Jumat, 12 Juni 2015

Bahana Mahasiswa Menolak Lupa



Secuil usaha Bahana Mahasiswa diusia kepala tiga menolak lupa budaya melayu

Suryadi


DETIK-DETIK PENENTU MENDEKAT. Kain hitam penutup bingkai siap ditarik. Dua orang itu terus berceloteh. Sindiran mengalir dari mulut. Tak ada yang peduli, begitupun pemimpin negeri Melayu ini, begitu ucap salah satunya. Badan mereka hitam. Dari ujung kaki hingga kepala. Mereka terus mendekati kain hitam. Mulut tak berhenti berucap. Terus menyindir. Kini mereka berdiri di samping kain hitam. Keduanya terdiam, tangan bergerak menarik kain. Melongok 99 Kisah Mengabadi. Tulisan ini tertera di bawah gambar Candi Muara Takus. Kain hitam tadi menutupi pigura dengan gambar ini di dalamnya.

USIA KEPALA TIGA, jika diibaratkan manusia, sudah tak muda lagi. begitulah Bahana. Sebagai salah satu unit kegiatan mahasiswa di kampus, lembaga yang berkecimpung dalam pers ini sudah tua. Selisih 21 tahun dari berdirinya Universitas Riau, Bahana lahir pada 17 Juli 1983.

Berkutat dengan jurnalistik, produk yang dihasilkan berupa berita seputar dalam dan luar kampus. telah tiga dekade berporoses, perkembangan produk pun terjadi. Bermula dari koran, sedikit demi sedikit mengalami perubahan keukuran lebih kecil, sebesar kertas A3. Kini bentuknya jadi majalah.

Media yang digunakan juga berkembang. Dulunya Cuma cetak, kini beralih memanfaatkan perkembangan teknologi berupa website. Tak hanya itu, berita video pun coba digarap. Tiga puluh tahun berkarya, tentunya banyak perubahan terjadi.

Namun satu yang tak berubah. Kemelayuan Bahana tak bisa terganti. Bukan karena apa-apa, sebab budaya di mana Bahana lahir tak bisa dilepaskan. Bak pohon, buah yang dihasilkan tetaplah Melayu karena berakar tanah Melayu.

Buktinya, disetiap produk Bahana akan selalu ada rubrik membahas Melayu. Baik Khasanah—liputan makanan atau tradisi khas Melayu, Kilas Balik—kilas sejarah kebudayaan atau cagar budaya Melayu, karikatur ataupun opini membahas Melayu. Semua ini hanya sebagian kecil usaha Bahana agar Melayu tak hilang di bumi Lancang Kuning ini.

TARIAN ZAPIN MENGHENTAK. Alunan musik Melayu yang sarat akan bunyi-bunyian gendang mengisi ruangan. Penari menggerakkan tubuh ikuti irama. Penonton menyaksikan tarian penyambut khas Melayu berasal dari Bengkalis ini.

Tarian selesai. balai Adat Melayu kembali sunyi. Pembawa acara maju memanggil Rahmat, Pembantu Rektor III UR, sampaikan kata sambutan. Dilanjutkan Fakhrunnas MA Jabbar, Alumni Bahana. Ya, mereka berpesan agar Bahana diusianya yang sudah 30 tahun dapat jadi lebih baik lagi.

Hari itu, 17 Juli 2013, Bahana adakan perayaan Sempena 3 Dekade di gedung Lembaga Adat Melayu Riau di jalan Diponegoro tersebut. Mengundang rekan kelembagaan, alumni serta jaringan Bahana. Acara berlangsung dari pukul 4 sore hingga malam.

Satu lagi tradisi yang tak lekang di Bahana adalah diskusi. Rayakan hari kelahirannya, acara diisi diskusi soal Kemelayuan. Bagaimana kondisi marwah Melayu kini. Tak ingin Melayu hilang, Bahana coba gali persoalan yang ada.

Ilham Muhammad Yasir, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Pekanbaru pandu diskusi. Sebagai pemateri hadir Muslim Rasyid dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau atau Jikalahari. Taufik Ikram Jamil, budayawan Riau sekaligus Alumni Bahana dan Efrianto, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN Riau.

