Cerita kehidupan ala desa kecil yang berada di
Kabupaten Pelalawan. Sungai dan aturan adat tak bisa jauh dari kehidupan
masyarakatnya.
Oleh Suryadi
UJUNG
DARI JALAN DESA TAMBAK ADALAH SUNGAI, Disebut Sungai Segati, tempat masyarakat
mencari ikan. Nelayan desa mencari ikan di sungai ini menggunakan jala ataupun
memancing. Rakit Dan perahu bertambat pada kayu yang dipancang dalam sungai
hingga ke dasar. Rakit ini dibawa menyusuri sungai mencari lokasi yang akan
disinggahi untuk mengambil ikan.
Kini, mencari ikan di sungai dilakukan
masyarakat dengan menyentrum ikan. Diantara nelayan pencari ikan terkadang
harus bercekak—beradu pendapat— satu
sama lain karena tidak senang menangkap ikan dengan cara yang ekstrim. Cara lainnya
terkadang gunakan racun ikan dalam sungai. Orang desa bilang ini tuba atau menuba.
Satu pagi saya pergi kantor Camat Langgam. Ada
pengumuman dilarang menyentrum dan menuba ikan dalam sungai, bagi yang
kedapatan melakukan itu akan ditangkap dan diproses secara hukum.
Jenis ikan di Sungai Segati beragam jenis. Masyarakat
menamakan ikan-ikan ini, Toman, Baung, Gabus, Kopiek, Barau, Kalu, Singkek dan
banyak jenis ikan lain. Ukuran dan berat ikan pun cukup besar bisa mencapai 8
kilogram satu ekornya.
Tidak sulit untuk mendapatkan ikan di
sungai ini. Thamrin warga Desa Tambak katakan, dulu lebih gampang mendapat ikan
di sungai. “Kalau mau makan ikan cukup bawa pancing di belakang rumah. Hanya beberapa
menit sudah bisa pulang bawa ikan untuk di makan,” cerita Thamrin.
Selain tempat mencari ikan, sungai juga
menjadi pusat kegiatan sehari-hari masyarakat Desa Tambak. Mencuci pakaian,
mandi dan buang air. Masyarakat membuat jamban terapung di atas rakit. Terkadang
ada yang buang air disaat yang lain sedang mencuci dan mandi di sekitar rakit. Warna
air sungai kecokelatan dan terasa payau. Tepian sungai masih ditutupi dedaunan,
ilalang dan pohon-pohon kayu.
Sungai Segati di ujung jalan Desa Tambak. Sungai yang dijadikan tempat mencuci, mandi dan buang air. Sungai ini juga terdapat banyak ikan. |
Sungai ini memiliki adat dan pantang
larangan. Ada anak-anak sungai yang tiap tahun dilelang oleh Ninik Mamak dan
Tokoh Adat masyarakat Desa Tambak. Proses pelelangan dimulai pada bulan puasa. Pemenang
lelang berhak mengambil ikan dalam sungai yang ia dapatkan dari lelang selama
satu tahun.
Setelah masa lelang habis sungai
dikembalikan pada Ninik Mamak. Bulan puasa tiba, lelang kembali dilakukan. Begitu
Ninik Mamak menjaga sungai, sangat dilarang bagi mereka masyarakat menjual
sungai.
Uang dari hasil pelelangan bisa mencapai
belasan juta rupiah dari lima belas anak sungai yang ada. Uang dari hasil
lelang dibagikan pada masjid, organisasi karang taruna dan untuk kegiatan sosial
kemasyarakatan lainnya. “Tahun ini uang sungai dipegang Ketua Karang Taruan
semua,” sindir Zulfikar, Bilal Masjid.
DESA
TAMBAK MEMILIKI RUMAH IBADAH UNTUK YANG MUSLIM. Ada satu masjid
tua, Masjid Istiqamah. Ada surau kecil dari papan dan berpanggung tepat di
pinggir sungai. Sejarah berdiri surau ini pernah ada konflik antara Suku
Maliling dan Melayu.
“Dulu ada sindir menyindir antar suku di
sini,” kenang Zulfikar. Zulfikar dibilang miskin oleh almarhum Datuk Rajo Abdul
Aziz, pernah jadi Kepala Desa Tambak. Zulfikar waktu itu jadi guru ngaji di
surau suluk. Surau ini berada di belakang Taman Kanak-Kanak juga di pinggir
sungai.
Sindir menyindir suku ini sampai pada rumah
tangga warga lain yang kawin antara Melayu dan Maliling. Kata Zulfikar ada yang
sampai cerai. Karena ada konflik ini mereka yang Melayu bangun surau baru dan
tempat belajar mengaji pindah di surau itu.
