Belasan tahun RTRW Provinsi Riau tak kunjung disahkan.
Pasalnya lebih mementingkan korporasi ketimbang masyarakat.
Oleh Suryadi
RANCANGAN Peraturan Daerah
(Ranperda) Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Riau tak kunjung
dirampungkan hingga penghujung tahun 2016. Ini dikarenakan hasil temuan Panitia
Khusus (Pansus) terhadap perusahaan yang bermasalah. Dari temuan langsung
dilapangan, beberapa perusahaan tidak memilik izin pembukaan lahan.
Baru-baru ini, Pansus Ranperda RTRW
mengurungkan niat untuk melakukan holding
zone terhadap 629 ribu hektar lahan di Kabupaten Kuantan Singingi. Lahan
yang semula diklaim milik masyarakat ternyata didominasi oleh perusahaan. Tak
hanya itu, di lahan tersebut juga ditemukan pabrik.
Tim Pansus yang semula menjadwalkan RTRW
akan rampung di awal tahun ini, akhirnya kembali menunda hingga tiga bulan ke
depan. Asri Auzar Ketua Tim Pansus, dalam keterangannya di Koran Tribun
Pekanbaru 5 Januari, mengatakan, ia tak ingin RTRW ini bermasalah setelah
ditetapkan oleh anggota dewan. Melihat kejadian di Kabupaten Kuantan Singingi,
Tim Pansus terus melakukan pengecekan di kabupaten lainnya.
BERDASARKAN SK Menteri
Kehutanan (Menhut) nomor 878 tahun 2014 dan SK Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) nomor 393 tahun 2016, luas kawasan hutan Provinsi Riau
berjumlah 5.444.163 hektar.
Dalam merumuskan Ranperda RTRW, Pansus
mengacu pada SK 673/MENLHK-II/2014 tanggal 8 Agustus, tentang perubahan
peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas lebih kurang
1.638.249 hektar. Juga SK 878/Menhut-II/2014 tanggal 29 September, tentang
kawasan hutan Provinsi Riau dengan luas area penggunaan lain lebih kurang
1.626.566 hektar.
Ada lagi melalui SK 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016
tanggal 20 April, tentang perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan
kawasan hutan, bertambah dari SK 878 seluas lebih kurang 65.125 hektar jo SK
393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 tanggal 23 Mei. Jadi, total perubahan kawasan
hutan menjadi bukan kawasan hutan yang disetujui dalam SK tersebut 1.690.924
hektar.
Dalam majalah Tempias Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari)
dijelaskan, pembahasan RTRW Provinsi Riau dimulai pada 2009, masa pemerintahan
Rusli Zainal sebagai Gubernur. Pemerintah saat itu mengusulkan lebih kurang
3.530.696 hektar kawasan hutan Riau diubah statusnya menjadi bukan kawasan
hutan.
Usulan ini disambut oleh Menteri Kehutanan
dengan membentuk Tim Terpadu (Timdu). Tiga tahun kemudian, Timdu
merekomendasikan 2.740.586 hektar. Zulkifli Hasan Menteri Kehutanan kemudian
mengeluarkan SK 673 pada 8 Agustus 2014. SK ini tidak mengakomodir seluruh
rekomendasi Timdu, melainkan hanya menyetujui 1.638.294 hektar untuk dilepas
statusnya menjadi bukan kawasan hutan.
Zulkifli Hasan menyerahkan langsung SK
tersebut pada Anas Maamun selaku Gubernur Riau saat peringatan hari jadi
Provinsi Riau, satu hari setelah SK ditandatangani. Meski begitu, Zulkifli
Hasan kembali memberi kesempatan pada pemerintah untuk mengajukan lahan
masyarakat yang belum diakomodir dalam SK tersebut.