Melayu menarik untuk diperbincangkan karena kondisinya mulai mengkhawatirkan. Sebab kondisi hutan dan sungai sebagai marwah—sumber penghidupan—Melayu sudah semakin memburuk. Hutan terus ditebang oleh korporasi, kebakaran hutan melanda Riau beberapa bulan terakhir, hingga kabut membuat negara tetangga angkat bicara. Sungai pun mengalami nasib sama. Sungai Siak, ikon masyarakat Melayu Riau sudah tercemar karena perilaku  masyarakat sekitar membuang sampah sembarangan.

Akibatnya konflik berujung korban mewarnai perjuangan masyarakat adat dengan pihak perusahaan. Ini semua dilakukan untuk pertahankan marwah mereka  yang sejak dulu diwarisi oleh nenek moyang mereka. Tiga puluh lima menit bincang-bincang soal Melayu. Selanjutnya tamu undangan sejenak mendengarkan ceramah singkat sebelum menikmati buka puasa. Peringatan Milad Bahana bertepatan bulan Ramadhan.

Acara yang bertajuk Menolak Lupa Budaya Melayu ini pun menyajikan makanan khas Melayu untuk berbuka puasa. Lepat Bugi dan minuman air mata pengantin tersaji di meja panganan. Tak hanya melalui panganan yang tersedia, di sekeliling ruangan dipamerkan berbagai karya terkait Melayu. Mulai dari kartun karya Sindikat Kartunis Riau, hingga tulisan soal Melayu yang pernah dimuat Bahana serta benda yang ditemukan berkaitan dengan tulisan.

Seperti Labu Betung, diambil dari nama desa Betung Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan. Terbuat dari Labu Air yang dilubangi dan dijemur hingga isinya membusuk selama seminggu. Fungsinya untuk menyimpan air. Selain itu juga da songket, kain tenun bermotif dari benang emas. Bagi masyarakat Melayu, kain songket menandakan kedudukan seseorang sering dipakai dilingkungan kerajaan.

Beralih kemakanan, tentu familiar dengan Belacan, penyedap rasa terbuat dari ikan dan udang kecil. Bumbu penyedap rasa berbau tajam ini banyak diproduksi di Kabupaten Rokan Hilir, tepatnya Pulau Halang. Begitu sampai di Pulau, baunya akan langsung hinggapi penciuman.

Makanan lainnya, khas Suku Sakai, Manggalo Sakai. Terbuat dari tumbuhan ubi racun yang menjalar di hutan. Ubi dikupas lalu direndam agar lembut. Diparut dan dimasukkan ke dalam karung goni untuk diperas. Tujuannya agar racun keluar. Hasil parutan digonseng. “Enaknya dimakan dengan ikan Selais yang disalai,” ujar Ucok yang juga berasal dari Suku Sakai, kini mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Riau.

Menyoal ikan Salai, makanan khas Melayu yang dibuat dengan teknik pengasapan ini mulai langka. Sebab ikan Selais yang jadi bahan mulai sulit didapatkan. Panganan khas saat pesta adat ini banyak diproduksi di Pelalawan.

Serbuk mirip tepung tapioka dibuat dari batang pohon rumbia yang hidup dirawa-rawa yang kaya akan karbohidrat juga ditampilkan. Sagu. Tentunya masyarakat Melayu familiar dengan makanan yang banyak di daerah Bengkalis.

Juga ada Lemang, makanan dari beras ketan yang dibalut dengan daun pisang dan dimasak dengan bambu. Beras ketan digulung dengah daun pisang ditambah dengan santan kelapa kemudian dibakar. Bagi masyarakat Melayu, lemang biasanya dimakan pada saat hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.

Tak hanya makanan, pelengkap upacara adat seperti tepung tawar juga ditampilkan. Peralatan tepung tawar diantaranya, beras kuning, bunga-bunga, ramuan penabur dan pengasapan dengan kemenyan. Biasanya digunakan untuk syukuran, keselamatan, memohon rezeki dan membuang segala penyakit. Biasanya beras kuning  ditabur pada orang yang sedang berhajat serta membacakan doa selamat.

