Repotnya mencari pengajar jurnalisme di Pekanbaru
Pagi ini saya, Andreas Harsono, Jeffri dan Badru jalan kaki dari Asrama Haji Siak Sri Indrapura ke rumah Hermawan Hariadi. Jaraknya lebih kurang 3 kilometer. Di Studio Siak Video miliknya, Hermawan Hariadi menyuguhkan kopi panas, air putih dingin berikut dengan brownies.
Kami ngobrol banyak hal. Mulai dari kelas jurnalisme sastrawi, soal lingkungan di Riau, isu agama, intoleransi bahkan soal gay. Andreas Harsono tiba-tiba bilang, bahwa ia ingin pensiun lebih awal, sekitar tiga tahun lagi. Sekarang ia sedang bekerja untuk human rights watch. Kantornya ada di Tokyo. Tapi banyak bekerja di Indonesia.
Katanya, tiga tahun lagi ia tidak perlu repot memikirkan tanggungan keluarga. Kredit rumah akan selesai tahun depan. Putranya, Norman Harsono tidak lama lagi akan menyelesaikan kuliah di Kuala Lumpur, Malaysia. Asuransi pendidikan putrinya Diana, sudah akan beres sampai ia kuliah.
Lalu, Andreas Harsono bertanya. Apa yang harus ia perbuat setelah banyak waktu luang nanti?
Ia menginginkan ada semacam warisan. Bukan untuk keluarga, tapi untuk orang banyak. Berguna bagi masa depan Indonesia.
|
Andreas Harsono mengambil foto kami depan studio milik Hermawan Hariadi. |
Saya
menawarkan, agar kursus jurnalisme di Pantau dibikin lebih luas lagi. Tinggal
merubah lokasi kursus. Bila selama ini Pantau bikin kursus di Jakarta, saya
minta ia dilakukan di tiap daerah termasuk di Pekanbaru. Ia bisa kerjasama
dengan Riau Pos dan Tribun Pekanbaru—dua harian cukup besar di Riau. Termasuk
media ditiap daerah.
Ini
penting. Pasalnya, bila kami hendak merekrut calon wartawan Bahana Mahasiswa,
mencari pengajar jurnalisme repotnya setengah mati. Terutama untuk bicara
elemen jurnalisme dan feature. Ngomongin piramida terbalik pun kadang
berlepotan bahkan suka ngawur soal laku wartawan.
Pernah
seorang wartawan bilang, menerima amplop tidak masalah asal laporan yang
ditulis tidak terpengaruh karena pemberian itu. Dalam hati saya bilang, ini
sinting. Repotnya, kami harus menambah sedikit sesi dalam kelas untuk
meluruskan kembali ceramah menyimpang tadi.
Tidak
hanya itu, di Pekanbaru—pusat media dan tumbuhnya wartawan di Riau—belum ada
wartawan dan media yang menyediakan halaman untuk bikin laporan panjang.
Mestinya ini penting untuk menggairahkan kembali minat baca orang Riau termasuk
mengembalikan kepercayaan publik pada media, terlebih pada wartawan.
Laporan
panjang pasti dikerjakan dengan serius dan disiplin verifikasi. Punya banyak
waktu untuk diskusi. Bahkan Ada perdebatan untuk menghasilkan laporan yang
menarik. Situasi ini pasti akan lebih mendidik wartawan.
Ada
beberapa orang dari Pekanbaru yang pernah ikut kelas narasi di Pantau. Umumnya,
mereka masih pers mahasiswa kala itu. Rahmi Carolina saat di Aklamasi
Univeritas Islam Riau, Fenta, Nurul Fitria, Ayesha Adma, Suryadi, Rizky
Ramadhan dan Eka Kurniawati di Bahana Mahasiswa Universitas Riau.
Mereka
tidak ada yang bekerja di media profesional setelah mengikuti kelas. Rahmi dan
Nurul Fitria bekerja untuk WWF Riau dan Jikalahari. Ayesha Adma sedang
menyelesaikan kuliah meski pernah magang di salah satu harian di Pekanbaru,
tapi mengurusi iklan. Sedangkan Suryadi, Rizki dan Eka masih mengurus Bahana
Mahasiswa.
Andreas
Harsono mengerutkan bibir seraya mengangguk. Tiba-tiba saya kebelet ingin buang
air besar. Icha, putri sulung Hermawan Hariadi menunjukkan arah toilet. Saya
tak tahu lagi apa yang mereka omongin. Setelahnya, saya sedikit lega dan
mengajak kembali ke Asrama.
Tulisan ini dibuat
disela kelas jurnalisme sastrawi. Siak, 17 sampai 23 Juli 2017.*