Kesempatan inilah yang membuat Anas Maamun
ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Gulat Manurung, di perumahan
Citra Grand Cibubur Jakarta, 25 September 2014. Gulat Manurung adalah Dosen
Fakultas Pertanian Universitas Riau. Keduanya terlibat kasus suap alih fungsi
lahan dalam kawasan hutan di Kabupaten Kuantan Singingi dan Rokan Hilir.
Selian itu, dua nama pemiliki korporasi juga
terlibat dalam kasus ini. Mereka Edison Marudut pemilik PT Citra Hokiana
Triutama di Duri dan Surya Darmadi pemilik PT Duta Palma di Indragiri Hulu.
Keduanya ikut menyuap Anas Maamun agar kebun sawit mereka yang semula berada
dalam kawasan hutan dimasukkan dalam usulan revisi RTRW Provinsi Riau. Peran
Gulat Manurung sangat dominan dalam kasus ini karena ikut memfasilitasi kedua
pemilik korporasi tersebut, alias jadi penghubung dengan Anas Maamun.
Meski sudah ada yang ditangkap dalam
persoalan RTRW Provinsi Riau, anggota Pansus tetap berupaya untuk merampungkan
pekerjaan yang telah lama tertunda ini.
Belakangan, setelah RTRW hendak
dirampungkan, muncul penolakan terutama dari aktivis yang aktif menyoal isu
lingkungan di Provinsi Riau. “RTRW ini justru lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan
besar,” jelas Nursamsu, Koordinator Eyes
on the Forest, dalam diskusi yang ditaja oleh Forest Student Club di Aula Balai Konservasi Sumberdaya Alam Riau.
Eyes on the Forest adalah satu organisasi
lingkungan yang anggotanya terdiri dari Jikalahari, Wahan Lingkungan Hidup
(Walhi) Riau dan World Wide Fund (WWF) Program Riau. Sementara Forest Student
Club, kelompok diskusi mahasiswa Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Hasil pengecekan di lapangan yang dilakukan
Eyes on the Forest, menemukan 26
perusahaan menggunakan lahan di dalam kawasan hutan alias tidak memiliki izin
pelepasan kawasan hutan. Juga menanam kelap sawit tanpa izin hak guna usaha (HGU).
Perusahaan tersebut:
PT Agro Abadi, PT Meskom Agro Sarimas, PT
Torusganda, PT Riau Agung Karya Abadi, PT Peputra Supra Jaya, PT Arindo Tri
Sejahtera, PT Damara Abadi, PT Jalur Pusaka Sakti Kumala, PT Kampar Palma
Utama, PT Perdana Inti Sawit Perkasa, PT Sawit Unggul Prima Plantation, PT
Wasundari Indah, PT Yutani Suadiri, PT Masuba Citra Mandiri dan PT Kinabalu.
Adalagi PT Percohu Permai, PT Pesawoan
Raya, PT Sinar Reksa Kencana, PT Bumi Sawit Perkasa, PT Sinar Siak Dian Permai,
PT Surya Agrolika Reksa, Koperasi Air Kehidupan, PT Wanasari Nusantara/KUD
Tupan Tri Bhakti, PT Tri Bhakti Sarimas/KUD Prima Sehati, PT Ramajaya Pramukti
dan Koperasi Dubalang Jaya Mandiri.
Seluruh perusahaan di atas menggunakan
lahan tanpa izin pelepasan kawasan hutan seluas 100 ribu hektar. “Kita ambil
sampel segitu saja. Karena untuk mengecek 1,6 juta hektar butuh waktu panjang,”
ujar Nursamsu. Pengecekan yang dilakukan Eyes
on the Forest mengacu pada SK 673 dan SK 878.
Kata Nursamsu, dalam diskusi bersama tokoh
adat, tokoh masyarakat dan pemuda serta Ketua Pansus RTRW di Lembaga Adat
Melayu Riau, dari pengecekan 100 ribu hektar dilapangan, hanya 18 ribu hektar
yang memiliki HGU. Sisanyanya, 82 ribu hektar tidak memiliki izin HGU.