Warisan budaya Melayu ini disajikan Bahana sebagai bentuk kepedulian terhadap Melayu. Tak hanya itu, di luar ruangan lampu sumbu dengan minyak tanah bertempat botol sirup hiasi tepian sisi kiri dan kanan tangga.  Bagi masyarakat Panipahan, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rokan Hilir lampu ini disebut pelito. Pada malam ke 27 Ramadhan pelito menerangi pelataran rumah-rumah.

PANGGUNG KEMBALI BERGETAR KALA SANGGAR MUHIBAH SENI tampilkan seni tradisional Kayat. Seni tradisional Kayat berasal dari Kuantan  dan masyarakat Rokan ini berupa penyampaian puisi berirama. Dendangan diiringi  hentakan gendang serta rebab. Isi puisi berupa pesan serta nasihat. Kayat dimainkan dengan tari-tarian, ruangan sontak bertambah ramai ketika penari kayat mengajak undangan ikut menari.

Tak habis di sini, Bahana terus membuktikan kepeduliannya terhadap Melayu. Tulisan-tulisan tentang Melayu yang terkumpul di rubrik Kilas Balik, sejak 1993 hingga 2012 dikumpul dan didokumentasikan dalam bentuk buku. Malam ulang tahun Bahana ketiga puluh tahun, buku ini dilaunching. Berjudul Melongok 99 Kisah Mengabadi.

Serempak tepuk tangan diberikan tamu yang hadir. Semoga buku hasil karya Bahana Mahasiswa  dapat mengingatkan kembali kebudayaan Melayu. Bahana pun terus bertekad mempertahankan serta tetap komitmen membahanakan Melayu.

Read More

Rabu, 10 Juni 2015

Musrenbang Express



Sepenggal cerita dari yang katanya Musrenbang

Suryadi
 
BERANGKAT DI JUMAT SORE PUKUL 6, dua bus pariwisata telah menanti. Satu bus diisi seluruh utusan kelembagaan. Satunya lagi angkut para staff kemahasiswaan. Suasana kontras terlihat, bus kelembagaan harus berpadatan sampai kenek bus berdiri sepanjang perjalanan tak dapat tempat duduk. Sedangkan bus untuk staff kemahasiswaan masih terdapat kursi kosong.

Di tengah kesulitan keuangan yang mendera kelembagaan mahasiswa, Universitas Riau sanggup keluarkan dana Rp. 49 juta untuk buat Musyawarah Rencana Pembangunan atau Musrenbang. Tempat pelaksanaannya di Padang selama tiga hari. Kelembagaan yang hadir disuguhkan kemewahan.

Dana Musrenbang sebesar Rp. 49 juta dihabiskan untuk sewa dua bus Rp. 16,8 juta, konsusmsi Rp. 9.625.000, ruangan tempat rapat kelembagaan Rp. 4,6 juta. Bantuan peserta atau bahasa lainnya uang saku dianggarkan sebesar Rp. 16,8 juta sampai biaya alat tulis kantor Rp. 1.350.000.

Jika dihitung, perwakilan kelembagaan yang hadir sebagai peserta Musrenbang 22 orang, masing-masing dapat uang saku Rp. 300.000. Secara keseluruhan berjumlah Rp. 6,6 juta bukan Rp. 16,8 juta.

“Dana sebesar Rp. 16.800.000 itu sebenarnya untuk biaya penginapan, tapi dalam pelaporannya dibuat bantuan peserta,” kata Hengki staff Pembantu Rektor III.

PADA MUSRENBANG INI SEMUA KELEMBAGAAN MAHASISWA bertanya kejelasan uang untuk kegiatan kelembagaan yang mereka pimpin. Keuangan selalu saja tersendat-sendat.

Permasalahan ini dijawab Rahmat karena tidak samanya perencanaan dari Rektorat dan kelembagaan. Apa yang diminta oleh kelembagaan terkadang tidak sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat oleh kemahasiswaan.

“Bahkan kita terkadang harus ubah dan masuk-masukkan ke dalam perencanaan sesuai dengan mata anggaran yang telah dibuat,” tambah Rahmat.

Sayang jawaban Rahmat tidak begitu memuaskan. Yamin, Ketua UKM Pramuka mengaku tak paham soal penjelasan Rahmat. Lain yang ditanya, lain yang dijawab.