Mereka bilang ini Surau Dagang karena
dibuat oleh pedagang. Depan surau ini ada pemakaman warga, diantara makam ada
makam keramat yang selalu dikunjungi orang dari berbagai daerah, kabupaten di
Provinsi Riau. Makam keramat Tuan Syekh H Imam Syafii, Tuan Guru daripada
persulukan Tariqat Naqsabandiyah. Tiap hari kedua dibulan Syawal orang-orang
mengunjungi makam ini.
Surau Istiqamah. Pertama berdiri bernama Surau dagang. |
Desa Tambak akan ramai dipadati oleh orang
dari berbagai daerah, mereka memarkir kendaraan sepanjang jalan agar bisa
menuju makam keramat. Orang yang datang disambut dengan silat pangean, silat
yang dikenal berasal dari Kuantan Singingi. Pendekar desa siap berpakaian,
memencak, beradu jurus, beradu kemapuan.
Silat pangean Desa Tambak berada dibawah
perguruan Pendekar Malin Kuning, sekarang gurunya Saidi Marjohan. Belajar silat
dibuka tiap bulan ramadhan. Selesai tarawih dan sebulan lamanya perserta
belajar bela diri silat ini. Sekarang peminat silat sudah jauh berkurang. Ramadhan
tahun ini hanya satu orang yang belajar. “Sudah sedikit peminat silat ini
sekarang,” keluh Romansyah. Romansyah yang mengatur persilatan Desa Tambak
sebelum Saidi Marjohan datang dan menurunkan ilmu silat.
Jumat malam, 29 Agustus 2014 dilaksanakan
Musyawarah Besar ketiga Silat Pangean. Semua pendekar dari sepuluh laman datang
ke Desa Tambak. Panggung, gelanggang, tenda dan celempong disiapkan depan rumah
guru menyambut kedatangan pendekar. Seyogyanya musyawarah, pendekar membahas
sebab kemunduran silat pangean dalam generasinya.
“Kita sudah undang semua pendekar dan malam
ini kita bahas bagaimana perguruan ini semakin baik ke depannya,” ujar Saidi
Marjohan. Berbagai masukan datang dari pendekar. “Saya usulkan kita sebagai
pendekar atau guru-guru silat turun langsung ke laman-laman agar lebih
mengetahui persoalan yang terjadi,” kata Datuk Rajo Bilang Bungsu, Abdul Wahid.
Jadi, selesai ziarah tadi pengunjung makam
shalat zuhur dan makan bersama yang telah disediakan panitia. Begini tradisi
masyarakat Desa Tambak mengisi bulan Syawal.
HARI-HARI
DI BULAN SYAWAL BAGI MASYARAKAT TAMBAK LEBIH BANYAK DIHABISKAN UNTUK BERZIARAH
DARI MAKAM SATU KE MAKAM YANG LAIN, dari daerah satu ke daerah yang lain. Ini dilakukan
mulai lepas Idul Fitri. Untuk silaturrahmi pada sesama saudara dan kerabat
dilakukan pada malam penyambutan idul fitri. Usai shalat isya dilakukan
takbiran dari rumah ke rumah tanpa ada satu rumah pun yang terlewatkan. Tiap
rumah yang disinggahi disediakan makanan. “Sampai
tak tolok lai makan tu,” kata Hendri masyarakat Desa Tambak.
Satu hari, saya dan teman Kuliah Kerja
Nyata namanya Arjinal diajak Zulfikar untuk makan siang di rumahnya. Lauknya asam
pedas ikan barau, rending ayam, ada racikan mentimun sebagai tambahan. Makan
bersama itu cukup membuat basah baju dan muka berkeringat, karena makanan yang
disajikan baru saja masak dan masih hangat.
Selesai menyantap makanan kami dihidang
seceret air kopi hangat. Sambil minum Zulfikar bercerita tentang petugas masjid
yang dibagi-bagi berdasarkan latar belakang suku. Mayoritas Suku Melayu menjadi
penghuni Desa Tambak. Yang lain, Maliling dan Piliang yang kini sudah berbaur
dan sulit diketahui keaslian sukunya karena menggunakan bahasa Melayu setempat.
Jadi dalam cerita Zulkfikar, yang memegang
kekuasaan sebagai Imam Masjid mereka yang berlatar belakang suku Maliling. Sebagai
Bilal dan Siak mereka yang bersuku Melayu. Siak sama dengan Ghorim. Ini tradisi yang turun temurun. Jika
Imam wafat, mereka yang Maliling rapat memilih Imam berikutnya. “Tidak boleh
orang di luar Maliling ikut dalam rapat itu, kalaupun dibolehkan tidak berhak
memberi keputusan,” jelas Zulfikar. Begitu juga dengan Bilal dan Siak.#