Jumat, 24 Maret 2017

Ranperda RTRWP Riau Belum Mengakomodir Kepentingan Masyarakat



Belasan tahun RTRW Provinsi Riau tak kunjung disahkan. Pasalnya lebih mementingkan korporasi ketimbang masyarakat.

Oleh Suryadi

RANCANGAN Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Riau tak kunjung dirampungkan hingga penghujung tahun 2016. Ini dikarenakan hasil temuan Panitia Khusus (Pansus) terhadap perusahaan yang bermasalah. Dari temuan langsung dilapangan, beberapa perusahaan tidak memilik izin pembukaan lahan.

Baru-baru ini, Pansus Ranperda RTRW mengurungkan niat untuk melakukan holding zone terhadap 629 ribu hektar lahan di Kabupaten Kuantan Singingi. Lahan yang semula diklaim milik masyarakat ternyata didominasi oleh perusahaan. Tak hanya itu, di lahan tersebut juga ditemukan pabrik.

Tim Pansus yang semula menjadwalkan RTRW akan rampung di awal tahun ini, akhirnya kembali menunda hingga tiga bulan ke depan. Asri Auzar Ketua Tim Pansus, dalam keterangannya di Koran Tribun Pekanbaru 5 Januari, mengatakan, ia tak ingin RTRW ini bermasalah setelah ditetapkan oleh anggota dewan. Melihat kejadian di Kabupaten Kuantan Singingi, Tim Pansus terus melakukan pengecekan di kabupaten lainnya.

BERDASARKAN SK Menteri Kehutanan (Menhut) nomor 878 tahun 2014 dan SK Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) nomor 393 tahun 2016, luas kawasan hutan Provinsi Riau berjumlah 5.444.163 hektar.

Dalam merumuskan Ranperda RTRW, Pansus mengacu pada SK 673/MENLHK-II/2014 tanggal 8 Agustus, tentang perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas lebih kurang 1.638.249 hektar. Juga SK 878/Menhut-II/2014 tanggal 29 September, tentang kawasan hutan Provinsi Riau dengan luas area penggunaan lain lebih kurang 1.626.566 hektar.

Ada lagi melalui SK 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 tanggal 20 April, tentang perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, bertambah dari SK 878 seluas lebih kurang 65.125 hektar jo SK 393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 tanggal 23 Mei. Jadi, total perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan yang disetujui dalam SK tersebut 1.690.924 hektar.

Dalam majalah Tempias Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dijelaskan, pembahasan RTRW Provinsi Riau dimulai pada 2009, masa pemerintahan Rusli Zainal sebagai Gubernur. Pemerintah saat itu mengusulkan lebih kurang 3.530.696 hektar kawasan hutan Riau diubah statusnya menjadi bukan kawasan hutan.

Usulan ini disambut oleh Menteri Kehutanan dengan membentuk Tim Terpadu (Timdu). Tiga tahun kemudian, Timdu merekomendasikan 2.740.586 hektar. Zulkifli Hasan Menteri Kehutanan kemudian mengeluarkan SK 673 pada 8 Agustus 2014. SK ini tidak mengakomodir seluruh rekomendasi Timdu, melainkan hanya menyetujui 1.638.294 hektar untuk dilepas statusnya menjadi bukan kawasan hutan.

Zulkifli Hasan menyerahkan langsung SK tersebut pada Anas Maamun selaku Gubernur Riau saat peringatan hari jadi Provinsi Riau, satu hari setelah SK ditandatangani. Meski begitu, Zulkifli Hasan kembali memberi kesempatan pada pemerintah untuk mengajukan lahan masyarakat yang belum diakomodir dalam SK tersebut.

Kesempatan inilah yang membuat Anas Maamun ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Gulat Manurung, di perumahan Citra Grand Cibubur Jakarta, 25 September 2014. Gulat Manurung adalah Dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau. Keduanya terlibat kasus suap alih fungsi lahan dalam kawasan hutan di Kabupaten Kuantan Singingi dan Rokan Hilir.

Selian itu, dua nama pemiliki korporasi juga terlibat dalam kasus ini. Mereka Edison Marudut pemilik PT Citra Hokiana Triutama di Duri dan Surya Darmadi pemilik PT Duta Palma di Indragiri Hulu. Keduanya ikut menyuap Anas Maamun agar kebun sawit mereka yang semula berada dalam kawasan hutan dimasukkan dalam usulan revisi RTRW Provinsi Riau. Peran Gulat Manurung sangat dominan dalam kasus ini karena ikut memfasilitasi kedua pemilik korporasi tersebut, alias jadi penghubung dengan Anas Maamun.

Meski sudah ada yang ditangkap dalam persoalan RTRW Provinsi Riau, anggota Pansus tetap berupaya untuk merampungkan pekerjaan yang telah lama tertunda ini.