Musrenbang harusnya jadi titik cerah soal keuangan kelembagaan mahasiswa. semua perencanaan digodok bersama. Dipimpin Toni Era Wijaya, seluruh kelembagaan sepakat agar Rancangan Anggaran Belanja atau RAB yang mereka usulkan tak usah dibahas. Disepakati bersama, nantinya biarlah PR III yang bahas ini di Musrenbang universitas.

Akhirnya, kegiatan Musrenbang banyak diisi dengan kegiatan hiburan. Jalan-jalan dan belanja. Tak hanya untuk utusan kelembagaan, tapi juga staff kemahasiswaan beserta keluarganya.
Read More

Selasa, 09 Juni 2015

Penantian Demi Selembar Surat Sakti?



Suryadi

PERTANYAAN INI TENTUNYA MENGGELITIK. Antara ingin menjawab atau mendiamkan saja. Tapi tak etis rasanya jika tidak dijawab. Inilah pertanyaan paling sering terdengar ketika kru Bahana hendak wawancara. Biasanya ke mahasiswa tingkat awal.

Tak dipungkiri ini juga karena beberapa  bulan Bahana tak muncul keperedaran. Sampai kru sendiri pun sudah kehilangan semangat. Kami sudah liputan, wawancara sana-sini tapi tak juga cetak-cetak, ya inilah yang terjadi.

Tentu ada sebab-musabab. Kalau dibilang manusia itu selalu mencari hal lain untuk disalahkan, bisa jadi. Tapi inilah kenyataannya. Kenapa Bahana tak muncul dalam wujud ‘nyata’.

Bahana harus bolak-balik rektorat sejak Juli. Bukan untuk wawancara, tapi urusan keuangan. Secara garis besar, Bahana tak bisa hadir dalam bentuk cetak karena terkendala keuangan dan digantungnya posisi Bahana di 2013.

DI PERTENGAHAN TAHUN ITU, Bahana sulit sekali mengadakan kegiatan. kendalanya, no money. Padahal banyak program kerja yang hendak dilaksanakan. Yang terbesar, Sempena 3 dekade Bahana Mahasiswa pada 17 Juli. Adakan lomba menulis, foto dan karikatur tingkat Riau. tentu sebagai ‘anak’ dari Universitas Riau, kami minta bantuan ke induk semang.

Ikuti prosedur yang sudah ada, kami masukkan proposal. Bagai pungguk merindukan bulan, jawaban atas proposal tak didapat sampai hari H. Akhirnya kegiatan terselenggara tanpa bantuan secuil pun dari UR.

Pengurus pontang-panting sana-sini cari bantuan. Sasaran, tentu alumni Bahana, serta relasi kawan-kawan yang rela membantu. Dana dapat seadanya, tanpa bantuan dari induk semang.

Baru satu kegiatan. cetak yang jadi agenda wajib juga tak bisa direalisasikan. Pasalnya ya nggak ada duit untuk cetak. Majalah kami edisi Mei soal PPL, sampai Januari ini masih berstatus ngutang. Pada 7 Januari barulah hutang ini dibayar—baru siinduk memberi uang. Itupun awalnya sempat dibilang kwitansi cetak yang telah kami berikan hilang. Untuk percetakan masih punya kwitansi hutang setengah tahun itu.

Tentu ini sangat miris sekali. Tak  bisa cetak, kami tak mati akal. Kami hidupkan liputan di media online. Memanfaatkan website kami, bahanamahasiswa.co liputan kampus terus di update.

Sudah dua kegitan tak ada bantuan. Kegiatan rutin lainnya DJMTD Bahana Mahasiswa. diklat dasar jurnalistik buat kawan-kawan mahasiswa. ini juga jadi wadah untuk merekrut pengurus Bahana nantinya. Diadakan tiap April dan November.

DJMTD April tak ada dana mengucur. Saat dicek, ya nanti, uang belum turun. Itu jawaban yang didapat. Sampai diklat awal Desember pun tak ada dana yang disalurkan. Alasannya tutup buku. Padahal proposal sudah masuk dari November. Secara jelas 3 kegiatan besar Bahana selaku Unit Kegiatan Mahasiswa UR tak ada dibiayai kampus.

