berjudul Kontraktor Hilang Kelas Baru Melayang.
Tentu dengan sumber dan nama yang benar alias bukan anonim.
CERITA di atas hanyalah
sedikit upaya yang pernah saya lakukan untuk mencari kebenaran terhadap satu
kasus. Terutama kasus yang ada di sekitar saya. Dalam kesempatan menjelang peringatan
Hari Anti Korupsi Internasional 2016, saya tiba-tiba teringat dengan usaha yang
pernah saya lakukan. Semoga bermanfaat!
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari
Anti Korupsi Internasional yang diselenggarakan KPK dan Blogger Bertuah
Pekanbaru.
mantap... salam kemajuan, jangan lupa juga kunjungi http://mizaneducation.blogspot.co.id/2016/12/melawan-budaya-korupsi-lewat-budaya.html
BalasHapusini yang disebut disiplin verifikasi. ruar biasa.
BalasHapus