Belakangan, setelah RTRW hendak dirampungkan, muncul penolakan terutama dari aktivis yang aktif menyoal isu lingkungan di Provinsi Riau. “RTRW ini justru lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan besar,” jelas Nursamsu, Koordinator Eyes on the Forest, dalam diskusi yang ditaja oleh Forest Student Club di Aula Balai Konservasi Sumberdaya Alam Riau.

Eyes on the Forest adalah satu organisasi lingkungan yang anggotanya terdiri dari Jikalahari, Wahan Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dan World Wide Fund (WWF) Program Riau. Sementara Forest Student Club, kelompok diskusi mahasiswa Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Riau.

Hasil pengecekan di lapangan yang dilakukan Eyes on the Forest, menemukan 26 perusahaan menggunakan lahan di dalam kawasan hutan alias tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan. Juga menanam kelap sawit tanpa izin hak guna usaha (HGU). Perusahaan tersebut:
PT Agro Abadi, PT Meskom Agro Sarimas, PT Torusganda, PT Riau Agung Karya Abadi, PT Peputra Supra Jaya, PT Arindo Tri Sejahtera, PT Damara Abadi, PT Jalur Pusaka Sakti Kumala, PT Kampar Palma Utama, PT Perdana Inti Sawit Perkasa, PT Sawit Unggul Prima Plantation, PT Wasundari Indah, PT Yutani Suadiri, PT Masuba Citra Mandiri dan PT Kinabalu.

Adalagi PT Percohu Permai, PT Pesawoan Raya, PT Sinar Reksa Kencana, PT Bumi Sawit Perkasa, PT Sinar Siak Dian Permai, PT Surya Agrolika Reksa, Koperasi Air Kehidupan, PT Wanasari Nusantara/KUD Tupan Tri Bhakti, PT Tri Bhakti Sarimas/KUD Prima Sehati, PT Ramajaya Pramukti dan Koperasi Dubalang Jaya Mandiri.

Seluruh perusahaan di atas menggunakan lahan tanpa izin pelepasan kawasan hutan seluas 100 ribu hektar. “Kita ambil sampel segitu saja. Karena untuk mengecek 1,6 juta hektar butuh waktu panjang,” ujar Nursamsu. Pengecekan yang dilakukan Eyes on the Forest mengacu pada SK 673 dan SK 878.

Kata Nursamsu, dalam diskusi bersama tokoh adat, tokoh masyarakat dan pemuda serta Ketua Pansus RTRW di Lembaga Adat Melayu Riau, dari pengecekan 100 ribu hektar dilapangan, hanya 18 ribu hektar yang memiliki HGU. Sisanyanya, 82 ribu hektar tidak memiliki izin HGU.

Selain itu, Tim Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan DPRD Provinsi Riau juga menemukan kerugian negara akibat perusahaan yang tidak memiliki izin. Kerugian tersebut mencapai triliunan rupiah akibat tak membayar pajak. “Kalau itu dikelola dengan baik bisa menjadi pendapatan daerah,” ujar Suhardiman Amby, Ketua Tim Pansus Monitoring dan Evaluasi, dalam sesi diskusi RTRW di Kantor Redaksi Bahana, akhir tahun lalu.

Tim Pansus Monitoring dan Evaluasi telah melaporkan perusahaan hasil temuannya pada Polda Riau, Kejaksaan Tinggi Riau, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Badan Lingkungan Hidup Riau.

Temuan Tim Pansus disambut oleh Koalisi Rakyat Riau (KRR). Ini satu kelompok masyarakat sipil yang diisi oleh organisasi mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh masyarakat dan akademisi. Ia dibentuk sejak RTRW mulai dibahas oleh anggota legislatif daerah. Koordinatornya A. Z. Fachri Yasin, pengajar di Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.

Pekan ketiga bulan Januari 2017, KRR juga melaporkan 33 perusahaan kelapa sawit ke Polda Riau. Perusahaan ini diduga membuka lahan tanpa izin seluas 103.320 hektar dan menanam kelapa sawit tanpa izin HGU seluas 203.977 hektar. “Dalam analisis kita, negara mengalami kerugian Rp 2,5 triliun,” kata Fachri Yasin.

Perusahaan yang dilaporkan terdapat di 9 kabupaten di Riau. Paling banyak di Indragiri Hulu, diantaranya: PT Kencana Amal Tani, PT Karisma Riau Sentosa, PT Seko Indah, PT Panca Agro Lestari, PT Siberida Subur, PT Palma Satu dan PT Banyu Bening Utama.

Rokan Hulu dan Pelalawan masing-masing terdapat 5 perusahaan. Diantaranya: PT Hutahean, PT Arya Rama Prakarsa, PT Aditya Palma Nusantara, PT Air Jernih dan PT Eluan Mahkota. PT Surya Brata Sena, PT Peputra Supra Jaya, PT Inecda Plantation, PT Ganda Hera Hendana dan PT Mekarsari Alam Lestari.