Bahana tetap ingin berkegiatan. Tak ada uang putar otak. Untuk diklat saja, seluruh pengurus terpaksa rogoh kocek sendiri. Beli perlengkapan pakai duit si A, beli makanan pakai duit si B, sewa peralatan pakai duit si C. Kami berusaha tetap berkegiatan walau bantuan rektorat tidak turun.

Hanya satu kegiatan yang dibantu, saat pengiriman kru ikut pelatihan di Bali. Itupun dengan segenap usaha terus bolak-balik ke bagian staff Pembantu Rektor III.

Tentu ini jadi pertanyaan. Kenapa susah sekali? Apa sebabnya?

SURAT KEPUTUSAN REKTOR UNTUK BAHANA. Inilah sebab kenapa kami tak bisa dapatkan uang untuk buat kegiatan. surat yang menyatakan siapa saja pengurus Bahana ini harus diurus setiap pergantian kru. Supaya bagian kemahasiswaan tahu siapa saja orang yang duduk dilembaga ini.

Awalnya setiap minta dana alasan soal uang belum turun masih dianggap lumrah. Namun pada Mei, jawaban lain seperti ‘uruslah SK kalian’ mulai mengudara dengan jelas. Kala itu kami berpendapat sebagai lembaga pers, tentunya kebebasan pers juga kami miliki. Cukup satu saja surat izin terbit dari Kementerian Penerangan zaman Pak Harto yang jadi pegangan kami. Namun kampus tak terima. Harus ada SK.

Diskusi kami jajaki ke Alumni. Dizamannya apakah ada membuat SK. Ada yang bilang buat, ada yang bilag tidak. Cukup laporan pergantian pengurus saja, itu jawaban yang tak buat SK. 
 Bingung, soal ini kami diamkan sejenak.

Ternyata saat sempena 3 dekade Bahana Mahasiswa, alumni banyak yang mengkritisi soal Bahana. Perubahan format jadi majalah hingga tidak mencantumkan lambang UR di spanduk kegiatan—sebenarnya karena kesal tak ada bantuan dari UR. Akhirnya terjadi selisih paham antara pengurus dengan alumni.

Bulan berganti, pergantian pengurus pun terjadi. Pemimpin Umum yang dulunya Lovina berpindah ke Ahlul Fadli. Kami pun sepakat buat saja SK. Dari pada karena hal ini Bahana berlarut-larut tak bisa berkegiatan. Permohonan SK diajukan. Turunnya selembar kertas ini pun dinantikan.

Ternyata surat ini tak turun-turun. Alasannya, selesaikan masalah kalian dengan alumni, ujar Rahmat saat ditemui. Kaget. Itu yang dirasakan. Ini soal internal, kenapa kampus sampai PR III mengurusi  hal ini. Apa pula sebab-musabab kisruh dengan alumni jadi alasan SK kami tak turun. Berkali-kali ditemui itu terus alasannya.

Terus didesak, PR III mewadahi pertemuan antara alumni dengaan pengurus Bahana. Tempatnya sungguh spesial, Pangeran Hotel. Turut hadir kawan-kawan dari Presdium BLM, BEM dan PD III se UR.

Intinya pertemuan ini membahas Bahana mau diapakan. Dheni Kurnia, saat itu jadi  moderator lempar opsi ke hadirin “Bahana dilanjutkan atau ditutup?” tanyanya. Lucu, bagaimana mungkin alumni ingin almamater organisasi mereka ini ditutup. Tapi ntahlah apa yang ada dipikiran. Tak ada yang tahu kecuali diri sendiri.

Setelah pertemuan ini digelar kembali diskusi perwakilan alumni, pengurus Bahana dan perwakilan kelembagaan bersama PR III. Hasilnya, urusan alumni dan Bahana biarlah diselesaikan secara interal. Cukup kampus berurusan dengan Bahana selaku organisasi di kampus. tentu tak ada soal lagi setelah ini. SK tinggal meluncur turun, dan Bahana bisa berkegiatan lagi.

Namun yang dinanti tak kunjung datang. Surat itu tak juga sampai. Setelah bolak-balik meminta barulah 20 Oktober surat turun. Itupun saat diminta baru ditanda tangani Rahmat, PR III. Jadi selama berbulan-bulan, di mana surat ini terdampar? Demi sepucuk surat kami tak bisa berkegiatan secara maksimal. Sungguh terlalu.
Read More