Selain itu, Tim Pansus Monitoring dan
Evaluasi Perizinan DPRD Provinsi Riau juga menemukan kerugian negara akibat
perusahaan yang tidak memiliki izin. Kerugian tersebut mencapai triliunan
rupiah akibat tak membayar pajak. “Kalau itu dikelola dengan baik bisa menjadi
pendapatan daerah,” ujar Suhardiman Amby, Ketua Tim Pansus Monitoring dan
Evaluasi, dalam sesi diskusi RTRW di Kantor Redaksi Bahana, akhir tahun lalu.
Tim Pansus Monitoring dan Evaluasi telah
melaporkan perusahaan hasil temuannya pada Polda Riau, Kejaksaan Tinggi Riau,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Badan Lingkungan Hidup Riau.
Temuan Tim Pansus disambut oleh Koalisi
Rakyat Riau (KRR). Ini satu kelompok masyarakat sipil yang diisi oleh
organisasi mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh masyarakat dan
akademisi. Ia dibentuk sejak RTRW mulai dibahas oleh anggota legislatif daerah.
Koordinatornya A. Z. Fachri Yasin, pengajar di Fakultas Pertanian dan
Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.
Pekan ketiga bulan Januari 2017, KRR juga melaporkan
33 perusahaan kelapa sawit ke Polda Riau. Perusahaan ini diduga membuka lahan
tanpa izin seluas 103.320 hektar dan menanam kelapa sawit tanpa izin HGU seluas
203.977 hektar. “Dalam analisis kita, negara mengalami kerugian Rp 2,5
triliun,” kata Fachri Yasin.
Perusahaan yang dilaporkan terdapat di 9
kabupaten di Riau. Paling banyak di Indragiri Hulu, diantaranya: PT Kencana
Amal Tani, PT Karisma Riau Sentosa, PT Seko Indah, PT Panca Agro Lestari, PT
Siberida Subur, PT Palma Satu dan PT Banyu Bening Utama.
Rokan Hulu dan Pelalawan masing-masing
terdapat 5 perusahaan. Diantaranya: PT Hutahean, PT Arya Rama Prakarsa, PT
Aditya Palma Nusantara, PT Air Jernih dan PT Eluan Mahkota. PT Surya Brata
Sena, PT Peputra Supra Jaya, PT Inecda Plantation, PT Ganda Hera Hendana dan PT
Mekarsari Alam Lestari.
Kampar dan Kuantan Singingi masing-masing
terdapat 4 perusahaan. Diantaranya: PT Egasuti Nasakti, PT Inti Kamparindo, PT
Johan Sentosa dan PT Sewangi Sawit Sejahtera. PT Duta Palma Nusantara, PT
Cirenti Subur, PT Wana Jingga Timur dan PT Perkebunan Nusantara V.
Selain itu, Rokan Hilir dan Indragiri Hilir
masing-masing terdapat 3 perusahaan. Diantaranya: PT Jatim Jaya Perkasa, PT
Salim Ivomas Pratama dan PT Cibaliung Tunggal Plantation. PT Guntung Hasrat Makmur, PT Guntung Idaman
Nusa dan PT Bumi Palma Lestari Persada. Terakhir, Bengkalis dan Siak
masing-masing satu perusahaan. PT Marita Makmur dan PT Fortius Agro Wisata.
Korporasi yang dilaporkan diduga melanggar Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2013 pasal 17 ayat (2) huruf b tentang, Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan: setiap
orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam
kawasan hutan.
Tak hanya itu, 33 korporasi juga diduga
melanggar Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 pasal 55 huruf a tentang
Perkebunan: setiap orang secara tidak sah
dilarang mengerjakan, menggunakan, menduduki dan/atau menguasai lahan
perkebunan.