Kampar dan Kuantan Singingi masing-masing terdapat 4 perusahaan. Diantaranya: PT Egasuti Nasakti, PT Inti Kamparindo, PT Johan Sentosa dan PT Sewangi Sawit Sejahtera. PT Duta Palma Nusantara, PT Cirenti Subur, PT Wana Jingga Timur dan PT Perkebunan Nusantara V.

Selain itu, Rokan Hilir dan Indragiri Hilir masing-masing terdapat 3 perusahaan. Diantaranya: PT Jatim Jaya Perkasa, PT Salim Ivomas Pratama dan PT Cibaliung Tunggal Plantation.  PT Guntung Hasrat Makmur, PT Guntung Idaman Nusa dan PT Bumi Palma Lestari Persada. Terakhir, Bengkalis dan Siak masing-masing satu perusahaan. PT Marita Makmur dan PT Fortius Agro Wisata.

Korporasi yang dilaporkan diduga melanggar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 pasal 17 ayat (2) huruf b tentang, Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan: setiap orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan.
Tak hanya itu, 33 korporasi juga diduga melanggar Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 pasal 55 huruf a tentang Perkebunan: setiap orang secara tidak sah dilarang mengerjakan, menggunakan, menduduki dan/atau menguasai lahan perkebunan.

Kata Fachri Yasin, laporan ke Polda Riau atas 33 perusahaan ini bagian dari upaya dukungan KRR terhadap kinerja Tim Pansus. “Ini masih sebagian perusahaan yang dilaporkan. Kita juga akan melapor pada penegak hukum lainnya seperti KPK,” ujar Fachri Yasin di hadapan wartawan usai menyerahkan laporan di Polda Riau.

Laporan KRR direspon cepat oleh Polda Riau. Tiga hari kemudian Fachri Yasin bersama anggota KRR lainnya memenuhi panggilan Ditreskrimsus sekitar pukul 2 siang.

SELAIN mengeluarkan 1,6 juta hektar dari dalam kawasan hutan, Pansus RTRW juga menetapkan 1.050.645.11 hektar untuk dilakukan holding zone. Luas kawasan yang diholding zone diperoleh melalui mekanisme overlay, antara rekomendasi Timdu dengan SK 393 yang ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 23 Mei 2016.

Penerapan holding zone mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2013 tentang: Penyelesaian Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Isntruksi ini sifatnya mendesak satu persoalan untuk segera diselesaikan, dalam hal ini RTRW.

Pada poin ke 6 huruf b dalam Inpres ini menginstruksikan gubernur dan bupati atau walikota, supaya menerapkan kawasan yang belum ditetapkan peruntukan ruangnya alias holding zone. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pada peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, dalam hal terdapat usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang belum mendapatkan persetujuan dari Menteri Kehutanan.

Selain Inpres di atas, Pansus RTRW juga menimbang Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Kehutanan Nomor 650/1393/SJ, Nomor 02/SE/M/2014, Nomor 2/Menhut-VII/2013 tentang percepatan penyelesaian penyusunan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, melalui penerapan kawasan yang belum ditetapkan perubahan peruntukan ruangnya.

Terakhir, Tim Pansus juga menimbang rekomendasi Ombudsman Nomor 0002/REK/0361.2015/PBP-41/II/2016 tentang permasalahan pelayanan publik di Provinsi Riau pasca terbitnya SK Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 tentang, perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 1.638.294 hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 717.543 hektar dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 11.552 hektar di Provinsi Riau, dan SK Menteri Kehutanan Nomor 878/Menhut-II/2014 tentang kawasan hutan Provinsi Riau.

Meski mengacu pada dasar hukum yang telah dikeluarkan pemerintah, luas kawasan yang diholding zone juga masih terdapat lahan perusahaan. Seperti kata Nursamsu dalam paparan temuan Eyes on the Forest, holding zone terindikasi melegalkan lahan perusahaan. Made Ali Wakil Koordinator Jikalahari juga keberatan dengan RTRW yang disusun oleh Pansus. “RTRW masih memberi peluang pada perusahaan untuk memonopoli hutan dan lahan,” ujarnya dalam acara catatan akhir tahun 2016 Jikalahari, di Hotel Pangeran.

Asri Auzar tidak menampik dugaan dari aktivis lingkungan ini. Dalam Koran Tirbun Pekanbaru Sabtu 21 Januari 2016, ia juga mengakui adanya lahan perusahaan dalam usulan RTRW. Pengakuan ini disampaikan setelah turun langsung ke beberapa daerah di Provinsi Riau. Katanya, yang akan diholding zone adalah kantor camat, rumah ibadah, jalan masyarakat, pemukiman masyarakat dan lainnya.

“Kami akan hati-hati sekali memilah kawasan yang diputihkan. Karena sebagian yang direkomendasi ternyata ditempati perusahaan, bukan milik masyarakat,” tegas Asri Auzar dalam koran yang sama.*

0 komentar:

Posting Komentar