Kata Fachri Yasin, laporan ke Polda Riau
atas 33 perusahaan ini bagian dari upaya dukungan KRR terhadap kinerja Tim
Pansus. “Ini masih sebagian perusahaan yang dilaporkan. Kita juga akan melapor
pada penegak hukum lainnya seperti KPK,” ujar Fachri Yasin di hadapan wartawan
usai menyerahkan laporan di Polda Riau.
Laporan KRR direspon cepat oleh Polda Riau.
Tiga hari kemudian Fachri Yasin bersama anggota KRR lainnya memenuhi panggilan
Ditreskrimsus sekitar pukul 2 siang.
SELAIN mengeluarkan 1,6
juta hektar dari dalam kawasan hutan, Pansus RTRW juga menetapkan 1.050.645.11
hektar untuk dilakukan holding zone. Luas
kawasan yang diholding zone diperoleh
melalui mekanisme overlay, antara
rekomendasi Timdu dengan SK 393 yang ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan 23 Mei 2016.
Penerapan holding zone mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2013
tentang: Penyelesaian Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Isntruksi ini sifatnya mendesak satu persoalan untuk segera diselesaikan,
dalam hal ini RTRW.
Pada poin ke 6 huruf b dalam Inpres ini
menginstruksikan gubernur dan bupati atau walikota, supaya menerapkan kawasan
yang belum ditetapkan peruntukan ruangnya alias holding zone. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
pada peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota, dalam hal terdapat usulan perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan yang belum mendapatkan persetujuan dari Menteri Kehutanan.
Selain Inpres di atas, Pansus RTRW juga
menimbang Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan
Menteri Kehutanan Nomor 650/1393/SJ, Nomor 02/SE/M/2014, Nomor
2/Menhut-VII/2013 tentang percepatan penyelesaian penyusunan peraturan daerah
tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, melalui
penerapan kawasan yang belum ditetapkan perubahan peruntukan ruangnya.
Terakhir, Tim Pansus juga menimbang
rekomendasi Ombudsman Nomor 0002/REK/0361.2015/PBP-41/II/2016 tentang
permasalahan pelayanan publik di Provinsi Riau pasca terbitnya SK Menteri
Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 tentang, perubahan peruntukan kawasan hutan
menjadi bukan kawasan hutan seluas 1.638.294 hektar, perubahan fungsi kawasan
hutan seluas 717.543 hektar dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan
hutan seluas 11.552 hektar di Provinsi Riau, dan SK Menteri Kehutanan Nomor
878/Menhut-II/2014 tentang kawasan hutan Provinsi Riau.
Meski mengacu pada dasar hukum yang telah
dikeluarkan pemerintah, luas kawasan yang diholding
zone juga masih terdapat lahan perusahaan. Seperti kata Nursamsu dalam
paparan temuan Eyes on the Forest, holding zone terindikasi melegalkan
lahan perusahaan. Made Ali Wakil Koordinator Jikalahari juga keberatan dengan
RTRW yang disusun oleh Pansus. “RTRW masih memberi peluang pada perusahaan untuk
memonopoli hutan dan lahan,” ujarnya dalam acara catatan akhir tahun 2016
Jikalahari, di Hotel Pangeran.
Asri Auzar tidak menampik dugaan dari
aktivis lingkungan ini. Dalam Koran Tirbun Pekanbaru Sabtu 21 Januari 2016, ia
juga mengakui adanya lahan perusahaan dalam usulan RTRW. Pengakuan ini
disampaikan setelah turun langsung ke beberapa daerah di Provinsi Riau.
Katanya, yang akan diholding zone
adalah kantor camat, rumah ibadah, jalan masyarakat, pemukiman masyarakat dan
lainnya.
“Kami akan hati-hati sekali memilah kawasan
yang diputihkan. Karena sebagian yang direkomendasi ternyata ditempati
perusahaan, bukan milik masyarakat,” tegas Asri Auzar dalam koran yang sama.*